Sirah Nabawiyah mengajarkan kepada kita bahwa tujuan haruslah lebih dahulu dikedepankan sebelum wasilah (sarana), demikian Syekh Abu Qotadah dalam Al Jihad wal Ijtihad. Hal ini mengingat tujuan-tujuan Islam mempunyai kaitan erat dengan alam gaib, yakni ridho Allah SWT. Maka estimasi-estimasi dalam persoalan ini berbeda sepenuhnya dengan estimasi-estimasi dan target-target yang dibuat oleh para penulis militer yang menulis tentang berbagai gerakan revolusi di dunia.
Tujuan paling besar orang-orang Islam (termasuk Mujahid) dan kehendak mereka yang paling puncak lagi sempurna adalah merealisasikan tauhid di muka bumi. Jadi setiap upaya yang dimaksudkan untuk membatalkan atau menagguhkan atau menggantikan tujuan ini, maka sesungguhnya upaya tersebut tertolak, dengan mengesampingkan maslahat-maslahat lain selebihnya yang kita beranggapan dapat mencapai tujuan tadi setelahnya.
Maka dari itu, setiap tawar menawar seputar tujuan ini untuk mewujudkan sebagian maslahat adalah tawar menawar yang tertolak ; dan setiap upaya untuk menunda pembahasan mengenai maksud tujuan ini, maka yang seperti ini sama sekali tidak ada wujudnya dalam sirah Nabi SAW., dan sunnahnya. Tawar menawar dan penangguhan ini, wujud keberadaannya yang terbesar hanya terdapat pada diri orang yang memandang persoalan menurut tinjauan politik secara absolut dan menurut maslahat kepentingan secara luas, oleh karena ia mendengar bahwa penggalangan para pendukung (secara mutlak) adalah salah satu prinsip untuk mewujudkan tujuan dan perang malawan musuh.
Syekh melanjutkan, sesungguhnya sampai ke liang kubur dalam keadaan tetap berpegang teguh pada prinsip yang asli adalah lebih baik daripada melakukan tawar-menawar di dalamnya dan menunda pencapaiannya. Jadi, mendirikan Daulah (Negara) Islam adalah demi melayani tauhid, demi mewujudkan tauhid dan demi melindungi serta menjaganya, bukan sebaliknya. Islam bukanlah wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan, dan mencari keridhoan Allah SWT bukanlah wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan, tetapi semua wasilah yang dimiliki manusia adalah demi mewujudkan Islam pada diri kita dan untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Jadi, penangguhan dan tawar menawar hanya boleh dilakukan dalam urusan selain tauhid dan penjagaan tauhid. Adapun menangguhkan dan menakwilkan perkara yang khusus menjadi urusan tauhid dan ahlinya, maka ini adalah peri keadaan orang-orang yang mendalami buku-buku yang menuturkan cara-cara perjuangan kaum mujrimin (pendosa). Na’udzu billah min dzalik!
Metode Syar’i Mendirikan Negara
Membangun Negara Islam adalah hukum syar’i, maknanya upaya tersebut adalah wajib secara syar’i. Dalilnya adalah perintah Allah dalam kitabNya, dan dalam Sunnah Nabi SAW. Tatkala Khilafah Islam diruntuhkan, telah lepas tali persatuan yang mengikat umat dan muncul di berbagai penjuru dunia rambu-rambu ideologi batil yang dengan segera memburu negeri-negeri pecahan Khilafah Islam. Maka masuklah partai-partai komunis ke negeri kita padatahun 1917 Masehi, yakni pada tahun yang sama dengan Lenin ketika dia menjatuhkan musuhnya dan mendirikan Negara Komunis yang pertama di Rusia.
Setelah itu, bermunculan partai-partai berhaluan kanan dan berhaluan kiri dengan berbagai corak warna ideologi, seperti merah, putih, dan biru, mulai dari Partai Ba’ats, nasionalisme, sekulerisme, dan lainnya. Termasuk munculnya partai-partai dan tandzim-tandzim Islam. Dalam partai-partai tersebut banyak keumuman-keumuman yang tak dapat dispesifikan, dimana keumuman-keumuman ini yang menjadi sebab tidak tertuntunnya sebagian besar diantara mereka untuk mensikapi berbagai peristiwa kejadian yang datang begitu cepat. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan dan pendapat dalam metode ideal untuk mendirikan Negara Islam.
Di saat partai-partai dan musuh-musuh Islam yang berhaluan kiri dengan cepat membangun negara dan masyarakatnya, maka kaum Muslimin dalam tandzim-tandzim mereka masih saling berdebat diantara sesama mereka tentang metode Nabi SAW dalam mendirikan Negara Islam, dan perkara ini sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abu Qotadah, adalah perkara yang benar-benar sangat memalukan!
Menurut Syekh, metode ideal untuk mendirikan Negara Islam adalah sama dengan metode ideal untuk mendirikan negara apapun. Hal ini karena metode syar’i adalah sama dengan dengan metode kauni (hukum-hukum alam) itu sendiri. Apabila satu perkara telah pasti berasal dari sisi naql yang shahih, maka sesungguhnya ia akan sesuai dengan kauni yang sharih (hukum alam yang jelas). Akan tetapi hukum syar’i tidak diambil dari hukum kauni, tapi diambil dari hukum naql, yang penentuan hukum halal, haram, ja’iz, musttahab, atau makruh kecuali dengan nash Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As Sunnah.
Dengan demikian, sirah Nabawiyah adalah satu-satunya metode kauni dan syar’i untuk membangun Negara Islam. Dengan demikian, metode kauni (sunatullah, alamiah) yang digunakan oleh para cerdik cendikian di dalam membangun negara mereka adalah sama dengan metode Nabawi di dalam membangun negara Islam, oleh karena negara adalah sesuatu yang kongkret dan eksis wujudnya, sedangkan namanya dipakai untuk menyebut sesuatu yang satu menurut manusia semua. Akan tetapi ciri sifat yang disandangkan pada negara, berupa hukum-hukum dan nilai-nilai yang berlaku di dalam negara itulah yang mendedakan satu sama lain.
Ini adalah negara Islam, oleh karena ia memerintah dengan hukum dan nilai-nilai yang bersumber dari Islam. Ini adalah negara komunis, oleh karena ia memerintah dengan nilai-nilai komunis, ini adalah negara Ba’ats, karena ia memerintah dengan nilai-nilai yang dibuat oleh Partai Ba’ats. Wallahu’alam bis showab!
M Fachry