Home » » Fiqih Tawanan

Fiqih Tawanan

Written By Anonim on Rabu, 04 September 2013 | 20.32



Judul Asli:
Hidâyatu `l-Hayârô Fî Jawâzi Qotli `l-Asârô

Penulis:
Syaikh Yûsuf bin Shôlih Al-‘Uyairî


Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad bin Abdillah, yang diutus sebagai rahmat seluruh alam; kepada para sahabat, keluarga, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kemudian.

Alhamdulillah, kami telah melaksanakan janji kami, untuk mengeksekusi sembilan tawanan, jika pemerintah Rusia tidak mau memenuhin tuntutan kami yaitu menyerahkan seorang penjahat yang terlibat kasus perkosaan yang kini mereka lindungi.

Namun, yang membuat kami sedih bukan karena mereka tidak mau menyerahkan pelaku kejahatan itu untuk kami eksekusi. Yang membuat hati kami sedih justeru datangnya surat-surat dari sebagian kaum muslimin yang mengecam tindakan kami ini, bahkan mengecamnya dengan sangat keras. Mereka berdalih dengan sebuah ayat yang mereka “comot” dari kitab Alloh, padahal mereka tidak memahami isinya: “…dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan …”

Dan firman Alloh: “…dan pelaku dosa tidak menanggung dosa orang lain…”

Mereka juga berdalih dalam mengecam kami dengan mengatakan, kita wajib mematuhi peraturan dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang melarang membunuh tawanan dan wajib menjaga hak asasi manusia…dst, masih banyak lagi pernyataan senada yang sampai kepada kami.

Kami menulis penjelasan berikut demi menerangkan landasan syar‘î kami, yang dari sana kami berkesimpulan bolehnya melaksanakan tindakan yang kami lakukan terhadap tawanan-tawanan itu. Kami memohon kepada Alloh semoga kami termasuk orang yang berijtihad kemudian benar ijtihadnya.

Mengingat pemaparan kami nanti agak panjang, kami akan membaginya kepada dua bagian:

Pertama: Jawaban terhadap orang yang mengharamkan membunuh tawanan karena berdalih dengan firman Alloh: “…dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan …”

Kedua: Jawaban terhadap orang yang mengatakan bahwa kita wajib mematuhi peraturan dan perjanjian internasional yang melarang membunuh tawanan, dan kita juga wajib menghormati hak-hak asasi manusia.
Untuk pembahasan pertama, terdapat empat permasalahan.

Masalah pertama: Tentang bolehnya membunuh tawanan dan jawaban terhadap orang yang mengingkari tindakan kami ini dengan menggunakan firman Alloh: “…dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan …” dan firman-Nya: “…dan pelaku dosa tidak menanggung dosa orang lain…”

Masalah kedua: Bolehnya saling tukar tawanan, orang muslim yang ditawan orang kafir kita tebus dengan orang kafir yang kita tawan.

Masalah ketiga: Bolehnya menukar mayat orang kafir dengan orang Islam yang tertawan atau dengan mayat orang Islam.

Masalah keempat: Tentang bolehnya memindahkan mayat atau anggota tubuh orang kafir.


MASALAH PERTAMA:

Penjelasan Mengenai Bolehnya Membunuh Tawanan Dan Jawaban Terhadap Mereka Yang Mengingkari Aksi Kami Dengan Menyitir Firman Alloh: “…dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan …” dan firman-Nya: “…dan pelaku dosa tidak menanggung dosa orang lain…”

Dalam Islam, masalah tawanan begitu diperhatikan. Terbukti dengan diletakkannya syariat yang sempurna, yang memelihara hak-haknya dan melarang pelecehan terhadap hak-hak kemanusiaan. Perlakuan Rosululloh SAW terhadap tawanan menggambarkan akan puncak tertinggi sebuah sikap bijaksana. Beliau memperlakukan tawanan sesuai dengan kondisi dan orang yang ditawan. Karena kami tidak ingin terlalu panjang dalam membahas masalah ini, dan lebih mengutamakan yang ringkas, kami tidak akan mengupas hukum-hukum tentang tawanan secara lengkap. Dalam pembahasan masalah ini kami hanya akan menyampaikan penjelasan dari sisi syar‘î seperlunya tentang eksekusi yang kami lakukan kepada tawanan, terutama peristiwa yang terjadi sembilan tawanan belakangan ini.

Kami katakan, dan hanya dengan pertolongan Alloh lah taufik dan kelurusan itu datang:

Para ulama memiliki lima pendapat terkait masalah tawanan:

Pendapat Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa tawanan musyrik itu dibunuh dalam kondisi apa pun, tidak boleh ditebus dan tidak boleh dibebaskan. Nash yang menghapus hukum bolehnya membebaskan dan menerima tebusan pada firman Alloh Ta‘ala: “…dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan…” adalah firman Alloh: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi…

Dan firman Alloh: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka…”

“…maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka…”
Mereka berkata, ayat-ayat ini, terutama ayat dalam surat At-Taubah tadi, menghapus semua nash sebelumnya. Pendapat ini dinukil dari Qotâdah, Adh-Dhohak, As-Suddi, Ibnu Juraij dan Al-‘Aufî dari Ibnu ‘Abbâs dan kebanyakan ulama Kufah.

‘Abdu `l-Karim Al-Jauzî berkata, “Pernah ditulis surat kepada Abû Bakar tentang seorang tawanan yang ditawan, mereka menyebutkan bahwa mereka mengambil tebusan senilai sekian dan sekian. Maka Abû Bakar menjawab, “Bunuh dia, sungguh membunuh satu orang musyrik lebih aku sukai daripada harta tebusan senilai sekian dan sekian.”

Hanya, pendapat ini bertentangan dengan riwayat-riwayat dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam. Kami akan memaparkan dalil-dalil yang membantah pendapat ini pada pendapat kelima nanti.

Pendapat kedua: Pendapat yang menyatakan bahwa semua orang kafir, baik musyrik atau kitâbî, tidak boleh ditebus dan dibebaskan. Tetapi mereka harus dibunuh. Adapun ayat yang membolehkan untuk membebaskan dan mengambil tebusan, yaitu: “…dan sesudah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan…” telah terhapus (mansûkh) bagi orang-orang musyrik dan kitâbî.

Pendapat kedua ini lebih umum daripada pendapat pertama. Mereka mengatakan, ayat tentang bolehnya membebaskan telah menurut segolongan ulama dan para peneliti; di antaranya adalah Qotâdah dan Mujahid. Mereka menambahkan, jika ada orang musyrik tertawan, tidak boleh dibebaskan (begitu saja) atau diminta tebusan untuk kembali kepada komunitas kaum musyrikin. Ia tidak boleh ditebus oleh kaum musyrikin lainnya, kecuali jika ia wanita; mengingat ia tidak boleh dibunuh. Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh: “…maka jika telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka…”

Karena sudah menjadi kepastian, bahwa At-Taubah adalah surat terakhir yang turun, maka semua orang musyrik harus selain mereka yang dinyatakan harus dibiarkan berdasarkan dalil, yaitu wanita dan anak-anak, atau orang yang dipungut jizyah. Inilah pendapat yang populer di kalangan madzhab Abû Hanifah. Hal ini karena dikhawatirkan orang-orang musyrik itu akan kembali memerangi kaum muslimin.

Abdurrozzâq menyebutkan; Telah memberitahu kami Ma‘mar, dari Qotâdah, (…dan sesudah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan…), ia berkata, “Telah dihapus dengan firman Alloh: “…maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka…”.”

Mujahid berkata, “Telah dihapus dengan firman Alloh: “…maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana pun kamu jumpai…”.”

Ini juga pendapat Al-Hâkim.

Pendapat ketiga: Pendapat yang mengatakan bahwa yang diperbolehkan bagi tawanan adalah membayar tebusan atau dibebaskan (cuma-cuma), berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “…dan sesudah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan…”

Hukum tawanan yang terakhir turun kepada Rosululloh SAW adalah memberikan pilihan antara membebaskan mereka atau meminta tebusan, dan tidak boleh mengambil pilihan selain dua hal ini.

Mereka yang menyatakan pendapat ini juga mengatakan, ayat di atas menghapus ayat-ayat lain.

Pendapat ini dinyatakan Adh-Dhohâk dan lain-lain.

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Juwaibir, dari Adh-Dhohak: “…maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka…” ia berkata, “Ayat ini dihapus dengan firman Alloh: Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan kepada mereka.””

Ibnu `l-Mubarok berkata, dari Ibnu Juraij: Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan kepada mereka; “Maka, orang musyrik tidak boleh dibunuh, tetapi dibebaskan atau dimintai tebusan sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla.”

Asy‘ats berkata, “Al-Hasan tidak suka membunuh tawanan, ia membaca firman Alloh: setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan kepada mereka.”

Al-Hasan juga mengatakan, “Dalam ayat ini ada yang didahulukan, ada yang diakhirkan. Seolah Alloh mengatakan: Maka penggallah leher-leher mereka sampai berhentinya perang, setelah itu mengatakan: Hingga apabila kamu telah berhasil mengalahkan mereka maka tangkaplah mereka.” Ia juga beranggapan, seorang Imam tidak boleh membunuh tawanan jika ada yang tertawan di tangannya. Tetapi ia hanya memiliki tiga pilihan; membebaskan, meminta tebusan, atau menjadikannya sebagai budak.

Pendapat ini tertolak berdasarkan yang dilakukan Rosululloh SAW yang berbeda dengan isi ayat ini setelah turun. Taruhlah kita menerima kekuatan pendapat ini, namun tetapi tidak bisa menjadi hujjah untuk mematahkan tindakan yang kami ambil, sebab perang belum lagi berhenti. Ia masih terus berlangsung hingga kini. Sehingga pendapat ini tidak bisa mematahkan tindakan yang kami ambil.

Pendapat keempat: Pendapat yang menyatakan, tebusan dan tawanan kecuali setelah musuh dikalahkan dan dibunuh dengan pedang. Berdasarkan firman Alloh:

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi…

Jika setelah ini berhasil menawan musuh, Imam dipersilahkan memutuskan sesuai pendapatnya; baik dibunuh atau yang lain.

Ini adalah pendapat Sa‘îd bin Jubair.

Pendapat kelima: Pendapat yang menyatakan bahwa Imam –atau yang mewakilinya—mempunyai empat pilihan dalam memperlakukan tawanan; bisa membunuhnya, membebaskannya, meminta tebusan, atau menjadikannya sebagai budak. Inilah pendapat Mâlik, Syâfi‘î, Ahmad dan jumhur ulama. Dan merupakan pendapat yang sejalan dengan dalil-dalil yang ada serta tidak bertentangan satu sama lain. Kita juga tidak perlu menyatakan adanya naskh (penghapusan) sebab semua dalil digunakan dalam pendapat ini. Juga karena ini adalah pendapat yang kami praktekkan, mengingat inilah pendapat yang paling kuat dalilnya. Kami akan coba paparkan beberapa pendapat ulama tentang pendapat ini.

Imam Ath-Thobari berkata ketika menafsirkan firman Alloh Ta‘ala: “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah, apabila Alloh menghendaki niscaya Alloh akan membinasakan mereka, tetapi Alloh hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang terbunuh di jalan Alloh, Alloh tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”

“Penjelasan tentang tafsir ayat ini, Alloh berfirman: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir; yakni kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya yang termasuk ahlu harb (pasukan perang) maka penggallah leher-leher mereka.

Firman-Nya: Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka; Alloh mengatakan, hingga apabila kamu berhasil menghalahkan mereka dan menaklukkan orang yang tidak kalian penggal lehernya di antara mereka sehingga mereka menjadi tawanan kalian, maka tawanlah mereka; Alloh mengatakan, tawanlah mereka dalam kondisi terikat supaya tidak membunuh kalian lalu mereka melarikan diri dari kalian.

Firman-Nya: dan sesudah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan; Alloh menyatakan, jika kalian menawan mereka setelah mengalahkan, kalian boleh membebaskan mereka setelahnya dengan cara melepaskan mereka dari tawanan dan memerdekakan mereka tanpa pengganti atau tebusan, atau bisa juga kalian meminta tebusan kepada mereka yaitu mereka harus memberikan penebus bagi diri mereka supaya kalian lepaskan dan bebaskan mereka.”

—sampai perkataan Ath-Thobari—

“Pendapat yang tepat dalam tafsir ayat ini menurut kami, adanya pilihan bagi Rosul SAW dan orang-orang yang memegang urusan umat sepeninggal beliau, antara membebaskan, meminta tebusan, atau membunuh; walau pun membunuh tidak tercantum dalam ayat ini. Sebab, Alloh telah memberi izin untuk membunuh mereka pada ayat lain, yaitu pada firman-Nya: …maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpai mereka.

