Bagaimana caranya agar Mujahidin bisa berintegrasi dan bersinergi dengan masyarakat dan menjaga hubungan baik dengan mereka ? Bagaimana mencegah kemungkinan musuh memanfaatkan ketidakpuasan beberapa elemen Islam terhadap perilaku tertentu dari para mujahidin, untuk menggaet dan memanfaatkan mereka, sehingga, mereka justru menjadi agen untuk memerangi mujahidin?
Berikut penjelasan terkait masalah di atas oleh Syekh Abu Ubaidah Khalid Abdullah Al-Adam, salah satu pemimpin Al Qaeda Iraq yang kemudian disebar luaskan melalui Al Fajr Media Center. Semoga bermanfaat!
Syaikh Al-Adam mengatakan, “Pergerakan Islam tidak selalu dilawan musuh dengan senjata, tetapi mungkin timbul karena kesalahan dari Mujahidin sendiri. Tidak selamanya musuh perlu mematahkan pergerakan Islam dengan perlawanan bersenjata secara langsung, tetapi bisa jadi merupakan reaksi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh mujahidin sendiri tanpa sadar karena kurangnya pemahaman tentang prioritas pada tahapan jihad yang dilancarkan. Allah-lah yang lebih tahu setiap kesalahan.”
Syaikh Al-Adam melalui pengalaman jihad selama ini bahwa putra-putra gerakan jihad selanjutnya harus menanggung derita karena “fitnah” kebangkitan jihad ini dan pupus sebelum matang. Bahkan, bibit-bibitnya yang baru tumbuh dalam kondisi buruk dan tidak mengetahui perkara-perkara berikut:
Pertama: Fikih Prioritas Tahapan Jihad
Syaikh Al-Adam menegaskan bahwa perkara utama yang sangat penting diketahui dengan sebaik-baiknya oleh kelompok jihad adalah fikih tentang fakta setiap tahap jihad yang dilalui. Setiap tahap jihad dan metode yang mestinya diterapkan berdasarkan kenyataan aktual yang dihadapi. Setiap kasus ada strategi yang relevan, baik strategi intelektual dalam pendekatan terhadap manusia maupun metode aksi di lapangan. Misalnya jihad pertahanan (daf’u shail), ia memiliki ciri khas dan fikih gerakan tersendiri yang mengharuskan kita untuk memobilisasi energi dan mengarahkan peran utama untuk melawan musuh. Selain itu adalah upaya menyatukan masyarakat dan kelompok-kelompok yang ada untuk bersama-sama memerangi musuh tanpa disibukkan oleh keraguan-keraguan yang lebih dominan memecah belah daripada menyatukan. Jangan sampai ada anggota masyarakat yang jatuh ke pelukan kafir tanpa disadari oleh Muhajirin atau pendukung jihad berbalik memusuhi dan membenci jihad.
Peringatan Soal Menegakkan Hudud di Darul Harbi:
Menegakkan hukuman had di bumi yang tidak berada di bawah kontrol mujahidin secara penuh, menurut Syaikh bukanlah langkah yang tepat. Misalnya yang terjadi di Pakistan distrik Swat. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini bila direnungkan. Padahal, orang-orang Swat sangat mendukung mujahidin dan agama telah merasuk di hati mereka. Jadi, ada perbedaan yang jauh antara kontrol nyata dan kontrol imajiner yang sementara.
Hindari harta masyarakat:
Syaikh Al-Adam juga mengingatkan kebijakan mujahidin yang mewajibkan masyarakat untuk menyerahkan sebagian harta mereka kepada muhajirin untuk kepentingan jihad. Meskipun menurut sebagian ulama langkah ini dibolehkan dengan syarat yang sudah dikenal dalam buku-buku fikih, mujahidin tidak boleh lengah untuk mempertimbangkan dampak suatu kebijakan, maslahat dan mafsadatnya. Sebab, pada umumnya, kebijakan ini bisa menyebabkan orang putus asa terhadap gerakan jihad, terutama dalam kondisi lemah. Beberapa gejalanya telah terjadi di beberapa suku di Pakistan.
Banyak contoh lainnya yang harus diperhitungkan dalam kebijakan perang dan diwaspadai dengan baik, sehingga musuh tidak mendapatkan pintu masuk untuk merusak masyarakat dan memanfaatkan mereka untuk melawan Mujahidin.
Kedua: Melakukan Pendekatan Kepada Masyarakat Sesuai Dengan Akal Dan Pengaruh Organisasi Mereka:
Ini adalah salah satu isu penting dan pekerjaan rumah mujahidin. Berbicara kepada masyarakat yang sudah terikat oleh suatu organisasi atau aliran, yang sudah mendarah daging harus menjadi perhatian utama. Terlebih lagi bila mujahidin di masyarakat tersebut bukan penduduk lokal.
