Home » » Ibu, Aku Bukan Banci!!!

Ibu, Aku Bukan Banci!!!

Written By Anonim on Kamis, 12 September 2013 | 14.23


Berikut muqaddimah dari sebuah naskah buku karya Ummu Azzam Abdurrahman, berjudul lengkap, “Wahai Lelaki, Tegakkan Badanmu, Tatap Mata Ibumu dan katakan, Ibu, Aku Bukan Banci !!! Penulis menjelaskan bahwa buku ini adalah doa dan air mata atas kejahatan dan genocide di seluruh dunia terhadap kaum Muslimin. Penulis juga mendedikasikan bukunya tersebut dan seluruh royalti penjualannya (jika diterbitkan) untuk keluarga para mujahid, khususnya para janda dan yatim mujahidin. Semoga menginspirasi!
Umar, Ibu mau bicara sebentar, serius. Ibu minta kamu perhatikan baik-baik dan jangan membantah.”
“Iya Bu, ada apa sih kok tumben Ibu bicaranya seperti itu? Waahhh… jangan-jangan Ibu mau maksa Umar nikah sama calon istri pilihan Ibu nih…”
“Jangan bercanda anakku, Ibu benar-benar serius dan tidak ridla kamu mempermainkan ucapan Ibu.”
“Astaghfirullah, iya Bu. Afwan, maafkan Umar. Umar tidak tahu Ibu akan seserius ini. Sekali lagi maafkan Umar ya Bu. Ada apa sebenarnya?”
“Ibu ingin kamu berangkat berjihad Nak.”
“Aapppaaa??? Kenapa Ibu mendadak punya keinginan seperti itu? Jihad ke mana Bu?”
“Kamu lupa kenapa kami menamaimu Umar, Nak?”
“Tentu saja tidak Bu, tapi nggak begini juga kali Buuu…”
“Ibu perintahkan kamu berjihad atau jangan pernah mengaku sebagai anak Ibu dan Bapakmu lagi selamanya. Ibu tidak mau jika bertemu di akhirat nanti Bapakmu menanyakan, sudah engkau didik menjadi apakah anak kita? Dan Ibu harus menjawabnya, sebagai banci!”
“MasyaAllah Ibuuuu…  Umar harus berjihad ke mana?”
“Terserah kamu, mau ke Palestina, Afghan, Rohingtya, Mesir, Suriah… di mana saja bumi tempat saudara-saudaramu dibantai dan kamu harus berbuat sesuatu untuk mereka. Dzalim sekali kalau kamu sebagai lelaki yang sehat, cerdas dan kuat cuma duduk diam menonton saja. Ini bukan film atau sekedar game anakku, ini benar-benar realita dan sekarang sudah saatnya setiap muslim ikut berjihad. Bahkan Ibu bisa bilang ini pun sudah sangat terlambat.”
“Iiibuuuuu… Ibu tahu kan, bahkan berkelahi pun aku tidak pernah. Aku juga dari dulu males banget tiap Ibu paksa aku ikut kegiatan bela diri. Apakah Ibu menyuruhku mati konyol dengan berangkat jihad ke medan perang dengan pertempuran sekeras itu? Belum apa-apa juga ntar aku sudah keburu mati ditembak musuh Bu! Konyol banget.”
“Hidup atau mati itu urusan Allah anakku, bukan hakmu untuk mengatur dan menentukannya. Kamu cuma sekolah dan baca buku di situ, kalau Allah berkehendak kamu mati juga pasti mati Nak! Kamu tentu lebih paham dalilnya daripada Ibu.”
“Tapi Bu, orang berangkat ke medan perang kan nggak bisa asal-asalan tanpa bekal yang cukup Bu. Apalagi kan syaratnya harus ada khilafah dulu baru kita boleh mengangkat senjata!”
“Kamu sudah seperti Ustadz yang kerjaannya menghina para mujahid itu. Dia hina para mujahid dan dia sibuk dakwah ceramah demi rupiah. Sibuk nulis buku juga demi rupiah, punya mobil cukup mewah bahkan ada yang bisa gonta ganti mobil pribadi mahal tiap mendatangi undangan dakwah. Kamu mau menjadi seperti itu anakku? Kamu nggak malu dan takut sama Allah? Saudara-saudaramu sudah dibantai habis-habisan seperti itu dan kamu masih berpikir belum saatnya turun gelanggang ikut membela? Apakah kamu juga akan ikut-ikutan mencemooh para mujahid? Untuk adanya sebuah khilafah tentu saja harus dengan membentuknya, tidak bisa dengan hanya duduk manis menunggu! Demi Allah jika sampai kamu seperti itu, sampai kapan pun Ibu tidak akan sudi melihat wajahmu!”
“Ibu, bukankah Ibu menyuruhku sekolah di sini agar aku bisa menjadi ahlul ‘ilmi, syukur-syukur aku bisa menjadi Syaikh di Madinah ini karena Ibu ingin aku temani Ibu, Ibu ingin meninggal dan dikuburkan di sini?”
“Anak lelaki Ibu satu-satunya menjadi seorang mujahid yang terjun ke medan perang membela panji-panji Islam, itu lebih membanggakan bagi Ibu daripada semua keinginan Ibu yang itu. Ibu lebih bangga dan bersyukur jika nama anak Ibu disebut-sebut dan dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat karena bertempur dengan gagah berani di medan perang membela agama-Nya.”
“Ibu….”
“Ini bukan untuk Ibu Nak, tapi lebih utamanya buat kamu sendiri…”
“Perintah Ibu ini sudah harga mati?”
“Engkau tentu lebih mengerti dalilnya Nak, betapa jika engkau telah beristri dan dia dalam kebenaran sedangkan Ibumu yang salah sekalipun, engkau tetap harus lebih mematuhi Ibumu. Dan perintah Ibu ini adalah sebuah jalan menuju kemuliaan dan ridla Rabb kita jadi tidak ada alasan bagimu untuk membantahnya, kecuali jika memang kamu ingin menjadi anak durhaka.”
“Ibu tidak takut aku mati dan Ibu tidak punya siapa-siapa lagi?”
“Ibu lebih takut kalau kamu menjadi banci! Kamu tadaburi saja Al Baqarah 45 dan Ali ‘Imraan 146. Kamu tentu lebih paham maknanya. Kalaupun kita mati di jalan Allah, bukankah memang syahid yang kita cari di dunia ini? Kamu jangan permalukan Ibumu di hadapan Allah!”
---------------------
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :
 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin