Kaum muslimin… kalian adalah para dokter umat dan siapa saja yang berbicara Islam dan revolusi. Ketahuilah, sesungguhnya resep obat ada di tangan kalian. Sesungguhnya penyakit dapat dipangkas asalkan kalian mau, asalkan kalian tidak mengorder untuk dunia, karena kalian bukan dokter ijazah, bukan thabib yang menjual dan membeli jasa, dan bukan pula kaum karbitan yang serba mentah, serba instan, dan serba-serbi lainnya… Sungguh kalian umat Muhammad, sang dokter lulusan langit, dokter yang kalian impor sabdanya: “setiap penyakit pasti ada obatnya.”. Jika kalian yang hidup dan makan dari balik order “herbal”, tentu lebih paham lagi: apa itu herbal, apa itu penyakit, dan apa itu obat, sehingga jadilah kalian dokter body, antibodi, dan lain-lain…
Saudaraku-saudaraku, sabda Nabi adalah representatif firman langit, firman Rabb yang penuh maslahat dan luas pengertiannya, tidak sesempit implementasi dokter body, sang herbalis, atau thabib jadi-jadian itu. Akan tetapi, ada pengertian dan kandungan “herbal” anti “bodi” bermakna “revolusi” anti “otoritas tirani” dan anti yang menjadi rival tauhid dan jihad, siapa dan apa namanya….! Makna ini harus dikembangkan dan ditarik dalam ranah politik, negara, dan aktivitas sosial masyarakat.
Jika tidak?
Jika tidak, maka Islam akan dipahami sempit, seolah agama ini hanya mengurus kesehatan dan imunitas badan saja, tidak lebih… Sedangkan Islam itu sendiri agama sempurna dan paripurna. Tidak ada hal kecil maupun besar kecuali dibicarakan dan dikupas secara tuntas. Imunitas body hanyalah satu bagian dari bagian-bagian yang ada, sedangkan imunitas sosial-politik adalah bagian tersendiri yang merupakan inti dan esensi dari balik makna: “setiap penyakit pasti ada obatnya”. Dan inilah ajaran Islam yang dimaksud.
Sekali lagi, penyempitan makna hanya merugikan Islam dan membuat kaum orientalis makin “terpesona” karena berhasil membumikan “Islam yang luas” menjadi “Islam yang sempit”. Pada akhirnya mereka bernyanyi: “Islam yes, jihad no”. “revolusi yes, khilafah no”; atau yang terakomodir dalam ajaran sufi “dzikir yes, politik no” yang sama saja mengatakan: Islam agama dzikir bukan agama politik atau Islam agama pesantren bukan agama istana. Akhirnya, sufi pun harus diakui sebagai sekuler klasik, yaitu kaum “phobia syari’ah” tanpa sadar, tanpa hadir di kampus yang di-cocololeh orientas dan zionis. Sungguh nista, nestapa kelabu… menimpa, merobek, dan menghancurkan fikrah, manhaj,dan ‘aqidah Islamiyyah, kekayaan yang tersisa yang pernah dimiliki, harga mati yang seharusnya mereka jual dengan nyawa.
Kaum muslimin, kalian yang berbicara: قل الحق ولو كان مرا [1] dan kalian dalam penantian datangnya kepastian, hadirnya kebenarannya, dan lenyapnya kebatilan:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا [2]
Bahwasanya penyakit yang menggerogoti umat dan dunia saat ini umumnya bukanlah penyakit biasa; bukan penyakit gatal lalu bisa selesai dengan “salep 88” atau cukup mandi dengan sabun anti kuman. Tidak sesederhana itu!
Lalu, penyakit apa?
Dia adalah penyakit jantung yang sudah kronis, yaitu penyakit serius yang butuh penanganan lebih serius. Kita tahu bahwa jantung/hati adalah rajanya badan. Sang raja yang menggerakkan tangan, kaki, mata, dan lain-lain… Matinya sang raja sama saja dengan kematian bagi yang lain. Jadi, fokus kita adalah menyelesaikan penyakit kronis, karena penyakit yang lain hanyalah imbas darinya. Dan itu hanya bisa selesai sebagaimana “KATA RAJA” dan sejauh mana “NILAI KESEHATANNYA”.
Percayalah, sekronis apa pun penyakit pasti ada obatnya. Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya. INI PASTI! Optimisme harus ada, meski kadang – karena kebodohan – sang dokter suka memvonis “tidak ada obatnya”. Lalu yang salah siapa? Sang dokter atau Al-Khaliq yang menciptakan dokter itu? Jika hari ini ada beberapa jenis penyakit belum ada obatnya seperti AIDS, dll., masalahnya bukan “tidak ada obatnya”, akan tetapi ilmuwan, dokter, dll. Belum menemukannya. Jika belum menemukannya, kemudian divonis “tidak ada obatnya”. “Tidak ada” sangat bertolak belakang dengan sabda “pasti ada”.