Syaikh Al-Adam mengingatkan, pada awal jihad melawan Amerika di Afghanistan, dan khususnya di daerah suku Pashtun, beberapa mujahidin daerah tersebut bertanya tentang masalah takfir dan beberapa persoalan fikih terkait. Maka ada yang menyarankan agar mereka bertanya kepada si fulan yang merupakan ulama mujahid ketika itu. Padahal, orang yang menyarankan itu sebenarnya tahu jawabannya. Maksud orang tersebut tentu saja sudah bisa dimengerti.
Fikih mengubah kemungkaran dengan tangan:
Mengubah kemungkaran dengan kekuatan militer yang dilakukan oleh mujahidin saat ini, menurut Syaikh Al-Adam, baru sebatas daf’u shail saja dan mereka masih dalam keadaan lemah. Titik yang harus diperhatikan oleh setiap gerakan jihad di seluruh dunia adalah bertahap dalam mengubah kemungkaran, dan berbicara kepada masyarakat secara bertahap sesuai akal mereka, bukan akal kita. Pemahaman dan persepsi mereka harus dipertimbangkan, terutama dalam masalah tersembunyi yang jarang didengar oleh masyarakat, khususnya masalah takfir.
Mempertimbangkan pemahaman masyarakat:
Berbicara kepada manusia sesuai akal mereka merupakan perkara yang sangat penting dan utama. Bila kita tidak pandai dalam persoalan ini, akibatnya bisa-bisa tidak terpuji. Itulah sebabnya, para mujahidin harus memahami paradigma yang sesuai dengan baik. Rasulullah saw pernah bersabda, seperti diriwayatkan oleh Aisyah, “Kalau saja kaummu tidak baru saja meninggalkan perkara jahiliah, aku pasti menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai pondasi yang pernah dibuat oleh Ibrahim.” Hadits ini hendaknya menjadi slogan, petunjuk jalan, dan tolok ukur dalam perjalanan jihad yang panjang.
Ketiga, Tidak Berlebih-lebihan Dalam Beragama :
Syaikh juga mengingatkan, jangan membebani manusia dengan sesuatu di luar kemampuan, mengobok-obok isi hati mereka, dan memaksa mereka untuk mengikuti kebenaran yang kita yakini dengan kekuatan pedang, kekerasan, dan kekejaman. Sehingga, siapa pun yang tidak setuju dengan kita, mereka adalah musuh kita, atau paling tidak menilai mereka bukan bagian kita. Ini tentu saja tidak terpuji dalam urusan bermasyarakat dengan kaum muslimin.
Jangan Terlalu Cepat Mengafirkan Orang Lain :
Bukanlah langkah yang baik, menuduh seseorang kafir, fasik, ahli bid’ah, serta tuduhan lain tanpa memperhatikan kondisi manusia yang mungkin saja jauh dari pemahaman agama yang benar, atau bodoh, dan kehidupan mereka dalam dekade panjang di bawah kebijakan penguasa yang rusak.
Bersikap Lembut Kepada Manusia :
Bersikap lembut kepada orang lain sesuai kemampuan, bahkan kepada orang yang tidak sependapat harus tetap dijaga. Harapannya, mereka mau bergabung dalam barisan kita. Bila itu tidak bisa kita raih, mudah-mudahan mereka menjadi orang-orang yang bersikap netral. Dan bila ini juga tidak bisa, diharapkan emosi mereka tidak cenderung kepada musuh. Jangan sampai teman berbalik menjadi musuh dan bergabung ke barisannya. Tidak secara terang-terangan menyebut individu atau kelompok muslim tertentu sebagai musuh:
Ini merupakan isu sangat penting dan ditekankan oleh pemimpin Al-Qaedah tersebut. Ia mengatakan, “Menyebut seseorang atau kelompok secara terang-terangan sebagai musuh adalah kesalahan fatal dalam amal jihad, terutama dalam tahap daf’u shail. Langkah ini bisa membuat mereka berpihak kepada musuh, tanpa upaya apa pun dari musuh Allah dan musuh agama. Penyerangan terhadap kafir asli di negeri Muslim juga bisa menyebabkan masyarakat umum [yang tidak tahu persoalan jihad] benci terhadap Mujahidin. Jadi, berhati-hatilah terhadap konsekuensi permusuhan dari masyarakat awam, terutama jika isu kebencian terhadap mujahidin sudah meluas.
