Peristiwa-peristiwa politik hari-hari ini di tubuh partai dalam sistem kafir demokrasi di negeri ini memperlihatkan kepada kita semua, betapa menjijikkan dan bahayanya racun demokrasi. Belum lagi dosa syirik mengambil dan memperjuangkan demokrasi yang tidak diampuni dosanya oleh Allah SWT. Na’udzu billah min dzalik!
Apakah setelah peristiwa-peristiwa yang terang benderang ini masih juga kalian mau mengadopsi sistem kufur demokrasi? Masihkah kalian mau berpartai dalam partai sistem demokrasi yang busuk lagi menjijikkan?
Syekh Abdul Mun’m Musthofa Halimah alias Syekh Abu Bashir-hafidzahullah-pernah menyatakan bahwa tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya.
Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.
Masihkah Kalian Ragu?
Sementara itu, Ustadz Aman Abdurrahman-fakkalahu asrahu-dalam artikel yang berjudul Masihkah Kalian Ragu? Mengatakan banyak orang yang mengaku Islam bahkan mengaku dirinya bertauhid tidak mengetahui bahwa negara tempat ia hidup dan pemerintah yang yang bertengger di depannya adalah kafir. Ketahuilah, sesungguhnya keislaman seseorang atau negara bukanlah dengan sekedar pengakuan, tapi dengan keyakinan, ucapan dan perbuatannya.
Beliau kemudian menuturkan;
Sesungguhnya kekafiran Negara Indonesia ini bukanlah hanya dari satu sisi yang bisa jadi tersamar bagi orang yang rabun. Perhatikanlah, sesungguhnya kekafiran negara ini adalah dari berbagai sisi, yang tentu saja tidak samar lagi,kecuali atas orang-orang kafir. Inilah sisi-sisi kekafiran Negara Indonesia dan pemerintahnya :
Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah, tetapi berhukum dengan qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang merupakan hasil pemikiran setan-setan berwujud manusia, baik berupa kutipan atau jiplakan dari undang-undang penjajah (seperti Belanda, Portugis, dll) maupun undang-undang produk lokal. Allah Subhaanahu Wa Ta’alaberfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”(QS. Al Maaidah [5]: 44)
Ayat ini sangat nyata, meskipun kalangan Murji-ah yang berkedok Salafiy ingin memalingkannya kepada kufur asghardengan memelintir tafsir sebagian salaf yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya.
Negara dan pemerintah negeri ini lebih menyukai undang-undang buatan manusia daripada Syari’at Allah, maka kekafirannya sangat jelas dan nyata. Kekafiran undang-undang buatan ini sangat berlipat-lipat bila dikupas satu per satu, di dalamnya ada bentuk penghalalan yang haram, pengharaman yang halal, perubahan hukum/aturan yang telah Allah tetapkan dan bentuk kekafiran lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seseorang dikala menghalalkan keharaman yang sudah diijma’kan, atau mengharamkan kehalalan yang sudah diijma’kan, maka dia kafir murtad dengan kesepakatan fuqaha”. (Majmu Al Fatawa: 3/267)
Bahkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu Surat Al Maidah: 44 tadi. (Risalah fie Ma’na Thaghut, lihat dalam Majmu’ah At Tauhid).
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Tidak ada perselisihan di antara dua orang pun dari kaum muslimin bahwa orang yang memutuskan dengan Injil dari hal-hal yang tidak ada nash yang menunjukkan atas hal itu, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik lagi keluar dari Islam.” (Dari Syarh Nawaqidul Islam ‘Asyrah, Syaikh Ali Al Khudlair)
Bila saja memutuskan dengan hukum Injil yang padahal itu adalah hukum Allah -namun sudah dinasakh-, merupakan kekafiran dengan ijma kaum muslimin, maka apa gerangan bila memutuskan perkara dengan menggunakan hukum buatan setan (berwujud) manusia, sungguh tentu saja lebih kafir dari itu…
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Siapa yang menyelisihi apa yang telah Allah perintahkan kepada Rasul-Nya shallallaahu’alaihi wa sallam dengan cara ia memutuskan di antara manusia dengan selain apa yang telah Allah turunkan atau ia meminta hal itu (maksudnya minta diberi putusan dengan selain hukum Allah) demi mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya, meskipun dia mengaku sebagai mukmin.” (Fathul Majid: 270)
Apakah presiden, wakilnya, para menterinya, para pejabat, para gubernur hingga lurah, para hakim dan jaksa, apakah mereka memutuskan dengan hukum Allah atau dengan hukum buatan ? Apakah mereka mengamalkan amanat Allah dan Rasul-Nya atau amanat undang-undang ? Jawabannya sangatlah jelas. Maka dari itu tak ragu lagi bahwa mereka itu adalah orang kafir.
Saya tegaskan lagi bahwa setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah, maka ia adalah negara jahiliyyah, kafir, zhalim, lagi fasiq dengan penegasan ayat-ayat yang muhkam. Wajib bagi setiap muslim membenci negara itu dan memusuhinya karena Allah, serta haram atas mereka mencintai dan loyal kepadanya sehingga ia beriman kepada Allah saja dan menerapkan Syari’at-Nya.
Jadi, masihkah kalian mau mengambil demokrasi?
Wallahu’alam bis showab!
(GPT / Al-Mustaqbal)