Bahkan, memang seperti itulah faktanya. Karena Rosululloh SAW juga pernah memperlakukan dengan tiga perlakuan ini terhadap orang kafir harbi yang menjadi tawanan yang ada di tangan beliau, sebagian ada yang beliau bunuh, sebagian beliau mintai tebusan, dan sebagian lagi beliau bebaskan. Contohnya dalam perang Badar, beliau membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith ketika ia dibawa sahabat dalam kondisi tertawan. Beliau juga membunuh orang-orang Bani Quroidhoh ketika mereka dihukumi dengan hukum Sa‘ad, padahal mereka dalam kondisi menyerah dan beliau bisa saja membebaskan atau meminta tebusan kepada mereka. Beliau juga pernah meminta tebusan kepada segolongan tawanan dari kalangan orang-orang musyrik yang tertawan dalam perang Badar dan membebaskan Tsumâmah bin Utsâl Al-Hanafî ketika dia tertawan di tangan beliau. Hal itu terus terjadi dalam sejarah beliau memperlakukan orang kafir harbi sejak Alloh mengizinkan beliau untuk memerangi mereka hingga Alloh mewafatkan beliau SAW, itu terus berlaku di kalangan para sahabat. Hanya, Alloh –Jalla Tsanâuhû— cuma menyebutkan opsi membebaskan murni atau meminta tebusan karena perintah dan izin untuk membunuh tawanan sudah terlebih dahulu disebutkan pada seluruh ayat-ayat yang Dia turunkan secara berulang-ulang. Maka, Alloh memberitahukan kepada Nabi-Nya SAW opsi yang disebutkan dalam ayat ini yaitu membebaskan atau meminta tebusan dengan tetap mengizinkan beliau membunuh mereka.

Kemudian firman-Nya: Sampai perang berakhir…

Alloh Ta‘ala Dzikuruhû mengatakan, jika kamu bertemu orang kafir, penggallah leher-leher mereka dan perlakukan mereka yang tertawan sesuai yang sudah Ku-jelaskan kepadamu, sampai perang menghentikan dosa-dosanya dan beban-beban berat dari pesertanya yang musyrik (menyekutukan) Alloh, yaitu sampai mereka taubat kepada Alloh dari kesyirikannya lalu mereka beriman kepada-Nya dan kepada Rosul-Nya, serta mentaati-Nya dalam perintah dan larangan-Nya. Itulah yang disebut: wadho‘a `l-Harbu Awzârohâ (perang telah meletakkan dosa-dosanya). Ada yang berpendapat, hattâ tadho‘a `l-harbu awzârohâ maknanya adalah: sampai peperangan membuang dosa-dosa pesertanya. Ada juga yang mengatakan, sampai orang kafir harbî meletakkan dosa-dosanya.”

Imam Qurthubî menyatakan, tafsir ayat ini memiliki lima pendapat, setelah menyebutkan kelimanya dan memilih pendapat kelima, beliau berkata, “Sesungguhnya ayat ini muhkamah dan seorang imam diberi pilihan dalam semua kondisi. Pendapat ini diriwayatkan ‘Alî bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbâs dan dinyatakan oleh kebanyakan ulama; di antaranya Ibnu ‘Umar, Al-Hasan, dan ‘Athô’. Dan ini juga menjadi madzhab Mâlik, Syâfi‘î, Ats-Tsauri, Al-Auzâ‘î, Abû Ubaid dan lain-lain, yaitu imam diberi pilihan. Karena, Nabi SAW dan para khulafau `r-rosyidun melakukan semua pilihan itu. Nabi SAW pernah membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith dan Nadhr bin Harits di waktu perang Badar selagi mereka tertawan. Lalu beliau meminta tebusan kepada tawanan sisanya. Beliau juga pernah membebaskan Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi ketika ia tertawan di tangan beliau. Beliau juga pernah meminta seorang budak wanita yang ditawan Salamah bin Al-Akwa‘ untuk menebus beberapa kaum muslimin yang ditawan musuh. Pernah juga suatu kaum dari penduduk Mekkah singgah di daerah kekuasaan beliau kemudian beliau menangkap mereka dan membebaskan mereka. Beliau juga membebaskan tawanan suku Hawazin. Semua ini ada riwayatnya dalam hadits shohih. Pendapat ini diriwayatkan dari penduduk Madinah, Syâfi‘î, Abû Ubaid, Ath-Thohawi juga menukil sebuah madzhab dari Abû Hanifah; pendapat dia yang masyhur adalah seperti yang kami kemukakan. Hanya milik Alloh Azza wa Jalla saja taufik.”

“Ada yang berpendapat, makna Auzâr adalah senjata. Sehingga makna ayat ini: tangkaplah mereka sampai kalian mendapat keamanan dan meletakkan senjata. Ada juga yang berpendapat, makna ayat ini adalah: Sampai musuh meletakkan senjata mereka karena kalah atau genjatan senjata. Kadang, Al-Kirô‘ (kuda) biasa disebut auzâr. Al-A‘sya berkata,

Kusiapkan untuk perang kuda-kudanya
Tombak-tombak panjanga dan kuda-kuda jantan
Dari tenunan Dawud kuda itu dihalau
Di belakang sebuah wilayah, segerombol demi segerombol

Ada juga yang mengatakan, hattâ tadho‘a `l-harbu auzârohâ maknanya: sampai perang meletakkan beban-beban beratnya; al-wizru artinya ats-tsaqolu. Makanya ada istilah wazîru `l-malik (menteri raja) sebab ia membawa beban-beban berat. Beban-beban berat perang adalah senjata, sebab berat membawanya. Ibnu `l-‘Arobi berkata, “Al-Hasan dan ‘Athô’ mengatakan, dalam ayat ini ada pendahuluan dan pengakhiran, yang maknanya: maka penggallah leher-leher mereka hingga perang berhenti, maka jika kalian berhasil mengalahkan mereka lakukan penawanan.”

Alloh mengatakan, penggallah leher-leher mereka dan tidak mengatakan bunuhlah mereka; sebab, ungkapan menggunakan kata memenggal leher memiliki gertakan keras dan kesadisan yang tidak ada dalam ungkapan kata membunuh. Karena itu menunjukkan penggambaran aksi pembunuhan paling sadis, yaitu memotong leher dan menerbangkan anggotan badan (kepala) yang merupakan puncak anatomi tubuh, bagian atas dan sekaligus pusat pewajahan seluruh anggota badan.

Firman-Nya: sampai jika kamu berhasil mengalahkan mereka; yakni kalian sudah banyak membunuh (musuh), maka lakukanlah penawanan (fa syuddu `l-watsâq). Dibaca Al-Watsâq atau al-witsâq (dengan waw kasroh) menurut salah satu versi bahasa. Alloh memerintahkan untuk memperkuat tali (al-witsâq) tak lain agar mereka tidak terlepas. Sesudah itu, kalian boleh membebas murnikan mereka tanpa tebusan, boleh juga meminta tebusan. Alloh tidak menyebutkan pilihan membunuh di sini karena sudah cukup dengan perintah membunuh di awal pembicaraan.” Sampai di sini perkataan Al-Qurthubî secara ringkas.

Al-Jashosh berkata di dalam Ahkâmu `l-Quran : “Alloh Ta‘ala berfirman: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Abû Bakr mengatakan, dzohir ayat ini mengandung makna wajibnya membunuh, bukan pilihan lain, kecuali jika sudah berhasil mengalahkan musuh. Ini mirip dengan firman Alloh Ta‘ala: Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.”

Ia menambahkan, “Itu ketika perang Badar, di saat kaum muslimin sedikit. Ketika jumlah mereka sudah banyak dan kekuasaan mereka menjadi kuat, Alloh Ta‘ala menurunkan ayat tentang tawanan setelahnya: dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. Maka, Alloh memberi pilihan kepada Nabi SAW dan kaum mukminin kaitannya dengan masalah tawanan; kalau mau mereka boleh membunuhnya, kalau mau mereka boleh menjadikannya budak, dan kalau mau mereka juga boleh menerima tebusan darinya –Abû Ubaid ragu dalam ungkapan: kalau mau mereka menjadikannya budak—.” Ia melanjutkan, “Rosululloh SAW dulu membunuh Uqbah bin Abi Mu‘ith yang tertawan dalam perang Badar.”
Abû Bakr berkata, “Para fuqoha’ di semua penjuru sepakat mengenai bolehnya membunuh tawanan, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini. Hadits-hadits dari Nabi SAW telah mencapai derajat mutawatir, yang menyatakan tentang bolehnya membunuh tawanan; di antaranya beliau membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith dan Nadhr bin Harits setelah mereka tertawan dalam perang Badar. Pada perang Uhud, beliau juga membunuh seorang penyair bernama Abû ‘Izzah, setelah dia tertawan. Beliau juga mengeksekui orang-orang Bani Quroidhoh setelah mereka mengangkat Sa‘ad bin Mu‘âdz sebagai hakim, kemudian ia menjatuhkan hukuman mati dan menawan anak-anak mereka. Kemudian beliau membebas murnikan Zubair bin Batho di antara mereka. Dalam menaklukkan Khoibar, beliau menaklukkannya dengan cara berdamai satu kali, dan di waktu yang lain dengan menggunakan kekerasan. Beliau juga pernah memberi syarat kepada Abu `l-Huqoiq untuk tidak menyembunyikan sesuatu pun, tatkala terbukti ia berkhianat dan menyembunyikannya akhirnya beliau membunuhnya. Pada waktu penaklukan kota Mekkah, beliau memerintahkan untuk membunuh Hilâl bin Khothol, Muqois bin Hibâbah, ‘Abdullôh bin Sa‘d bin Abi Sarh dan beberapa orang lain. Beliau mengatakan, “Bunuhlah mereka, meskipun kalian menjumpai mereka bergelayut pada tirai Ka‘bah.” Beliau juga membebas murnikan penduduk Mekah lainnya dan tidak mengambil harta mereka sebagai ghonimah. Diriwayatkan dari Abû Bakr Ash-Shiddiq, ia berkata, ‘Aku ingin, sekiranya ketika aku disodori tawanan aku tidak membakarnya, tetapi aku ingin membunuhnya dengan cara terlentang, atau aku membebaskannya dengan sabar.”

Dan dari Abû Mûsâ, bahwasanya ia membunuh Dahqon bin Saus setelah sebelumnya ia memberikan jaminan keamanan kepada suatu kaum, lalu ia lupa tidak memasukkannya ke dalam jaminan keamanan tersebut, akhirnya ia membunuhnya.

Inilah atsar-atsar mutawatir bersumber dari Nabi SAW dan para shahabat mengenai bolehnya membunuh tawanan atau membiarkannya. Dan semua fuqoha di segala penjuru negeri menyepakati hal itu.” Selesai dengan sedikit adaptasi.

Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsir-nya : “Syâfi‘î –semoga rahmat Alloh selalu tercurah kepadanya—berkata, ‘Seorang imam diberi pilihan, antara membunuh tawanan, membebas murnikan, meminta tebusan, atau menjadikannya sebagai budak. Masalah ini dikupas di dalam Ilmu Furu‘, kami telah menunjukkan hal ini dalam buku kami, Al-Ahkâm.”

Ibnu Qudamah berkata di dalam Al-Mughni : “Jika imam menangkap tawanan, ia diberi pilihan. Boleh membunuhnya jika ia memang berpendapat seperti itu, jika ia berpendapat membebaskan tanpa tebusan pun tidak mengapa, dan jika ia berpendapat membebaskan mereka dengan ganti sejumlah harta yang ia pungut dari mereka pun tidak mengapa. Jika ia memiliki pendapat, boleh saja menebus tawanan lain dengannya, atau kalau ia punya pendapat boleh juga menjadikan mereka sebagai budak. Mana saja di antara pilihan ini yang menurutnya lebih menimbulkan efek kerugian kepada musuh serta memberikan keuntungan kepada kaum muslimin, silahkan ia lakukan. Secara umum, orang kafir harbi yang ditawan ada tiga golongan:
Pertama, wanita dan anak-anak, mereka ini tidak boleh dibunuh, mereka menjadi budak bagi kaum muslimin dengan ditawan tersebut. Karena Nabi SAW melarang membunuh wanita dan anak kecil –dalam hadits Bukhori Muslim—dan jika beliau menawan golongan seperti ini, beliau menjadikan mereka sebagai budak.
Kedua: Pria dewasa dari kalangan Ahli Kitab atau Majusi yang mau mengakui kewajiban membayar jizyah. Untuk golongan ini, imam memiliki empat pilihan: membunuhnya, membebas murnikan tanpa tebusan, menerima tebusan, atau menjadikannya sebagai budak.

Ketiga: Pria dewasa dari kalangan para penyembah berhala dan sejenisnya, yang tidak mau mengakui kewajiban membayar jizyah. Dalam hal ini, imam memiliki tiga pilihan: membunuhnya, membebas murnikannya, atau menerima tebusan darinya, imam tidak boleh menjadikannya sebagai budak. Di dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad dinyatakan, boleh menjadikan mereka sebagai budak. Ini juga pendapat Syâfi‘î.

Pendapat yang kami kemukakan sebelumnya mengenai pria dewasa dari ahli kitab, dinyatakan juga oleh Al-Auza‘î, Syâfi‘î dan Abû Tsaur. Dinukil juga dari Mâlik, pendapat yang sama dengan madzhab kami. Dalam riwayat lain darinya, tidak boleh membebas murnikan tanpa tebusan, sebab itu tidak ada mashlahatnya, sedangkan imam hanya boleh melakukan tindakan yang ada mashlahatnya.

Bagi kami, dalil bolehnya membebas murnikan dan meminta tebusan adalah firman Alloh: dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan; juga bahwa Nabi SAW pernah membebas murnikan Tsumamah bin Utsal, Abû Izzah si penyair, dan Abu `l-‘Ash bin Robi‘. Terkait dengan tawanan Badar, Rosululloh SAW bersabda, “Seandainya Muth‘im bin ‘Adî masih hidup, lalu ia memintaku untuk membebaskan orang-orang busuk itu, tentu aku bebaskan mereka.” Dan beliau meminta tebusan para tawanan Badar yang berjumlah 73 orang, masing-masing dengan harta sejumlah empat ratus. Dalam perang Badar juga, Rosululloh SAW menukar satu tawanan dengan dua tawanan dan menukar shohibu `l-‘adhbâ’ dengan dua orang.

Adapun pilihan membunuh tawanan, karena Nabi SAW pernah membunuh pria-pria Bani Quroidhoh yang jumlah mereka antara 600 sampai 700 orang. Dalam perang Badar, beliau juga membunuh Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abi Mu‘ith setelah mereka tertawan. Dalam perang Uhud beliau membunuh Abû Ghozzah. Semua ini adalah kisah yang sudah tersebar luas dan populer, tindakan Nabi SAW seperti ini juga beliau lakukan berkali-kali yang menunjukkan berarti itu boleh. Alasan lain, bisa jadi masing-masing pilihan lebih mendatangkan mashlahat jika diterapkan pada sebagian tawanan. Sebab ada di antara tawanan yang memiliki kekuatan dan menimbulkan kerugian kepada kaum muslimin, hidupnya membuat mereka terancam bahaya, sehingga membunuh tawanan seperti ini lebih mendatangkan mashlahat. Ada juga di antara tawanan itu yang lemah tapi banyak harta, sehingga meminta tebusan kepadanya lebih mendatangkan mashlahat. Di antara mereka juga ada yang berpemikiran baik tentang kaum muslimin dan diharapkan keislamannya ketika ia dibebaskan, atau diharapkan bantuannya bagi kaum muslimin dengan melepaskan tawanan mereka di tangan musuh dan mau membela mereka, sehingga dibebaskan lebih mendatangkan mashlahat. Ada juga di antara mereka yang bisa dimanfaatkan khidmat (pelayanan)nya dan di satu sisi kejahatannya tidak dikhawatirkan, sehingga dijadikan budak lebih mendatangkan mashlahat, seperti kaum wanita dan anak-anak. Dan imam adalah orang yang paling mengerti tentang mashlahat, maka sudah sepantasnya semua urusan ini diserahkan kepadanya.

Firman Alloh Ta‘ala: bunuhlah orang-orang musyrik, bersifat umum dan tidak terhapus (manshukh) dengan nash khusus, akan tetapi didudukkan untuk selain kondisi yang dikhususkan. Maka dari itu, tidak haram menjadikan mereka (ahli kitab dan majusi yang mau membayar jizyah, penerj.) sebagai budak.

Adapun para penyembah berhala, tentang boleh tidaknya menjadikan mereka sebagai budak terdapat dua riwayat; salah satunya menyatakan tidak boleh, inilah madzhab imam Syâfi‘î. Sedangkan Abû Hanifah mengatakan, boleh jika mereka orang ‘Ajam, bukan Arab, ini didasari pendapatnya dalam masalah pemungutan jizyah.

Adapun menurut kami, orang seperti ini kafir dan tidak mau mengakui kewajiban membayar jizyah, maka tidak boleh juga diaku sebagai budak. Sama dengan orang murtad. Kami telah sebutkan dalil tentangnya.
Jika ini jelas, maka seungguhnya pemberian pilihan ini adalah pemberian pilihan berdasarkan mashlahat ijtihad, bukan pilihan yang disandarkan kepada syahwat (sesuai selera). Maka, kapan imam melihat ada mashlahat pada salah satu dari pilihan-pilihan ini, wajib baginya untuk mengambilnya dan tidak boleh berpaling kepada pilihan lain. Dan kapan ia ragu antara semua pilihan, maka membunuh lebih baik. Mujahid mengatakan, dalam kondisi ragu ada dua pilihan, salah satunya dibunuh, dan itu lebih baik. Begitu pula dikatakan imam Mâlik. Ishâq berkata, “Menaklukkannya (membunuhnya) lebih kusukai, kecuali jika ia orang yang terkenal dan diharapkan sekali bisa merekrut orang banyak.” Selesai.

Syaikhu `l-Islâm Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat jumhur ini, ia mengatakan di dalam Al-Fatâwâ : “Jika imam diberi pilihan dalam masalah tawanan antara membunuh, menjadikannya budak, membebaskan atau memintai tebusan, maka ia harus memilih yang paling mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin. Dengan begitu, ia (bisa) dalam posisi yang benar dalam ijtihadnya dan telah menghukumi berdasarkan hukum Alloh serta mendapat dua pahala, bisa juga ijtihadnya tidak benar sehingga ia tetap mendapat pahala dari upaya yang sudah ia curahkan, ia tidak berdosa hanya karena tidak mampu mendeteksi sebuah mashlahat.”

Syaikhu `l-Islâm Ibnu `l-Qoyyim juga memilih pendapat jumhur ini, ia mengatakan di dalam Zâdu `l-Ma‘âd : “Adalah Rosululloh SAW pernah membebas murnikan sebagian mereka, membunuh sebagian mereka, menebus sebagian mereka dengan harta, dan sebagian lagi ditukar dengan kaum muslimin yang tertawan. Beliau melakukan semua itu sesuai dengan mashlahat.” Lalu beliau menyebutkan dalil-dalil seperti kami kemukakan.

Ibnu Hajar menyatakan di dalam Fathu `l-Bârî : “Ucapan dia –yakni ucapan Tsumamah bin Utsal kepada Rosululloh SAW ketika ia tertawan—‘Jika engkau membunuhku, engkau membunuh orang yang darahnya bernilai; jika engkau memberi anugerah, engkau menganugerahi orang yang pandai berterima kasih; jika engkau meninginkan harta, mintalah sesukamu.’ Sesungguhnya Nabi SAW mendiamkan saja pernyataannya dan tidak mengingkari klasifikasi pilihan darinya ini. Setelah itu, beliau membebas murnikannya. Berarti, ini semakin menguatkan pendapat jumhur, bahwa urusan orang kafir dewasa yang ditawan dikembalikan kepada imam, ia bisa melakukan sesuatu yang paling memberikan keuntungan kepada Islam dan kaum muslimin. Ath-Thohawi berkata, ‘Dzohir ayat ini menjadi hujjah penguat pendapat jumhur. Demikian juga hadits Abû Huroiroh tentang kisah Tsumamah, hanya dalam kisah Tsumamah itu disebutkan pilihan membunuh.’ Abû Ubaid berkata, ‘Ayat ini sama sekali tidak ter-mansukh, tetapi itu adalah ayat yang muhkam. Hal itu karena Nabi SAW melakukan sebuah tindakan berdasarkan semua yang ditunjukan oleh ayat dalam semua hukumnya. Maka, sebagian orang kafir beliau bunuh pada perang Badar, sebagian beliau mintai tebusan dan sebagian lagi beliau bebas murnikan. Beliau juga membunuh orang-orang Bani Quroidhoh dan membebaskan Bani Mushtholiq, membunuh Ibnu Khothol dan lain-lain di Mekkah serta membebaskan sisanya. Beliau juga menawan suku Hawazin lalu membebaskan mereka dan membebaskan Tsumamah bin Utsal. Semua itu menunjukkan lebih kuatnya pendapat Jumhur yang menyatakan bahwa masalah itu dikembalikan kepada pendapat imam. Pada intinya, kondisi tawanan setelah ditawan imam, imam diberi pilihan: memungut jizyah bagi mereka yang memang disyariatkan untuk dipungut jizyah, membunuh, menjadikan budak, membebaskan tanpa tebusan atau dengan tebusan, ini bagi kaum pria. Adapun kaum wanita dan anak-anak, maka mereka dijadikan budak dengan ditawannya mereka. Boleh juga menukar tawanan wanita kafir dengan tawanan lelaki muslim atau muslimah yang ditangkap orang-orang kafir. Dan jika seorang tawanan masuk Islam, pilihan dibunuh hilang seketika menurut kesepakatan ulama.” Selesai dengan sedikit adaptasi.

As-Suyûthî berkata di dalam Al-Asybâh wa `n-Nadzôir : “Tindakan imam terhadap rakyat terkait dengan mashlahat. Kaidah ini ditetapkan oleh imam Syâfi‘î, beliau berkata: ‘Kedudukan imam bagi rakyat seperti kedudukan wali bagi anak yatim.’ Di antara contohnya, jika ia diberi pilihan tentang tawanan antara membunuhnya, menjadikannya budak, membebas murnikan atau meminta tebusan, maka ia tidak boleh memilih berdasarkan selera (syahwat) tetapi berdasarkan mashlahat. Jika ia belum juga melihat adanya mashlahat, ia harus terus menahan mereka sampai mashlahat itu terlihat.” Selesai dengan sedikit adaptasi.

Al-Kâsânî berkata di dalam Badâi‘u `s-Shonâ’i‘ : “Adapun tawanan, dalam hal itu imam memiliki tiga pilihan. Kalau mau membunuh mereka, yaitu pria dewasa yang menjadi pasukan tempur, dan menawan kaum wanita dan anak-anak, berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: maka penggallah kepala mereka. Dan ini berlaku setelah dilakukan penangkapan dan penawanan. Sebab, memenggal kepala adalah memisahkan persendian leher dan itu tidak bisa dilakukan ketika perang masih berkecamuk, itu hanya bisa dilakukan setelah menangkap dan menawan. Diriwayatkan bahwa Rosululloh SAW meminta saran kepada para sahabat yang mulia –rodhiyallohu Ta‘ala ‘anhum—kaitannya dengan tawanan perang Badar; lalu sebagian mereka menyarankan agar beliau meminta tebusan, sedangkan sayyidina ‘Umar RA menyarankan agar membunuh mereka. Maka, Rosululloh SAW bersabda, ‘Seandainya turun api dari langit, tidak ada yang selamat selain ‘Umar,’ beliau mengisyaratkan bahwa yang benar adalah membunuh mereka. Demikian juga diriwayatkan dari beliau –alaihis sholatu wa s-salam—bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith dan Nadhr bin Harits dalam perang Badar dan membunuh Hilal bin Khothol dan Muqois bin Shobabah dalam peristiwa penaklukan Mekah. Di samping itu, bisa jadi mashlahat itu ada dalam membunuh tawanan, sebab itu akan memberantas mereka sampai ke akarnya, sehingga seorang imam mesti melakukannya.”

Asy-Syaukani berkata di dalam Nailu `l-Authôr : “Pendapat jumhur dalam urusan tawanan dari kalangan pria dewasa kafir, dikembalikan kepada imam. Hendaknya ia melakukan apa yang paling menguntungkan Islam dan kaum muslimin. Ath-Thohawi mengatakan, dzohir ayat ini –yakni firman Alloh Ta‘ala: sesudah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau meminta tebusan—menjadi hujjah yang menguatkan pendapat jumhur. Alhasil, Quran dan Sunnah memberikan ketetapan mengenai pendapat yang dipegang jumhur. Karena sesungguhnya, Nabi SAW pernah membebaskan tawanan dan meminta tebusan sebagaimana dalam hadits-hadits dalam bab ini, beliau juga pernah membunuh tawanan, beliau membunuh Nadhr bin Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith dan lain-lain. Beliau juga pernah menebus dua orang kaum muslimin yang tertawan dengan seorang tawanan dari kaum musyrikin sebagaimana tercantum dalam hadits ‘Imrôn bin Hushoin. Tirmizî berkata, setelah menyebutkan hadits ‘Imrôn bin Hushoin tadi, ‘Inilah yang dipraktekkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi SAW dan lain-lain, yaitu imam boleh membebas murnikan tawanan yang ia kehendaki, membunuh siapa yang ia kehendaki dan meminta tebusan dari siapa yang ia kehendaki.’ Ishâq bin Manshûr berkata, ‘Kukatakan kepada Ahmad (bin Hanbal) jika ada orang tertawan, mana yang lebih engkau sukai; meminta tebusan kepadanya atau membunuhnya? Ia menjawab, ‘Jika ia mampu membayar tebusan, itu tidak masalah. Jika ia dibunuh, aku melihat tidak mengapa juga.’”

Senada dengan pernyataan Asy-Syaukani, Al-Mubarokfuri mengatakan di dalam Tuhfatu `l-Ahwadzî.

Al-Adzim Abadi berkata di dalam ‘Aunu `l-Ma‘bûd : “Bab: Membunuh Tawanan dan Tidak ditawarkan Islam kepadanya. Rosululloh SAW memberikan jaminan keamanan kepada semua orang (dalam peristiwa penaklukan Mekah, penerj.) selain empat pria dan dua wanita, beliau mengatakan, ‘Bunuhlah mereka meskipun kalian temukan mereka bergelayut pada tirai Ka‘bah; Ikrimah bin Abû Jahal, ‘Abdullôh bin Khothol, Muqois bin Shobabah, dan ‘Abdullôh bin Abi Sarh.’”

As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Mabsûth : “Dan aku bertanya kepadanya –yakni Abû Hanifah—tentang seseorang yang berhasil menawan seorang lelaki dari musuh, apakah ia boleh membunuhnya ataukah membawanya kepada Imam? Abû Hanifah berkata, ‘Mana saja yang ia lakukan, itu baik; sebab dengan tertawan tidaklah menggugurkan kebolehan menumpahkan darahnya menunggu imam membunuhnya. Demikian juga, orang yang menangkapnya boleh membunuhnya sebagaimana sebelum ia menangkapnya. Dan ketika Umayyah bin Kholaf dibunuh setelah ia tertawan, Rosululloh SAW tidak mengingkari orang yang membunuhnya. Tapi jika ia membawanya kepada imam, itu lebih dekat kepada penghormatan terhadap kedudukan imam. Sedangkan yang pertama lebih dekat kepada penampakkan kedahsyatan terhadap orang-orang musyrik serta meruntuhkan kekuatan mereka. Maka, sebaiknya ia memilih yang ia ketahui lebih bermanfaat dan lebih baik bagi kaum muslimin.’”