Keempat, Menahan Diri Terhadap Orang Yang Berhak Mendapatkan Hukuman :
Salah satu cara yang bijaksana saat berada di Darul Harbi adalah menahan penerapan hukuman bagi yang berhak demi mencegah kerusakan yang lebih besar akibat penerapan tersebut. Ini menjadi pedoman perjalanan jihad dari waktu ke waktu. Ada orang-orang yang layak untuk dibunuh karena murtad, baik dalam posisi berpengaruh maupun orang biasa di masyarakat. Orang yang berpengaruh di mata masyarakat, terutama yang tidak menunjukkan kemurtadan terang-terangan di mata orang awam, langkah ini perlu diperhatikan dan diterapkan. Nabi saw tidak mengizinkan Umar untuk menghukum Abdullah bin Ubai bin Salul karena beliau memiliki alasan tersendiri yang akhirnya Umar mengakui kebenaran sikap beliau.
Ini adalah contoh bahwa orang tertentu yang pantas dihukum ada baiknya ditangguhkan, agar tidak menjadi hasil berlawanan yang tidak diharapkan.
Hasil yang berlawanan seperti itu sudah populer dan dikenal oleh orang-orang yang bekerja lapangan jihad. Bahkan, orang-orang non-Muslim Vietnam juga mengakui keberhasilan politik seperti ini. Ali Fayyad, penulis buku Pengalaman Perang di Vietnam mengatakan,
“Beberapa pembunuhan politis telah menyebabkan efek sebaliknya bagi revolusi.”
Pembunuhan terhadap Trung, pemimpin kelompok Cao Dai, telah menyebabkan banyak anggotanya beralih mendukung Prancis dalam konflik tahun 1947. Pembunuhan terhadap Huyen Su pemimpin kelompok Hua Hu pada tahun yang sama telah menyebabkan beberapa anggotanya justru bekerja sama dengan Prancis.
Bahkan kita mungkin perlu melakukan semacam apa yang saya sebut “strategi penangkalan dan mencegah kerugian yang nyata”. Harus ada gambaran yang jelas untuk menghilangkan semua keraguan, sehingga tidak ada pembunuhan yang tidak semestinya atau apa alasannya tidak dapat ditangkap oleh banyak orang. Alangkah baiknya bila publik yang mengadili orang-orang yang bersalah. Karena, ada ungkapan bahwa orang awam itu akalnya berada di mata mereka.
Syaikh juga mengingatkan bahwa hal itu tidak sebaiknya dilakukan, terutama lagi oleh Mujahidin imigran.
Kelima: Polarisasi Dengan Dakwah Kepada Tokoh Masyarakat :
Salah satu dasar kerja jihad dan pendukung kelangsungan hidupnya adalah mengambil hati tokoh masyarakat dan ulama panutan mereka, kepala suku, pemimpin kabilah, dan orang-orang yang ditaati publik. Mereka adalah pintu utama bagi masyarakat untuk berdiri di barisan jihad. Tidak saja ketika gerakan jihad sedang mapan, di situasi yang paling sulit pun, mereka bisa menjadi katup pengaman untuk pekerjaan jihad secara keseluruhan. Pada masa-masa sulit, Nabi saw memohon kepada Allah agar Islam dikuatkan dengan salah satu tokoh yang Allah kehendaki; Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab. Dan Allah lebih menghendaki Umar.
Banyak cara untuk menarik tokoh, di antaranya melalui besanan, pernikahan dengan anaknya, konsultasi dan mengambil pendapatnya, menempatkan pada posisi yang pas dan menghormatinya, serta menjelaskan kebaikan dunia dan akhirat bagi mereka bila mendukung perjuangan.
Syaikh mengingatkan bahwa metode polarisasi ini telah menjadi bagian dari pengalaman pribadinya di salah satu suku di Pakistan. Beberapa klan secara keseluruhan telah mendukung kelompok jihad, bahkan mereka ikut hijrah dan perjalanan mujahidin. Beberapa kepala suku rela hijrah dan meninggalkan rumah mereka untuk mendukung Mujahidin, padahal banyak derita dan ujian yang harus dihadapi saat hijrah.
Syaikh Al-Adam menutup tulisannya dengan ungkapan, “Rahasia kesuksesan dalam amal jihad secara keseluruhan adalah kekuatan hubungan antara penduduk sipil dan kombatan jihad. Kesinambungan jihad dalam bentuk pembentukan negara dan tercapainya tujuan jihad dalam banyak hal sulit terwujud tanpa itu. Hubungan tersebut bisa terwujud dengan menaati beberapa poin yang telah disebutkan tadi. Sehingga masyarakat Muslim awam mendukung amal jihad bersenjata, dan asas-asas utama kebangkitan Islam tetap terproteksi dalam kelangsungan hidup dan kelanjutan jihad.”
Wallahu’alam bis showab!
M Fachry / Al-Mustaqbal Channel