Pada awalnya, para ilmuwan yang menemukan obat-obat dari beberapa jenis penyakit yang ada itu pun melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu. Akhirnya dihasilkan: untuk penyakit A obatnya adalah A, untuk penyakit B obatnya adalah B, dan begitu seterusnya. Seperti AIDS, penyakit yang sudah terlanjur divonis “tidak ada obatnya” ini pun sedang dalam proses dan tahapan-tahapan, berdasarkan inspirasi dan optimisme “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali diturunkan pula obatnya”.[3]
Saudara-saudaraku, kalian yang selalu optimis, kalian yang sedang dalam proses dan tahapan-tahapan… percayalah, “setiap penyakit pasti ada obatnya”. Adapun obat syirik adalah tauhid, kufur adalah iman, bid’ah adalah sunnah, maksiat dll. adalah taqwa. Hari ini dan – mungkin – seterusnya ada yang memvonis penyakit jahiliyyah, kehancuran moral, budaya, dan tata dunia pada umumnya “tidak ada obatnya”. Klaim dan vonis seperti ini sejalan dengan realita yang ada: realita kapitalis, sosialis, sekuleris, dan tata dunia baru yang hendak dicanangkan zionis. Realita ini adalah kabut yang menyelimuti dunia timur dan barat, realita frustasi dan pesimistis. Mereka beribu-ribu kali telah melakukan diagnosa, penyakitnya ditemukan tapi obatnya tidak…!
Ada apa gerangan…?
Sudah beratus tahun dilakukan uji coba dan penyembuhan, dicoba dengan soialis, diulang-ulang dengan sekuleris, nasionalis, dll. terus-menerus sampai hari ini dilakukan hipotesa, eksperimen, dll. namun seiring dengan itu juga menuai kegagalan demi kegagalan, bahkan yang ada justru kehancuran TOTAL… Upaya terus dilakukan, bahkan dipaksakan. Entah sampai kapan? Apa sampai ditemukan obatnya? Jika jatuh vonis “tidak ada”, apa mungkin ada optimisme untuk mencari? Ada atau tidak ada, masalahnya adalah kejujuran dan idealisme mereka. Apa masih ada? Jika kejujuran dan idealisme itu tidak ada, maka mana mungkin diagnosa, hipotesa, dll. bisa bermanfaat. Tidak akan ada yang namanya “percobaan penemuan baru”.
Selama ini, mereka mencari dan mencoba hanya pada “temuan” yang berputar tidak lebih jauh dari buah karya Darwin, Karl Marx, Lenin, Musthofa Kamal At-Taturk, Soekarno, dan beberapa tokoh lain, yaitu tokoh-tokoh yang melahirkan ide, falsafah, dan karya-karya yang kami sebut “anekdot ilmiah”. Karya-karya yang lahir dari manusia sakit, “the sick man”, yang tidak mungkin nilai-nilai karyanya menjadi obat, apa lagi solusi yang sakti, solusi bagi umat dan peradaban. Sungguh hari ini realita yang menganga adalah bukti buah karya “anekdot ilmiah” dari mereka yang terlanjur disebut “pahlawan”, atau “Bapak Sekuler”, atau “sang revolusioner”, dll….
Sungguh “anekdot ilmiah” itu merupakan virus peradaban dan penyakit abadi. Bagaimana mungkin “anekdot ilmiah” sosialis, lalu datang “anekdot ilmiah” made in kapitalis sebagai pahlawan dan obat? Tidak akan mungkin – sejalan dengan waktu – rumusan orang sakit dan akal-akalan sempit dapat berjalan sesuai harapan “maslahat” yang dicita-citakan mayoritas manusia berupa keamanan, kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan cita-cita luhir berupa kemerdekaan, dll. Tidak akan mungkin…!