Setelah memaparkan beberapa perkataan ulama tentang tawanan, sekarang jelaslah bagi mereka yang mengecam, bahwa hukuman bunuh yang kami jatuhkan kepada para tawanan itu bukan berangkat dari hawa nafsu kami. Namun, kami melihat adanya mashlahat dalam membunuh mereka sebagai ganti menyerahkan satu orang.

Kalau ada yang mengatakan kepada kami: “Lalu apa dosa sembilan tawanan itu jika yang bersalah satu orang itu, padahala Alloh berfirman: dan orang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain. ?

Kami katakan, tawanan itu berhak dibunuh dengan dosanya. Karena, Alloh SWT membolehkan kita membunuh tawanan hanya karena dia tawanan. Artinya, di sana tidak ada kondisi-kondisi lain yang harus menjadi penguat untuk membunuhnya. Lalu bagaimana jika dalam kondisi ini, dibunuhnya ia karena dosa temannya itu, merupakan maslahat terbesar? Jadi kami memperlakukan mereka dengan firman Alloh: Dan takutlah akan fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang dzalim di antara kalian.

Maka, kami menghukum sebagian mereka lantaran dosa sebagian yang lain, itu lebih memberikan gertakan dan kerugian kepada mereka. Rosululloh SAW sendiri juga pernah memperlakukan seseorang berdasarkan kesalahan kaumnya.

Hadits tentang itu diriwayatkan Muslim dari ‘Imrôn bin Hushoin, ia berkata: “Tsaqif adalah sekutu Bani ‘Uqoil, maka Tsaqif menawan dua orang shahabat Rosululloh SAW sedangkan para shahabat menawan satu orang dari Bani ‘Uqoil. Mereka juga menangkap Al-‘Adhba’ lalu membawanya kepada Rosululloh SAW dalam keadaan terikat. Ia berkata, ‘Hai Muhammad,’ kemudian Rosululloh SAW mendatanginya, ‘Apa urusanmu?’ ia berkata, ‘Atas dasar apa engkau menangkapku dan menangkap perintis urusan haji?’ yakni Al-‘Adhba’, beliau menjawab, ‘Aku menangkapmu karena dosa sekutumu, Tsaqif.’

Di sini, Rosululloh SAW tidak berlaku berlebihan, sebab kondisi perang kadang menuntut untuk melakukan tindakan-tindakan seperti ini demi menjamin keselamatan tentara Islam. Bahkan, kami tidak mungkin bisa menjaga kehormatan kaum muslimin selain dengan melakukan tindakan-tindakan seperti ini. Kami juga punya alasan lain yang barangkali tidak bisa difahami dengan jelas oleh selain kami, bahwa dalam membunuh tawanan itu ada mashlahat yang jelas bagi kami. Jika kami membebaskan mereka –dan ini telah kami lakukan pada sebagian mereka—maka ini adalah yang menurut kami lebih mendatangkan mashlahat pada sebagian tawanan. Jika kami membunuhnya, maka itu adalah mashlahat yang terkandung di dalamnya. Jika kami meminta tebusan, pada sebagian mereka meminta tebusan itu lebih mendatangkan mashlahat. Dan kami tidak terikat harus melakukan satu pilihan saja dalam memberlakukan tawanan, namun kami dalam urusan tawanan berusaha memilih yang paling mendatangkan mashlahat bagi kondisi kami dan kondisi kaum muslimin, kami memperlakukan dengan perlakuan yang paling kuat dalilnya pada keadaan si tertawan.

Lalu, mengapa sebagian orang terburu-buru merasa jengkel sebelum melihat dalil dan istidlal kami?

Kita memohon kepada Alloh, semoga kita termasuk mereka yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya dengan baik.


MASALAH KEDUA:
BOLEHNYA MENUKAR ORANG ISLAM YANG TERTAWAN DENGAN TAWANAN KAFIR YANG KITA TANGKAP

Asy-Syaukani berkata di dalam Nailu `l-Authôr : “Jumhur ahli ilmu telah berpendapat bolehnya membebaskan tawanan kafir sebagai ganti tawanan muslim, berdasarkan hadits ‘Imrôn bin Hushoin yang telah disebutkan, yaitu pada Bab: Jika tawanan masuk Islam, ia tetap menjadi milik kaum muslimin. Dari ‘Imrôn bin Husoin ia berkata, ‘Tsaqif adalah sekutu Bani ‘Uqoil, kemudian Tsaqif menawan dua orang sahabat Rosululloh SAW dan para shahabat Rosululloh SAW menawan seorang lelaki dari Bani ‘Uqoil dan turun menangkap Al-‘Adhbâ’ bersama mereka. Kemudian ia dibawa kepada Rosululloh SAW dalam keadaan terikat. Ia berkata, ‘Hai Muhammad,’ kemudian Rosululloh SAW mendatanginya, ‘Apa urusanmu?’ ia berkata, ‘Atas dasar apa engkau menangkapku dan menangkap perintis urusan haji?’ –yakni Al-‘Adhba’ beliau menjawab, ‘Aku menangkapmu karena dosa sekutumu, Tsaqif.’ Setelah itu beliau pergi, tapi ia kembali memanggilnya, ‘Hai Muhammad, hai Muhammad.’ ‘Apa urusanmu?’ tanya Rosululloh. Ia berkata, ‘Aku ini muslim.’ Rosululloh mengatakan, ‘Kalau kamu mengucapkannya ketika kamu menguasai dirimu, tentu engkau akan beruntung sekali.’ Lalu beliau pergi, tetapi ia kembali memanggilnya, ‘Hai Muhammad, hai Muhammad.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa urusanmu?’ Ia berkata, ‘Sungguh aku lapar, berilah aku makan. Aku haus, berilah aku minum.’ Beliau menjawab, ‘Ini adalah kebutuhanmu.’ Setelah itu, beliau menukarnya dengan dua tawanan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim.”

Mengingat dalil ini sudah jelas dan merupakan nash yang benar lagi tegas dalam masalah ini, kami tidak akan menambahkan yang lain. Akan tetapi kami senang menjelaskannya supaya tidak ada orang berprasangka bahwa tindakan seperti ini adalah “perampasan” yang tidak syar‘î. Bahkan Rosul SAW sendiri melakukannya dan membiarkan tawanan terus di tangan beliau –walaupun ia sampai masuk Islam—untuk bisa menebusnya dengan tawanan muslim. Beliau juga memperlakukan tawanan itu dengan Baihaqî, memberinya makan dan minum sampai beliau membebaskannya dengan tebusan dua tawanan muslim.


MASALAH KETIGA:
TENTANG BOLEHNYA MENUKAR MAYAT ORANG KAFIR DENGAN TAWANAN MUSLIM ATAU MAYATNYA

Terkait dengan masalah ini, terdapat riwayat Ahmad dan Tirmizî dari Ibnu ‘Abbâs RA: Bahwasanya orang-orang musyrik ingin membeli mayat seorang lelaki musyrik, tetapi Nabi SAW menolak untuk menjualnya kepada mereka.

Abû ‘Îsâ berkata, “Ini hadits hasan ghorib, kami tidak mengetahuinya selain dari hadits Al-Hakam, diriwayatkan juga oleh Hajjaj bin Arthoh dari Al-Hakam.”

Ahmad bin Hanbal berkata, “Hadits Ibnu Abi Laila tidak bisa dijadikan hujjah.”

Muhammad bin Ismâ‘îl berkata, “Ibnu Abi Laila shoduq (jujur) akan tetapi kami tidak mengetahui mana haditsnya yang shohih dan yang dho‘îf. Saya pun tidak meriwayatkan sama sekali darinya.”

Abû ‘Îsâ berkata di tempat lain, setelah menyebutkan Ibnu Abi Laila dan perawi lain yang masih diperbincangkan, “Jika salah satu dari mereka ini meriwayatkan hadits sendirian dan tidak diikuti hadits senada lainnya, maka hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah. Sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal: Ibnu Abi Laila tidak dipakai haditsnya sebagai hujjah. Maksudnya, jika ia meriwayatkan suatu hadits sendirian. Yang paling parah kalau ia tidak menghafal isnâd hadits, sehingga melakukan penambahan atau pengurangan di dalamnya, atau merubahnya, atau membawa riwayat yang bisa merubah makna kandungannya.”

Di tempat lain, Abû ‘Îsâ mengomentarinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila seperti ini tidaklah mengapa. Ia terkadang meriwayatkan seperti ini dan sesekali seperti itu –yakni isnâd-nya—, sebenarnya ini berasal dari hafalannya. Kebanyakan ahli ilmu sebelumnya tidak mencatat hadits seperti ini, kalaulah ada yang mencatat di antara mereka maka itu dilakukan setelah mereka mendengarnya.”

Al-Mubarokfuri berkata di dalam Tuhfatu `l-Ahwadzi : “Bab: Tentang Penjelasan Tidak Bolehnya Menukar Bangkai Tawanan. Al-Jîfah adalah bangkai mayit yang sudah membusuk, disebutkan di dalam An-Nihayah. Maksudnya, bangkai tawanan tidak boleh dijual atau ditukar dengan harta. Perkataannya: Telah bercerita kepada kami, Sufyân; yaitu Sufyân Ats-Tsauri. Dari Ibnu Abi Laila; nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdurrohman bin Abi Laila. Dari Al-Hakam; yaitu Ibnu Utbah. Perkataannya: Maka Nabi SAW menolak untuk menjualnya kepada mereka; ini adalah dalil bahwasanya tidak boleh menjual bangkai orang musyrik. Tidak boleh dijual atau mengambil harga darinya karena itu adalah mayat, di mana memilikinya tidak diperbolehkan. Tidak boleh juga menukarnya. Sang Pembuat Syariat telah mengharamkan harga penjualannya dan harga penjualan patung-patung di dalam hadits Jâbir. Di dalam Shohih-nya, Bukhôrî meletakkan sebuah bab: Boleh Membuang Bangkai Orang-orang Musyrik Di Dalam Sumur dan Tidak Boleh Mengambil Harga Penjualannya. Lalu ia menyebutkan di sana hadits Ibnu Mas‘ûd tentang doa yang dipanjatkan Nabi SAW agar kecelakaan menimpa Abû Jahal bin Hisyam dan orang-orang Quroisy lainnya. Di antara isi hadits itu: “…sungguh kalian melihat mereka telah terbunuh dalam perang Badar, maka buanglah mereka di dalam sumur.”

Al-Hafidz (Ibnu Hajar, penerj.) berkata, “Perkataan Bukhôrî: Tidak Boleh Mengambil Harga Penjualannya, mengisyaratkan kepada hadits Ibnu ‘Abbâs: Bahwasanya orang-orang musyrik ingin membeli mayat seorang lelaki musyrik, tetapi Nabi SAW menolak untuk menjualnya kepada mereka. Dikeluarkan oleh Tirmizî dan lain-lain.

Di dalam Al-Maghozi, Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa orang-orang musyrik meminta kepada Nabi SAW untuk menjual jasad Naufal bin ‘Abdullôh bin Mughiroh, ia adalah orang yang menerobos Khondaq (parit). Maka Nabi SAW bersabda, “Kami tidak membutuhkan harga dan jasadnya.” Kemudian Ibnu Hisyam berkata, “Telah sampai berita kepada kami dari Az-Zuhri, bahwa mereka mengeluarkan uang sepuluh ribu untuk membayarnya.” Bukhôrî mengambil hadits ini untuk dimasukkan dalam Bab itu dari sisi tinjauan: secara kebiasaan terbukti bahwa jika keluarga korban tewas dalam perang Badar mengetahui bolehnya menebus bangkai keluarganya, tentu mereka akan membayarnya walau berapa pun harganya, Mâsyâ Allôh. Maka, ini menjadi hadits penguat dari hadits Ibnu ‘Abbâs, walau pun sanadnya tidak terlalu kuat.” Selesai.

Perkataannya: Ibnu Abi Laila haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah dst; Al-Hafidz berkata di dalam At-Taqrib, ‘Dia adalah Muhammad bin ‘Abdu `r-Rohman bin Abi Laila Al-Anshori Al-Kufi, Al-Qôdhî ‘Abdu `r-Rohman, dia shodûq (jujur) namun hafalannya buruk sekali, dari thobaqôt ketujuh.’

Al-Hafidz berkata di dalam Tahdzibu `t-Tahdzîb: ‘Abdullôh bin Ahmad berkata, dari ayahnya, Ibnu Abi Laila buruk hafalannya dan haditsnya goncang (mudhthorib), fikih Ibnu Abi Laila lebih kami sukai daripada haditsnya.’

Abû Hatim berkata dari Ahmad bin Yunus, ia menyebutkannya secara berlebihan, ia berkata, ‘Ia adalah penduduk dunia yang paling fakih.’

Untuk ‘Abdullôh bin Syubrumah (dengan syin dhommah, ba’ sukun, dan ro ‘ dhommah) adalah putera Ath-Thufail bin Hassan Adh-Dhibbî Abû Syubrumah Al-Kufi, Qôdhî yang tsiqoh lagi fakih, dari thobaqoh kelima. Dinyatakan oleh Al-Hafidz di dalam At-Taqrib.

Al-Hafidz juga berkata di dalam Tahdzibu `t-Tahdzib: ‘Jika ditanyakan kepada Ats-Tsauri: Siapakah juru fatwa (mufti) mu?’ ia berkata, ‘Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syubrumah.’”

Ibnu Rojab berkata di dalam Jami‘u `l-‘Ulûm wa `l-Hikam : “Di antara benda yang dilarang untuk dijual adalah bangkai orang-orang kafir yang terbunuh. Diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Ibnu ‘Abbâs RA, ia berkata: “Dalam perang Khondaq, kaum muslimin berhasil membunuh seorang lelaki musyrik, lalu mereka menukar bangkainya dengan harta. Maka Rosululloh SAW bersabda, “Berikan saja bangkainya kepada mereka, sesungguhnya itu adalah bangkai paling kotor dan diyat paling buruk.” Beliau tidak menerima harta sedikit pun dari kaum musyrikin untuk menggantinya. Hadits ini juga dikeluarkan Tirmizîn dan Waki‘ di dalam kitabnya dari jalur lain dari Ikrimah secara mursal. Kemudian Waki‘ berkata, ‘Bangkai tidak boleh dijual.’
Haritsah berkata, ‘Kukatakan kepada Ishaq: Apa pendapatmu tentang menjual bangkai orang-orang musyrik? Ia menjawab, Tidak.’

Abû ‘Amrû Asy-Syaibani meriwayatkan, bahwasanya Al-Mustaurid Al-‘Ajalî didatangkan kepada ‘Alî, Al-Mustairid telah masuk agama Nashrani, maka ia memintanya untuk bertaubat namun menolak. Akhirnya ‘Alî membunuhnya. Setelah itu, orang-orang nashrani meminta bangkainya dengan membayar sebanyak tiga puluh ribu, namun ‘Alî menolaknya. Kemudian beliau membakar bangkainya tersebut.’”

Masalah ini akan mencakup beberapa sisi:

Sisi pertama: Hadits yang ada dalam masalah ini tidak memiliki jalur periwayatan yang bisa dijadikan hujjah. Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang kesemuanya berporos kepada Muhammad bin ‘Abdu `r-Rohman bin Abi Laila dan ‘Alî bin Hajjaj Al-Arthoh. Adapun ‘Abdu `r-Rohman bin Abi Laila, telah dikemukakan komentar Tirmizî, Bukhôrî dan Ahmad yang menganggapnya dho‘îf (lemah). Ibnu `l-Jauzi mengomentarinya di dalam Adh-Dhu‘afa’ : “Syu‘bah mengatakan tentangnya, ‘Belum pernah kulihat orang yang lebih buruk hafalannya daripada dia.’ Ahmad berkata: dho‘îf. Murroh berkata, ‘Buruk hafalannya dan sering goncang haditsnya.’”

Abû Hatim berkata di dalam ‘Ilalu `l-Hadits : “Ibnu Abi Laila adalah orang yang buruk hafalannya.”

Adz-Dzahabi berkata di dalam Mizanu `l-I‘tidal: “Yahya menganggap lemah Ibnu Abi Laila dan Mathor pada hadits yang mereka riwayatkan dari ‘Athô’ dari Ibnu ‘Abbâs: Bahwasanya orang-orang musyrik hendak membeli jasad salah seorang korban dalam perang Khondaq…al-hadits. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmizî. ‘Abdu `l-Haq berkata di dalam Ahkam-nya, demikian juga Ibnu `l-Qothon, ‘Isnâd hadits ini dho‘îf dan terputus (munqothi‘); Al-Hakam tidak pernah mendengar dari Maqsam selain lima hadits dan hadits ini bukan salah satunya.’ Mereka berdua melemahkan hadits ini dari sisi Ibnu Abi Laila, namun perkataan Tirmizî lebih baik.”

Adapun Hajjaj bin Arthoh, Ahmad berkata tentangnya: “Tidak bisa dijadikan hujjah.” Abû Hatim berkata, “Ia mentadlis hadits dari orang-orang dho‘îf.”

Para huffadz sepakat tentang tadlis yang ia lakukan. Ini urusannya sudah jelas, dan dia telah membawakan riwayat secara ‘an‘anah (dari…dari…) sebagaimana tercantum dalam riwayat Ahmad.

Ada cacat lainnya, yaitu bahwa Maqsam disebut-sebut sebagai mudallis. Ada yang mengatakan, dia tidak pernah mendengar dari Ibnu ‘Abbâs, ditambah ia meriwayatkan hadits ini dengan ‘an‘anah. Muhammad bin Sa‘îd telah melemahkannya. Abû Hatim berkata tentangnya, “Baik haditsnya, tidak bermasalah.” Dan ketika Ahmad ditanya tentang siapa saja murid-murid Ibnu ‘Abbâs, ia berkata, “Ada enam,” lalu ia menyebutkannya tapi tidak menyebut nama Maqsam. Dikatakan kepadanya: Maqsam? Ia berkata, “Maqsam bukan termasuk dari mereka.”

Ada cacat lainnya, yaitu bahwa Al-Hakam bin ‘Utaibah yang meriwayatkan hadits ini dengan semua sanadnya dari Maqsam, tidak bisa dipastikan apakah dia mendengar langsung hadits ini. Sebelumnya sudah kami kemukakan perkataan ‘Abdu `l-Haq di dalam Ahkam-nya dan juga Ibnu `l-Qothon bahwa isnâd-nya –isnâd hadits bab ini—adalah dho‘îf dan terputus; Al-Hakam tidak pernah mendengar dari Maqsam selain lima hadits saja, dan ini bukan salah satunya.

Nasâî berkata tentangnya, “Al-Hakam adalah mudallis.”

Ia telah meriwayatkan hadits ini secara ‘an‘anah dan tidak menegaskan ia pernah menceritakan secara langsung.

‘Abdullôh berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Yang dishohihkan dari Al-Hakam dari Maqsam ada empat hadits: hadits tentang witir, hadits tentang kebulatan tekad dalam cerai, hadits fai’, dan hadits Qunut.’”
Kemudian ‘Abdullôh berkata ketika ia ditanya: Apakah ia meriwayatkan selain hadits ini? “Mereka mengatakan, riwayat-riwayat itu sekedar tulisan saja. Aku melihat bahwa Hajjaj meriwayatkan darinya, dari Maqsam dari Ibnu ‘Abbâs, ada sekitar lima puluh hadits. Sedangkan Ibnu Abi Laila sering keliru dalam hadits-hadits yang ia bawakan dari Al-Hakam.”

‘Abdullôh berkata lagi, “Aku mendengar Abû Murroh berkata, ‘Empat hadits yang Al-Hakam dianggap shohih di dalamnya, ia dengar langsung dari Maqsam.’”

Jika isnâd hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, maka ia tidak bisa dijadikan dalil akan haramnya menjual bangkai orang-orang kafir kepada keluarga mereka ketika itu dianggap perlu dalam peperangan.
Sisi kedua: Mungkin ada yang mengatakan, memang berdasarkan sanad-nya hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Tetapi, hadits ini memiliki syawahid (hadits lain sebagai penguat) yang menguatkan statusnya, yaitu riwayat yang tercantum di dalam Shohih Bukhôrî Muslim tentang dibuangnya mayat korban perang Badar ke dalam sumur serta menghindari penjualannya seperti yang difahami oleh Bukhôrî. Termasuk penguat lainnya, Nabi SAW melarang menjual bangkai.

Menjawab pernyataan ini, kami katakan: Sesungguhnya tokoh-tokoh besar para huffadz seperti Ahmad, Ibnu `l-Madini dan lain-lain tidak menerika syawahid bagi suatu hadits kecuali jika dalam hadits yang hendak diperkuat dengan syawahid itu memenuhi beberapa syarat. Di antara syarat tersebut hendaknya hadits tidak menjadi hadits utama dalam sebuah permasalahan. Sedangkan hadits ini kami anggap sebagai hadits utama dalam masalah larangan menjual mayat orang kafir kepada keluarganya dalam kondisi perang. Meskipun kami menyatakan haramnya menjual mayat, tetapi itu jika dalam kondisi damai, bukan dalam kondisi perang.
Adapun yang kita ingin haramkan dalam kondisi perang, maka harus ada dalil tersendiri yang menunjukkan perbuatan itu dilarang ketika dalam kondisi perang. Nah, jika hadits Ibnu ‘Abbâs di muka tidak shohih statusnya, maka masalah tersebut ketika dalam kondisi perang tetap berstatus masih didiamkan dan tidak bisa diberlakukan padanya dalil-dalil lain yang menyatakan mengenai haramnya menjual bangkai dalam kondisi damai. Sebab, sesuatu yang diharamkan dalam kondisi damai tidak otomatis juga diharamkan ketika dalam kondisi perang. Apalagi jika sesuatu itu mengandung sebuah kemashlahatan yang jelas bagi tentara atau negeri kaum muslimin. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya melakukan perbuatan-perbuatan haram dalam kondisi perang sangatlah banyak, baik dari Sunnah mau pun dari perbuatan para shahabat. Contohnya ketika Rosululloh SAW membakar pohon kurma milik kaum Yahudi, padahal dalam hadits-hadits lain beliau melarang untuk membakar pepohonan. Beliau juga memperbolehkan berbohong dalam perang dan melukai hewan-hewan tunggangan musuh sebagaimana dilakukan ‘Alî dalam perang Hunain, demikian juga mengenakan sutera dan bersikap angkuh. Rosululloh SAW juga memberi izin kepada para shahabat untuk berdiri di dekat kepala beliau untuk berjaga-jaga ketika peristiwa Hudaibiyah, padahal ini termasuk perbuatan yang beliau sangat ingkari jika bukan dalam posisi seperti ini, sebab ini bagian dari menghormati beliau.

Tentara Syam juga pernah menulis surat kepada ‘Umar RA: “Jika kami bertemu musuh dan melihat mereka telah membungkus senjata-senjata mereka dengan kain sutera, kami merasa gentar.” Maka ‘Umar membalas, “Kalau begitu, kalian juga harus membungkus senjata-senjata kalian dengan sutera sebagaimana mereka melakukannya.”

Syaikhu `l-Islâm pernah ditanya tentang hukum menggunakan sutera dalam rangka menggentarkan hati musuh, maka beliau menjawab, “Dalam hal ini ada dua pendapat ulama; yang lebih kuat adalah boleh.” Beliau –rahimahulloh—juga berpendapat lebih jauh kaitannya dengan hukum-hukum seperti ini, khusus dalam kondisi perang; mengingat di dalamnya ada mashlahat, walaupun terdapat nash-nash yang mengharamkan hukum-hukum seperti ini jika bukan pada kondisi perang. Di dalam kitab Al-Istiqomah misalnya, beliau berkata, “Adapun orang-orang kafir, hilangnya akal orang kafir lebih baik baginya dan bagi kaum muslimin. Adapun bagi dia, karena hilangnya akal tidak menghalanginya dari mengingat Alloh dan sholat, tetapi menghalanginya dari kefasikan dan kekafiran. Adapun bagi kaum muslimin, karena kondisi mabuk (orang kafir) bisa memicu permusuhan dan saling benci di antara mereka, sehingga itu baik bagi orang-orang beriman. Ini bukan berarti membolehkan khomer dan bermabuk-mabukan, tetapi dalam rangka menolak dua keburukan dengan keburukan lebih ringan. Oleh karena itu, saya memerintahkan pasukan kami agar tidak melarang musuh-musuh kaum muslimin mengkonsumsi minuman keras, baik musuh itu dari kalangan Tartar atau Karj dan lain-lain. Saya katakan, jika mereka meminum khomer, itu tidak menghalangi mereka dari mengingat Alloh dan sholat, tetapi menghalangi mereka dari kekafiran dan kerusakan di bumi. Di samping itu, itu juga bisa memicu permusuhan dan kebencian di kalangan mereka sendiri, ini jelas sebuah mashlahat bagi kaum muslimin. Jadi, siuman mereka lebih buruk daripada mabuknya mereka, maka tidak ada baiknya membantu mereka untuk siuman. Bahkan, bisa saja hukumnya dianjurkan, atau mungkin wajib, untuk menolak kejahatan mereka dengan cara sebisa mungkin, dengan membuat mereka mabuk atau yang lainnya.”

Dulu ketika kami di Afghanistan, ada fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –hafidzohulloh— ketika beliau ditanya tentang hukum mencincang mayat musuh, beliau mengatakan, “Kalau mereka mencincang korban dari kalian, cincanglah mayat mereka. Apalagi jika dengan begitu bisa menimbulkan rasa gentar dan takut dalam diri mereka. Sementara Alloh Ta‘ala berfirman: Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. .”