Cukuplah sejarah sebagai bukti. Lihatlah hasil slogan “kemakmuran” yang penuh kedustaan dan malapetaka dunia di bawah PBB, pusat “anekdot ilmiah” digodok dan dipaksakan. Jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan “obat” atau secercah “dunia impian” dengan berharap pada “anekdot ilmiah”, falsafah, dan ideologi mereka selagi kabut masih gelap dan kejujuran idealisme mereka terbungkus oleh kedustan dan permainan yang direkayasa. Akibatnya, obat mujarab bernama Islam, ideologi langit sebagai sumber maslahat pun ikut terhanyut dan tercoreng dalam “kampanye” sistematis penuh dusta, manusia pun terpongah dan terperangkap, seolah obat (Islam) itu tidak ada. Yang ada hanyalah bagaimana memperbaiki “anekdot ilmiah” hingga menjadi sempurna, disertai bahasa: kesalahan oknum, bukan sistem – apalagi pendiri dan pencetusnya…! Begitu seterusnya…
Saudara-saudaraku, kita tahu dan idealisme mereka pun berbicara – setelah masa kejenuhan yang panjang – sesungguhnya obat itu bernama Al-Islam, obat yang pernah menyembuhkan 2/3 dunia kala itu. Ini bukan hanya dirasakan kaum muslimin, namun juga termasuk mereka; mereka yang hari ini hidup gengsi dengan “anekdot ilmiah” sampah dan penyakit peradaban manusia, virus akut untuk segala zaman, termasuk zaman di mana pendiri dan “anekdot ilmiah”-nya dipuji dan dipuja.
Kaum muslimin, kalian dan siapa pun yang berada dalam seruan ini, setelah kalian berada dalam penantian “penuh kejenuhan”, yaitu kelelahan dan kejenuhan yang dirasakan oleh generasi yang panjang. Jika terlambat dan kita hanya duduk-duduk saja, maka anak-cucu kita pun akan merasakan hal yang sama, bahkan lebih dan tergilas dalam suasana “kiamat”, yaitu “kiamat” yang bernama “tatanan dunia baru”. “Kiamat” ini jauh lebih dahsyat daripada masa-masa kita.
Ketahuilah, Allah menurunkan obat. Dengan obat itu Allah pun menjamin kesembuhan total. Tidak ada satu hal pun, kecil maupun besar, dari penyakit tatanan yang ada, penyakit moral, politik, ekonomi, dan segala yang berbau otoritas pasti terobati dengan baik. Ongkos akomoditasnya tidak semahal demokrasi dan “anekdot ilmiah” lainnya.
Ini bukan omong kosong…! Ini realistis… sejalan dengan realita sejarah masa lalu. Dan dalam logika mana pun pasti masuk akal. Betapa tidak, obat ini adalah ramuan dari Allah, Rabb yang menciptakan langit, bumi, dan isinya, termasuk kita dan para pendusta itu. Jika Dia (Allah) menciptakannya, maka logikanya adalah: produsen lebih tahu mekanisme produksinya. Jadi, jika ada makhluk yang merasa lebih tahu tentang obat kehidupan, maka yakinlah makhluk itu pendusta, meski melahirkan “anekdot ilmiah” setumpuk sampah di TPA (tempat pembuangan akhir).
Wahai sekalian manusia… ketahuilah bahwa obat itu bernama Islam, produk Rabb al-‘alamin, dan kaum muslimin adalah dokternya, jihad adalah jarum suntiknya, dan Allah finalis terakhir untuk kesembuhan total…
Wahai kaum muslimin… jadilah anda dokter. Gunakan jarum steril dan syar’i. Jarum itu ada di tanganmu. Steril atau tidaknya tergantung tauhid yang menjadi power-mu, tumpul atau tidaknya tergantung benar atau tidaknya power-mu. Jarummu adalah sarana, sedangkan power-mu adalah tujuan. Hati-hati, jangan sampai terbalik…! Jika tidak… maka sungguh jihadmu NESTAPA, bagai debu yang berterbangan, sehingga jadilah penyakit yang memperlambat penyembuhan yang bernama FUTUHAAT HAQQAN…
Kalian sebagai dokter, penuhilah syarat-syarat kedokteran anda, yaitu syarat totalitas: TAUHID wal JIHAD.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ [4]
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
NK, 05/09/13
(BUNG IRHAB)
[1] HR. Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat dalam hadits yang panjang no. 26. Ini riwayat satu-satunya dengan redaksi demikian, tapi masyhur di kalangan orang awam. Adapun di kalangan ahli hadits yang masyhur redaksinya berbunyi: قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا. (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 361, Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 4580, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ no. 568, Ath-Thabrani dalam Makarim al-Akhlaq no. 1, dan lain-lain (ed.)
[2] QS. Al-Isra’ : 81.
[3] Sejauh yang kami ketahui dari beberapa sumber, sudah ditemukan beberapa herbal yang bisa menyembuhkan penyakit AIDS (ed.)
[4] QS. Yunus : 57.
Sumber: Al-Mustaqbal.net
Posting Komentar