Jadi, dalil dan fatwa-fatwa ini menerangkan bahwa kondisi perang memiliki kondisi-kondisi khusus yang tidak pas jika kita sama ratakan kondisi itu dengan dalil-dalil yang berlaku dalam kondisi normal. Maka, sesuatu yang akan kita hukumi dalam peperangan membutuhkan dalil yang jelas maksudnya, shohih sanadnya, dan bisa mengeluarkan sebuah hukum. Bahkan kalau lah sebuah perbuatan itu dilarang dalam kondisi perang, maka larangan tersebut tidaklah mutlak dalam kondisi apa saja, apalagi jika berbenturan dengan mashlahat yang lebih besar atau mendatangkan madhorot yang lebih besar kepada kaum muslimin. Dalil akan hal ini adalah, bahwasanya Rosululloh SAW melarang untuk membakar dan menebang pepohonan, melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak. Namun, ketika beliau mengepung perkampungan Bani Nadhir beliau membakar perkebunan kurma mereka, sebagaimana tercantum dalam hadits Bukhôrî. Dan di dalam Shohih Bukhôrî Muslim juga, ketika beliau ditanya tentang hukum menyerang kaum musyrikin di malam hari lalu serangan itu mengenai wanita dan anak-anak mereka, beliau membolehkannya dan bersabda, “Mereka termasuk mereka.”

Bahkan masalahnya lebih besar dari ini; jika orang-orang kafir menjadikan kaum muslimin yang tertawan sebagai perisai (atau dikenal dengan masalah tatarrus, penerj.) dan kondisi darurat menuntut untuk membidik orang-orang kafir –karena jika kaum muslimin tidak melakukannya mereka akan menang dan banyak membunuh kaum muslimin—maka boleh membidik orang-orang kafir tersebut walaupun mengenai kaum muslimin yang tertawan. Inilah madzhab Imam Syâfi‘î sebagaimana tercantum dalam Mughniyyu `l-Muhtâj (IV/224), dan Ahmad sebagaimana dalam Kasyâfu `l-Qonnâ‘ (V/ 447 – 448).

Semua dalil dan fatwa tadi menguatkan pendapat bahwa hadits Ibnu ‘Abbâs dalam masalah ini adalah hadits pokok yang harus benar-benar shohih statusnya, bukan diperkuat dengan hadits-hadits lain yang menyatakan haramnya masalah ini. Jika itu tidak memungkinkan, maka bisa kami katakan sulit untuk mengharamkannya dengan alasan berhati-hati tanpa adanya dalil yang arahnya jelas. Apalagi itu bisa menghilangkan mashlahat bagi kita. Hanya Alloh yang lebih tahu mana yang benar.

Sisi ketiga: Kasus yang tengah kami alami adalah kami mengumumkan keinginan kami menukar mayat tawanan musuh dengan beberapa orang dari kaum muslimin yang ditawan. Pengumuman ini adalah pengumuman pertukaran, bukan jual beli. Kalaulah hadits tadi derajatnya hasan dengan syawahid-nya, itu tidak menunjukkah haramnya tukar menukar. Ini adalah tukar menukar, bukan jual beli yang ada harga dan komoditinya.

Asy-Syaukani berkata di dalam As-Sailu `l-Jarrôr (IV/ 567): “Adapun perkataan penulis: Dan diperbolehkan mengembalikan mayat (musuh) secara cuma-cuma; tidak ada sisi pengikatan dari ucapan beliau: cuma-cuma; sebab harta orang-orang kafir bisa dipinjam dengan berbagai cara, dan ini bukan urusan jual beli sehingga harus dimasukkan dalam masalah jual beli bangkai atau jual beli benda najis.”

As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Mabsuth (X/ 137 – 138): “Aku bertanya kepada Abû Hanifah tentang orang kafir harbi yang dibunuh oleh kaum muslimin, bolehkan menjual bangkainya kepada orang-orang kafir harbi lainnya? Beliau berkata, ‘Tidak mengapa jika dilakukan di negeri harbi, bukan di kamp muaskar kaum muslimin.’ Abû Yûsuf berkata, ‘Harta orang kafir harbi halal bagi kaum muslimin diambil paksa, maka jika diambil dengan kerelaan mereka tentu lebih halal.’ Maknanya, jika bukan di tempat muaskari kaum muslimin, mereka tidak memiliki jaminan keamanan dalam hal harta yang mereka bawa, sesungguhnya kaum muslimin boleh mengambilnya dengan cara apa saja. Mengambil harta dengan menjual bangkai mereka ini, bukan karena mengambil harta disebabkan menjual bangkai atau darah, tetapi dengan cara ghonimah. Oleh karena itu, harta seperti ini diambil seperlima, sisanya dibagikan kepada pasukan sesuai cara membagi ghonimah.”

Muhammad Asy-Syaibani berkata di dalam As-Siyar (I/ 249): “Abû Yûsuf pernah kutanya tentang seorang kafir harbi yang berhasil dibunuh oleh kaum muslimin; bolehlah menjual bangkainya kepada orang kafir harbi lainnya? Ia berkata, ‘Abû Hanifah mengatakan tidak apa-apa jika di negeri harbi, bukan di kamp muaskar kaum muslimin. Tidakkah kamu melihat bahwa harta orang kafir harbi itu boleh dirampas oleh kaum muslimin? Maka jika mereka menyerahkannya dengan perasaan rela, tentu saja boleh.”

Inilah pendapat kami tentang bolehnya saling tukar mayat dengan tawanan. Karena tidak tada dalil yang melarang menjualnya, lalu bagaimana dengan menuikarnya? Oleh karena itu, kami menyatakan hal itu boleh dan kami mempaktekkannya. Kami telah menukar 14 kepala orang Rusia dengan tiga mayat saudara-saudara kami. Maka, mashlahat perbuatan seperti ini jelas sekali bagi kami, sedangkan melarangnya tanpa dalil yang kuat justeru merugikan kemashlahatan kami.


MASALAH KEEMPAT:
TENTANG BOLEHNYA MEMINDAHKAN MAYAT ATAU KEPALA ORANG-ORANG KAFIR

Jawaban dari pertanyaan seputar masalah ini merupakan cabang dari bab sebelumnya. Maka, mereka yang berpendapat bolehnya tukar menukar mayat tawanan, tak diragukan lagi akan lebih membolehkan memindahkan mayat orang-orang kafir demi tercapainya sebuah mashlahat. Kami sengaja memasuki pembahasan masalah ini karena di dalam sebagian buku para muhadditsin (ahli hadits) tercantum larangan tentanganya.

Disebutkan dalam riwayat Baihaqî dalam Sunan-nya (IX/132): “Bab: Riwayat Yang Ada Mengenai Memindahkan Kepala.” Ia berkata, “Dari Uqbah bin ‘Âmir Al-Juhanni bahwasanya ‘Amrû bin Ash dan Syurohbil bin Hasanah mengutus Uqbah untuk menyampaikan surat kepada Abû Bakar Ash-Shiddiq RA berikut sepotong kepala seorang komandan Syam. Ketika ia tiba kepada Abû Bakar RA beliau mengingkarinya, maka Uqbah berkata, “Wahai Kholifah Rosululloh SAW, mereka juga melakukannya kepada kami.” Abû Bakar berkata, “Apakah kemudian kalian akan mengikuti kebiasaan Persi dan Romawi? Jangan lagi ada kepala yang dibawa kepadaku, cukuplah surat dan berita yang sampai kepadaku.”

Mu‘âwiyah bin Khudaij pernah berkata, “Kami berhijrah di zaman Abû Bakar Ash-Shiddiq RA, ketika kami tengah berada di tempat beliau, tiba-tiba beliau naik mimbar lalu memuji dan memuja Alloh, setelah itu berkata, ‘Sesungguhnya telah datang kepada kita kepala seorang komandan (musuh) dan kita tidak memerlukannya. Sesungguhnya itu adalah tradisi orang-orang Ajam.’”

Dan dari ‘Abdu `l-Karim Al-Jazri bahwa Mu‘âwiyah bercerita kepadanya, “Bahwasanya Abû Bakar Ash-Shiddiq RA diberi sepotong kepala, maka beliau berkata, ‘Kalian telah berbuat dzalim.’”

Ia juga berkata dari Az-Zuhri, “Belum pernah dibawa potongan kepala kepada Nabi SAW di Madinah, tidak juga dalam perang Badar. Pernah potongan kepala dibawakan kepada Abû Bakar RA lalu ia membenci hal itu.” Ia berkata, “Yang pertama kali membawakan kepala kepadanya adalah ‘Abdullôh bin Zubair. Seorang syaikh, yang juga menjadi rujukan riwayat Abû Dâwud di dalam Al-Marosil, berkata, dari Abû Nadhroh ia berkata, ‘Nabi SAW sedang berhadapan dengan musuh, lalu beliau bersabda, ‘Siapa yang bisa mendatangkan sepotong kepala maka ia mendapatkan apa saja yang ia angankan kepada Alloh.’ Maka datanglah dua orang lelaki membawa sepotong kepala, keduanya bertengkar tentangnya, maka Rosululloh SAW memutuskan untuk memberikan kepada salah satu dari keduanya.” Hadits ini munqothi‘ (terputus), kalaulah dalam hadits ini berisi anjuran untuk membunuh musuh, namun tidak berisi anjuran untuk memindahkan potongan kepala dari negeri syirik ke negeri Islam.” Selesai perkataan Baihaqî dengan sedikit adaptasi.

Ada juga riwayat yang membolehkan memindahkan kepala meskipun masih diperselisihkan. Ibnu Jarir berkata di dalam Tarikh-nya (II/ 37): “Telah bercerita kepada kami Ibnu Humaid ia berkata, telah bercerita kepada kami Salamah dari Muhammad bin Ishaq: Dan segolongan orang dari Bani Makhzum mengklaim bahwa Ibnu Mas‘ûd mengatakan, ‘Abû Jahal berkata kepadaku: Sungguh kamu telah mendaki tanjakan yang sulit, hai penggembala kambing kecil.’ Kemudian aku (Ibnu Mas‘ûd) memenggal kepalanya dan kubawa kepada Rosululloh SAW lalu kukatakan, ‘Wahai Rosululloh, inilah kepala musuh Alloh; Abû Jahal.’ Rosululloh SAW bersabda, ‘Apakah karena Alloh, yang tiada ilah (yang haq) selain-Nya?’ kujawab, ‘Ya, demi Alloh yang tiada ilah (yang haq) selain-Nya.’ Kemudian kulempar kepala itu di hadapan Rosululloh SAW lalu beliau memuji Alloh.”

Al-Hafidz berkata di dalam Fathu `l-Bari (VII/ 295): “Di dalam hadits Ibnu ‘Abbâs riwayat Ibnu Ishaq disebutkan, bahwa Ibnu Mas‘ûd berkata, ‘Maka aku menjumpai Abû Jahal pada tikaman panah terakhir, maka kuinjakkan kakiku di lehernya dan kukatakan: ‘Alloh telah menghinakanmu, hai musuh Alloh!’ ia menjawab, ‘Dengan apa Dia menghinakanku, apakah lelaki yang kalian bunuh bisa berbuat dengan sengaja?’
Sebagian kaum dari Bani Makhzum mengklaim bahwa Abû Jahal berkata kepadanya, ‘Sungguh kamu telah mendaki tanjakan yang sulit, hai penggembala kambing yang kecil.’ Ibnu Mas‘ûd berkata, ‘Kemudian kupenggal kepalanya dan kubawa kepada Rosululloh SAW, aku berkata, ‘Inilah kepala musuh Alloh, Abû Jahal.’”

Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam As-Siyar (III/ 371): “Ibnu `z-Zubair berkata, ‘Kami diserang oleh Jirjîr –seorang komandan dari Afrika—bersama 120.000 pasukannya dan mereka mengepung kami sementara kami hanya berjumlah 20.000 orang. Orang-orang ketika itu sedang berselisih masalah Ibnu Abi Syarh. Kemudian Jirjîr memasuki tendanya, maka aku melihat kelengahan dia yang tengah mengawasi bagian di belakang barak tentaranya sambil menaiki kereta kuda berwarna ungu bersama dua wanita yang menaunginya dengan bulu burung Merak, antara dia dan pasukannya terbentang sebidang tanah putih. Maka, aku mendatangi pimpinan kami, Ibnu Abi Sarh , akhirnya beliau menunjuk beberapa orang untuk menyertaiku. Maka aku memilih 30 orang penunggang kuda dan kukatakan kepada mereka: ‘Tetaplah di barisan kalian, aku akan maju menerobos.’ Aku juga mengatakan kepada mereka, ‘Lindungilah bagian belakangku.’ Kemudian aku membelah barisan musuh untuk mencapai tempat Jirjîr, aku berhasil melewatinya dengan kuat, Jirjîr dan balatentaranya sama sekali tidak memperhitungkanku kecuali sebatas sebagai utusan yang datang kepadanya hingga akhirnya aku berhasil mendekatinya. Barulah ia sadar adanya gelagat buruk, maka ia pergi meninggalkan kereta kudanya untuk lari ke belakang tetapi aku berhasil mengejarnya dan kutikam dia hingga tersungkur. Setelah itu kupenggal kepalanya dan kupasang di ujung tombakku sambil bertakbir, melihat itu kaum muslimin maju menerobos barisan musuh, musuh pun kocar-kacir dan Alloh memberikan pundak-pundak mereka kepada kaum muslimin.”

Yûsuf Al-Hanafi berkata di dalam Mu‘tashoru `l-Mukhtashor (I/ 244 – 245) tentang memindahkan kepala orang kafir, “Diriwayatkan dari ‘Alî bin Abi Tholib ia berkata, Rosululloh SAW pernah diberi kepala Marhab. Diriwayatkan juga dari Al-Barro’ ia berkata, ‘Aku bertemu pamanku yang sedang memegang bendera. “Hendak pergi ke mana?” tanyaku. Ia berkata, “Rosululloh SAW mengutusku menemui seorang lelaki yang menikahi isteri ayahnya sepeninggalnya, agar aku bawa kepalanya.” Dan dari ‘Abdullôh Ad-Dailamî dari ayahnya ia berkata, ‘Kami datang kepada Rosululloh SAW membawa kepala Aswad Al-Unsi, si pendusta (yang mengaku Nabi, penerj.) kemudian aku berkata, ‘Wahai Rosululloh, sungguh Anda sudah tahu siapa kami. Lalu, kepada siapakah kami menuju?’ Rosululloh SAW menjawab, ‘Kepada Alloh dan Rosul-Nya.’

Kedatangan mereka membawa kepalanya dari Yaman agar Rosululloh SAW ikut merasakan pertolongan Alloh dan kecukupan yang Dia berikan kepada kaum muslimin untuk menyelesaikan urusan beliau. Kisah ini juga berisi bolehnya memindahkan potongan kepala dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka memberi pelajaran sehingga manusia mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah firman Alloh Ta‘ala: “Dan hendaklah hukuman rajam dua pezina itu disaksikan segolongan kaum mukminin.”
Juga firman Alloh tentang para muharib: “…hendaknya mereka dibunuh atau disalib…” agar kasus mereka diketahui secara luas oleh khalayak. Adapun pengingkaran Abû Bakar terhadap tindakan ‘Amrû bin Ash dan Syurohbil bin Hasanah ketika mereka membawa potongan kepala kepada beliau, itu adalah ijtihad dari beliau ketika beliau melihat dirinya tidak lagi memerlukan tindakan seperti itu. Tidakkah Anda melihat, para komandan pasukan yang lain–di antaranya Yazid bin Abi Sufyân dan ‘Uqbah bin ‘Âmir—yang juga hadir di tengah mereka tidak mengingkari perbuatan seperti itu karena mereka melihat di dalamnya terdapat pengangkatan izzah bagi agama Alloh dan terpukulnya keluarganya yang sesama kafir. Jadi, pedoman dalam masalah seperti ini dikembalikan kepada pendapat para pemimpin, mereka melakukan hal itu ketika mereka lihat tepat dan cocok untuk kondisi waktu di mana mereka berada. Ketika mereka merasa sudah tidak memerlukannya lagi, mereka meninggalkannya. Dulu pernah kepala Al-Mukhtar dibawa kepada ‘Abdullôh bin Zubair dan dia tidak mengingkarinya; diriwayatkan bahwa ketika si pengantar meletakkan kepalanya di depannya, ‘Abdullôh bin Zubair berkata, “Tidaklah Ka‘ab mengatakan sesuatu kepadaku melainkan pasti kudapati kejadiannya seperti yang ia katakan, kecuali peristiwa kali ini. Sesungguhnya ia pernah bercerita kepadaku bahwa aku akan dibunuh oleh seorang lelaki dari Bani Tsaqif, lihatlah…sekarang justeru aku telah berhasil membunuhnya.” Al-A‘masy berkata, “Dia tidak sadar bahwa Abû Muhammad –yakni Al-Hajjaj—sedang mengintainya dalam perjalanan.”

Asy-Syaukani berkata di dalam As-Sailu `l-Jarrôr (IV/ 568): “Ucapan penulis: Dimakruhkan membawa potongan kepala; saya katakan: jika dengan membawanya bisa menguatkan hati kaum muslimin atau melemahkan kekuatan orang-orang kafir, maka tidak mengapa melakukannya. Bahkan itu tindakan bagus dan pengaturan yang tepat. Tidak perlu beralasan bahwa itu barang najis, karena membawanya bisa dilakukan tanpa harus terolesi atau bersentuhan langsung dengannya. Untuk menyatakan kebolehan tindakan seperti ini tidak perlu berpijak kepada adanya riwayat shohih dari Nabi SAW, sebab menguatkan tentara Islam dan menggentarkan tentara kafir adalah salah satu daripada maksud syariat dan salah satu dari perintahnya, ini tidak diragukan. Peristiwa memidahkan potongan-potongan kepala pernah terjadi di zaman shahabat. Adapun riwayat yang menyebutkan itu pernah terjadi di zaman Nabi, maka riwayat tersebut tidak ada yang shohih.”

Bagus sekali ungkapan imam Syaukani dan sikap beliau dalam mendudukkan masalah seperti ini, di mana beliau menjadikan salah satu daripada maksud syariat dalam peperangan adalah menguatkan tentara Islam dan menggentarkan tentara kafir. Dengan kaidah seperti ini kita bisa mengarahkan perbuatan-perbuatan Nabi SAW dalam peperangan yang bertentangan dengan apa yang beliau larang sendiri.
Dalam masalah ini, tidak diragukan lagi bahwa dalil-dalil yang melarangnya lebih lemah daripada dalil-dalil yang membenarkannya. Pendudukan masalah sebelumnya juga kami pakai dalam mendudukkan masalah ini. Dan hanya Alloh Ta‘ala lah yang lebih tinggi dan lebih mengetahui.


PEMBAHASAN BERIKUTNYA:

Jawaban terhadap mereka yang mengecam kami dengan mengatakan; kita wajib mematuhi perjanjian-perjanjian internasional yang kita sepakati dan wajib menghormati hak-hak kemanusiaan.

Sebelum kami mulai pembahasan ini, kita harus mengerti dulu apa yang dimaksud dengan Perjanjian Jenewa terkait masalah tawanan dan apa itu hukum-hukum internasional yang mereka buat.

Sesungguhnya kesepakatan internasional tentang tawanan yang diberlakukan di negara-negara anggota PBB adalah perjanjian Jenewa yang ditandatangani tahun 1949, yang menetapkan: Tawanan perang berada di bawah kontrol negara musuhnya, bukan dibawah kontrol perorangan atau tim pasukan yang menangkapnya. Negara yang bersangkutan tidak boleh memberikan perlakuan berbeda berdasarkan warna kulit, jenis kebangsaan, ediologi atau aliran politik. Negara bersangkutan juga tidak boleh melakukan penyiksaan, baik fisik maupun mental. Tidak boleh mencopot pangkat dan jabatannya, atau membekukan asetnya. Dalam kamp penahanan juga harus terpenuhi syarat-syarat standart kesehatan, memberikan gizi dan pakaian layak, setiap kamp penahanan harus ada klinik kesehatan. Tawanan perang juga berhak menjalankan kegiatan intelektual, perluasan cakrawala dan olahraga. Mereka boleh mengirim dan menerima surat dan kartu-kartu tetapi tetap dalam pengawasan. Tawanan perang hanya diadili di pengadilan militer. Tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada tawanan tanpa memberikan kesempatan kepadanya untuk membela diri dan meminta bantuan pengacara dan penasehat hukum. Tawanan perang harus dikembalikan ke negaranya ketika konflik-konflik yang terjadi sudah selesai.

Inilah undang-undang PBB yang diberlakukan sebagai hukum oleh negara-negara anggota. Jika ada negara yang tidak mau melaksanakan perjanjian ini, bisa saja akan menerima sangsi dari negara anggota lainnya, atau perannya keanggotaannya dinon aktifkan, atau PBB tidak akan mengambil langkah terkait penjagaan wilayah negaranya, atau hukuman-hukuman lain.

Jawaban kami terdadap mereka yang menyatakan kepada kami bahwa kita harus menepati perjanjian seperti ini, terdiri dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa kami bukanlah anggota Organisasi antar bangsa ini dan kami tidak mau jadi anggotanya sehingga kami mesti mematuhi perjanjian dan peraturan-peraturannya.

Kedua: Seandainya kami memberikan perjanjian kepada seorang yang kafir untuk tidak membunuhnya, tentu kami akan menepati janji kami terhadap mereka, berdasarkan firman Alloh Ta‘ala: “…tepatilah janji-janji.” Dan firman-Nya: “…dan janganlah kamu seperti orang yang melepas kembali pintalannya setelah kuat.” Dan firman-Nya: “…dan janganlah kalian membatalkan sumpah setelah kuat.” Dan berdasarkan sabda Rosululloh SAW –seperti tercantum di dalam Ash-Shohihain—: “Jika Alloh telah mengumpulkan orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, ditegakkan bagi setiap pengkhianat janji sebuah bendera, lalu dikatakan: Ini adalah pengkhianatan si Fulan bin Fulan.” Dan berdasarkan komitmen Rosululloh SAW mematuhi perjanjian yang beliau jalin antara dirinya dengan kaum Quraisy sebelum akhirnya mereka sendiri melanggarnya, bukan beliau. Sementara, kami tidak pernah memberikan sebuah perjanjian kepada fihak Rusia sehingga kami bisa disebut telah melanggar perjanjian.

Ketiga: Sesungguhnya sebagian isi dari perjanjian tadi diperintahkan oleh Robb kami, dan kami mengkufuri perjanjian tersebut dan pencetusnya. Hanya saja, kami mengakui bahwa isinya ada yang bersesuaian dengan syariat kami, seperti berbuat baik kepada tawanan. Berdasarkan kesaksian tawanan yang telah kami bebaskan sebelumnya, mereka menyatakan mendapatkan perhatian dan perlakuan baik yang tidak mereka jumpai pada tentara mereka sendiri. Cukuplah kami beralasan untuk berbuat baik kepada mereka dengan pujian Alloh yang Dia berikan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan firman-Nya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” Padahal, tawanan yang ada di zaman shahabat ketika itu hanya tawanan kafir. Maka, Alloh memuji orang yang berbuat baik kepada tawanan meskipun ia kafir.

Di dalam hadits shohih disebutkan, bahwasanya Rosululloh SAW memberikan perlakuan baik kepada Tsumamah bin Utsal setelah beliau mengikatnya di masjid sampai akhirnya beliau membebaskannya beberapa hari setelah itu, lalu ia masuk Islam karena perlakuan baik yang diberikan Rosululloh SAW kepadanya. Bukti-bukti keterangan dari perbuatan Rosululloh SAW tentang perlakuan baiknya kepada tawanan sangatlah banyak, itu sudah cukup bagi kita dan kita tidak perlu mencarinya di aturan buatan orang-orang di luar kita untuk menentukan mana yang baik bagi kita dalam kondisi perang dan damai. Kalau bukan karena tak ingin berpanjang lebar, tentu akan kami sebutkan hukum-hukum seputar tawanan sesuai perintah syariat kita, supaya orang yang mengingkari kami melihat jelas betapa agung dan universalnya syariat kita ini.
Keempat: Sebenarnya, perjanjian-perjanjian internasional atau yang semisal, yang dipercaya begitu saja oleh kaum ‘lemah akal’, bukan dibuat untuk diterapkan bagi lima negara anggota tetap di Dewan Keamanan PBB. Sebenarnya itu hanyalah “cambuk” untuk menggiring negara-negara lemah dan aturan untuk melindungi anggota dari lima negara itu. Perjanjian itu mendorong mereka untuk berbuat kerusakan, giliran nanti tertangkap sebagai tawanan kekayaan mereka tetap terjaga dan mereka bisa bebas. Karena dengan perjanjian itu tidak ada satu pun yang berani menentang, maka kelima negara itu tidak takut untuk menginvasi negara-negara lain. Kecaman hanya datang kepada negara-negara lemah yang kalah. Adapun mereka dan para petinggi mereka, kecaman tidak berlaku.

Berikut ini kami kemukakan contoh-contoh yang menjelaskan bahwa ternyata negara-negara anggota tetap DK PBB tidak mematuhi perjian yang mereka paksakan kepada negara lain untuk mematuhinya. Jika hak ada pada diri mereka, mereka gembar-gemborkan perjanjian tersebut. Tetapi jika mereka berada di fihak yang dirugikan, mereka mengatakan apa yang kami lakukan dalam rangka membela diri, kami melindungi hak kami dengan melakukan perlawanan. Berikut ini contoh tersebut:

1- Peristiwa pembantaian terhadap kaum muslimin di Bosnia pada bulan Robiul Awal 1416 H, di dua kota: Jeba dan Serbernicha. Peristiwa ini berjalan berkat dukungan PBB (pencetus perjanjian Jenewa). Sebelumnya Serbia telah menyerahkan dua kota ini kepada pasukan keamanan PBB dan segera setelah itu pasukan PBB memberlakukan penjagaan pada dua kota itu, mereka mengklaimnya sebagai kota aman.

Setelah itu, bala tentara Serbia bergerak menuju dua kota itu sementara pasukan keamananan PBB hanya diam saja. Bahkan, mereka memuluskan jalan bagi tentara Serbia dan mengosongkan titik-titik pengamanan dua hari sebelumnya. Tentara Belanda yang turut menjadi anggota pasukan keamanan PBB melakukan kerja sama dengan tentara Serbia, mereka memberikan seragam dan amunisi mereka sebelum memasuki dua kota itu. Pihak NATO sebenarnya juga mengetahui pergerakan Serbia menuju dua kota itu, namun mereka tidak mengambil langkah apa pun. Setelah itu, tentara Serbia masuk ke dua kota itu dengan berseragam pasukan PBB, mereka perintahkan penduduknya menuju ke sebuah pabrik alumunium (yang menjadi markaz pasukan PBB). Setelah penduduk berkumpul di sana, Serbia pun melakukan drama pembantaian itu; kaum muslimin dalam jumlah besar disembelih di dalam pabrik tersebut, sementara penduduk kota sisanya mengalami beraneka ragam bentuk pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran. Jumlah mereka lebih dari 45 ribu muslim. Ke mana kah pasukan PBB kala itu?

Sungguh, mereka telah berubah menjadi penyokong Serbia dalam melakukan aksi pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran.

Setelah memasuki Sharbenicha, si penjahat Rathlo Maladic menyiapkan 40 bus untuk mengangkut para pemuda dan pemudi ke tempat-tempat yang tak diketahui. Sementara penduduk yang selamat, orang-orang tua dan anak-anak, melarikan diri ke kota Tozla. Jeba dan Sharbenicha tinggal menyisakan puing-puing.
Beberapa pekan kemudian, PBB memindahkan orang-orang Kristen Kroasia yang melarikan diri dari kota Karina dan Kenin setelah tentara Serbia menduduki dua kota tersebut. PBB memakan waktu sekitar sepuluh hari untuk memindahkan mereka dengan bus-bus nya menuju kota Jeba dan Sherbenicha, yang sudah dikosongkan untuk menanggulangi arus pengungsian penduduk Kristen ini.

Ada salah seorang pejabat PBB menegaskan –setelah tentara Serbia menduduki kota Karina dan Kenin—bahwa hak asasi manusia menuntut kita untuk memberikan bantuan apa saja yang kita mampu demi menyelamatkan masyarakat Kroasia yang mengungsi karena sebuah tragedi. Dan benar, mereka berhasil diselamatkan dan ditempatkan di rumah-rumah kaum muslimin yang dibantai dan mengungsi, tidak ada yang menangisi mereka.

Lihatlah, bagaimana mereka membantu Serbia dalam aksi pertama melawan kaum muslimin. Kemudian mereka berdiri di fihak Kroasia dalam aksi kedua dengan mengatakan, “Salah satu bentuk kesempurnaan hak asasi manusia adalah kami memberikan bantuan kepada para pengungsi.”

Tanyalah kepada Sekjen PBB waktu itu, Bouthros Ghali, mengapa mereka tidak memperlakukan Serbia sebagaimana mereka memperlakukan Irak sebelumnya?! Di manakah kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian? Di manakah hak-hak warga sipil, sebelum membicarakan hak tawanan?
2- Contoh lain adalah kejadian yang menimpa penduduk Irak yang ditawan ketika pasukan Amerika menduduki Kuwait. Ketika pasukan Amerika bekerjasama dengan tentara Inggris untuk mengkoordini sebuah drama pembantaian mengerikan terhadap lebih dari 8.000 tentara Irak. Peristiwa itu hanya berlangsung dua hari (24-25 Februari 1991), di mana tank-tank Amerika model Brames & Bradley dan truk-truk yang dilengkapi sekop mengubur hidup-hidup lebih dari 8.000 tentara Irak yang sedang berada di tempat-tempat mereka. Mereka tinggal di parit-parit setelah tentara Amerika mengepung mereka.

Harian Amerika, The Washington Post, memuat wawancara bersama sejumlah jenderal pasukan Kavaleri barisan pertama. Mereka menceritakan peristiwa penguburan hidup-hidup terhadap orang-orang Irak di dalam parit-parit yang berdiameter tiga kaki dan kedalaman enam kaki.

Harian Amerika lainnya, News Daily, juga memuat rincian peristiwa itu dengan mempublikasikan wawancara-wawancara bersama para petinggi militer Amerika di batalyon Merah, pasukan pelaksana peristiwa tersebut.

Lentan Kolonel Morino, komandan regu dua dari batalyon Merah mengatakan bahwa peristiwa penguburan itu merupakan sebuah taktik militer yang jitu tentara Amerika dalam perang Teluk. Salah satu perencana aksi kejahatan itu adalah seorang insinyur bernama Stefen Hawks yang berada di batalyon pertama. Ia telah mendirikan sebuah kamp latihan untuk melatih dan mengajari pasukan penjaga keamanan dalam melakukan aksi penguburan hidup-hidup tentara Irak di parit-parit mereka.

Lentan Kolonel Morino juga mengatakan bahwa setelah peristiwa itu, melihat mengerikannya keadaan, dan khawatir wartawan akan datang meliput, telah dilakukan operasi perataan pasir dan menutupnya dengan menggunakan perlengkapan dan alat-alat militer untuk menutupi pembantian itu dan menghilangkan jejak-jejaknya.

Harian ini juga memberitakan bahwa tentara yang turut serta dalam peristiwa ini mendapatkan lencana dan gelar khusus dari Pentagon, terbukti ada seorang tentara Amerika yang tidak disebutkan namanya memberitahukan bahwa ia menerima medali perak dan gelar “pahlawan perang” setelah terjadinya pembantaian itu.

Juru bicara Pentagon, Beth Williams, dalam jumpa pers bulan September 1991 menyebutkan target dari aksi pembantaian ini, ia mengatakan: “Langkah ini terkait untuk menghindari perlawanan tentara-tentara Irak yang lebih memilih tinggal di parit-parit mereka atau berlindung di balik cover dengan terus melakukan perlawanan. Jumlah mereka yang terkubur sangat besar, target pasukan Amerika adalah menjebol barikade tentara Irak dan meninggalkan tempat tersebut secepat mungkin untuk memudahkan jalur bagi konvoi pertama pasukan lapis baja Inggris. Artinya, agar konvoi pasukan Inggris tersebut melewati barikade tadi tanpa adanya hambatan atau menemui kerepotan yang akan menghambat kedatangannya.”

Majalah Times edisi 3/9/1991, majalah Guardian edisi 13/9/1991 dan majalah terbitan Italia Managesto tanggal yang sama, memuat: Bahwa aksi penguburan tentara-tentara Irak hidup-hidup bukanlah terjadi secara kebetulan. Penguburan tentara-tentara Irak hidup-hidup itu adalah langkah taktis militer yang dirancang sangat akurat oleh tentara Amerika.”

Jangan ada yang beranggapan bahwa dengan kami kemukakan bukti di atas berarti kami memberikan dukungan kepada tindakan Irak dalam menzalimi kaum muslimin di Kuwait ketika itu. Kami sebatas ingin menjelaskan bagaimana negara-negara penguasa di PBB melanggar sendiri perjanjian-perjanjian yang mereka buat, dan bagaimana mereka melakukan tindak kejahatan kepada para tawanan dengan menganggap mereka ada di fihak yang salah, aksi yang mereka ambil adalah sebuah taktik militer yang akurat.

Silahkan Anda membayangkan, mungkinkah mesin-mesin pengurug tanah itu mendekati parit-parit jika penghuninya memberikan perlawanan. Suatu hal yang tak mungkin terjadi melainkan jika tentara-tentara itu telah menyerah dan hanya bisa berdiam di dalam paritnya. Lihatlah bagaimana neraca timbangan diputar balik dan tindak kejahatan berubah menjadi sebuah aksi gemilang dan cerdik. Seandainya penguasa Irak melakukan hal yang sama kepada tentara-tentaranya, tentu semua masyarakat Barat akan mengecamnya, lalu mulailah mereka mengingatkan akan adanya perjanjian di Lahay tahun 1907 dan konvensi Jenewa tahun 1949 dan perjanjian lain yang mereka gunakan untuk menikam siapa saja yang mereka mau.

3- Pasca perang Oktober 1973, tentara Israel membunuh hampir 2.000 tentara Mesir yang telah menjadi tawanan. Penanggung jawab aksi pembantaian itu adalah Perdana Menteri saat itu, Ehud Barak.

Sebelumnya, tentara Israel juga telah melakukan pembantaian sadis di Der Yasin tahun 1948 di mana 250 muslim menjadi korban, sedangkan mereka yang terluka dan terusir jumlahnya berkali lipat bilangan ini. Setelah itu, komandan pasukan bernama Arghun Manhin Bighen mendapatkan lencana penghargaan atas pembantaian ini. Ia kemudian diangkat sebagai perdana menteri di tahun 1977 dan sangat bangga dengan aksi pembantaian yang ia pimpin itu.

Saya kira, Anda semua juga tidak lupa dengan tragedi pembantaian di masjid Al-Ibrohimi di mana 40 muslim yang sedang bersujud kepada Alloh terbunuh.

Di manakah hak asasi manusia? Di manakah perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang kita dikendalikan dengannya, sementara mereka tidak pernah dituntut dengannya? Dan sebaliknya, kita melihat yahudi hingga hari ini terus menuntut negara-negara di dunia untuk memberikan ganti atas klaim peristiwa pembantaian yahudi yang dilakukan Hitler. Israel terus mengalami peningkatan dikarenakan ganti-ganti yang ia peroleh, dan dunia berhutang kepadanya karena peristiwa itu. Bahkan, permintaan maaf dari berbagai fihak atas keterlambatan dalam menyelamatkan mereka terus mengalir hingga dua pekan terakhir, dengan begitu mereka berharap semoga Israel senang!

Contoh pelanggaran janji yang mereka buat untuk orang lain sangatlah banyak. Kalau kita hendak mengungkap bukti kejahatan mereka dahulu dan sekarang, tentu akan panjang pembahasannya. Akan tetapi, kami kira orang yang berhati hidup cukup berfikir dengan dengan penjelasan yang kami paparkan di atas.

Kelima: Kami ingatkan, kami tidak akan bersusah payah dalam membantah kecaman terhadap kami hanya karena ingin lari dari penilaian berdasarkan point-point dalam perjanjian-perjanjian seperti ini. Kami sudah cukup merasa senang hanya dengan menyelisihi mereka dalam urusan yang tidak sesuai dengan syariat kami. Jadi, kami berbuat berdasarkan tuntutan firman Alloh Ta‘ala: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrôhîm dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Alloh, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja…”

Kami menyelisihi mereka secara lahiriyah saja sudah cukup membuat kami bahagia, sebab itu mengindikasikan bahwa kami mengkufuri mereka dan mengkufuri apa yang mereka ibadahi selain Alloh, dan berarti pula kami telah berlepas diri dari mereka.

Keenam: Sebelum kami akhiri, saya ingatkan Anda wahai saudara-saudaraku yang mulia, yang mengarahkan telunjuk tuduhan dan menganggap kami telah melanggar hak asasi manusia dan memperburuk citra Islam; kami ingatkan bahwa kalian salah mengarahkan tuduhan. Kalian telah menuduh kami melakukan perbuatan yang tidak kami lakukan secara dzalim. Apakah yang dikatakan penjahat dan pelanggar hak asasi manusia adalah orang yang membela agamanya, tanah arinya dan dan kehormatan kaum muslimin akibat serangan musuh yang kejam dan perampok? Kemudian, manakah manusia yang kami langgar hak asasinya? Apakah tentara Rusia yang menginvasi negeri kami dan melakukan berbagai ragam cara dalam menyembelih kaum muslimin dan memperkosa kehormatan mereka?

Sesungguhnya, ketika jari-jari itu kalian arahkan kepada kami dan menuduh kami telah melakukan tindak kejahatan, tidak diragukan bahwa jari tersebut salah arah dan tersesat. Jika kalian hendak membela seseorang, carilah selain Rusia. Sungguh, kejahatan mereka telah memenuhi timur dan barat. Sesungguhnya yang layak disebut penjahat adalah mereka yang telah membunuh lebih dari 100.000 muslim dari rakyat kami dalam pertempuran pertama, dan sampai kini terus membunuhi dan mengusir ratusan ribu lainnya. Sesungguhnya penjahat adalah mereka yang telah membunuh hampir satu juta muslim di Afghanistan. Sesungguhnya penjahat adalah mereka yang membunuh 200.000 muslim di Tajikistan.

Penjahat adalah mereka yang membombardir kamp pengungsian di Amiriyah, Irak, dan membunuh semua penghuninya.

Penjahat adalah mereka yang merudal pabrik obat-obatan Asy-Syifa di Sudan karena mengklaim tempat itu menyimpan bahan-bahan kimia. Dan ketika bom-bom itu meledak, gas yang keluar dari pabrik tersebut menyebar hingga bisa membunuh tak kurang dari 10.000 orang yang berada di wilayah pabrik.

Penjahat adalah mereka yang membakar dan menghancurkan kiblat pertama kita.

Penjahat adalah mereka yang membunuh lebih dari 100 warga sipil yang tengah mengungsi di barak pengungsian PBB di Libanon.

Penjahat adalah mereka yang menghancurkan pemukiman penduduk di Lebanon beberapa bulan lalu.

Saudara-saudaraku yang mulia, sudahkah kalian kenali siapa orang-orang jahat itu, sehingga kalian mengarahkan tuduhan yang tepat kepada mereka?

Jika kalian belum bisa mengenali siapa mereka setelah semua pemaparan kami ini, menurut kami kalian tidak akan pernah bisa lagi mengenali mereka. Dan selanjutnya silahkan kalian tetap pada pendirian kalian, silahkan mempercayai semua teriakan suara.

Demikianlah apa yang ingin kami jelaskan kepada saudara-saudara kami dalam pembahasan kali ini. Kami memohon kepada Alloh agar memperlihatkan kepada kita yang benar itu benar dan menganugerahi kita untuk bisa mengikutinya, serta memperlihatkan yang batil itu batil dan menganugerahi kita untuk menjauhinya. Sesungguhnya Alloh lah Pemberi petunjuk menuju jalan yang benar.

Doa terakhir kami: Alhamdulillahi Robbi `l-‘Alamin, segala puji hanya milik Alloh Robb semesta alam.

-------------------------------------------------------------
Nur Cahya di GRUP PEMBELA TAUHID WAL JIHAD 1
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :
 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin