Meninggalkan Jihad sebab Kehinaan dan Kerendahan
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Abdullah bin ‘Umar c berkata: “Aku mendengar Rasulullah r bersabda:
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah-inah, dan kalian telah disibukkan memegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan bercocok tanam dan juga kalian telah meninggalkan jihad, niscaya Allah akan kuasakan/timpakan kehinaan kepada kalian, tidak akan dicabut/dihilangkan kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3003 dalam kitab Al Buyu’, bab An-Nahyu ‘anil ‘Inah dan Al-Imam Ahmad (2/28). Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 11.
Sabda Nabi : (Kalian telah sibuk memegang ekor-ekor sapi) merupakan kinayah (kiasan) tersibukkannya seseorang dengan pertanian sehingga lalai untuk berjihad di jalan Allah. (telah senang dengan bercocok tanam) merupakan kinayah tentang keberadaan mereka yang menjadikan bercocok tanam sebagai ambisi dan perhatian utama. Adapun maksud ucapan Rasulullah (hingga kalian kembali kepada agama kalian) adalah kalian kembali menyibukkan diri dengan amalan-amalan agama (dengan mengilmui amalan tersebut sebelum mengamalkannya, pen.) (Subulus Salam, 3/64)
Kehinaan kaum muslimin karena meninggalkan ajaran agamanya
Pantas dicatat dengan tinta emas, masa-masa gemilang dan kejayaan kaum muslimin pada kurun terdahulu. Bagaimana Allah memberikan kemuliaan kepada mereka hingga musuh-musuh dari kalangan kuffar sangat takut dan bertekuk lutut di hadapan mereka, sampai-sampai dinyatakan dalam hadits Rasulullah bahwa kaum kafirin itu sudah amat takut ketika mendengar kaum muslimin akan mendatangi mereka walaupun dalam jarak sebulan perjalanan yang memisahkan mereka dengan kaum muslimin.
Termaktub dalam sejarah Islam, bagaimana kaum muslimin mampu meruntuhkan dan menguasai dua kerajaan besar yang menguasai bagian dunia dan diibaratkan negara adidaya di masa itu, Persia dan Romawi. Mereka guncangkan tahta Kisra dan Kaisar. Hal ini sebagaimana pengabaran dari Rasulullah :
“Sesungguhnya Allah mengumpulkan/melipat bumi untukku hingga aku dapat melihat timur dan baratnya. Dan sungguh kerajaan umatku akan sampai ke bagian bumi yang dilipatkan untukku tersebut (timur dan barat bumi). Dan aku diberi dua perbendaharaan: merah dan putih.” (HR. Muslim no. 2889)
Demikianlah generasi terdahulu dari kaum ini dapat mencapai kemuliaan yang begitu tinggi. Hal ini bukan karena kekayaan materi mereka. Bukan pula karena mereka menguasai IPTEK, walaupun hal ini dibolehkan bagi mereka bila mereka mampu. Namun mereka diberikan kemuliaan oleh Allah karena keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya, berpegang teguh dengan agama-Nya, membenarkan seluruh ajaran-Nya dan selalu beramal untuk negeri akhirat. Sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Ayat di atas merupakan janji Allah kepada Rasul-Nya di mana Dia akan menjadikan umat beliau sebagai pemimpin dan penguasa manusia. Hal ini disebabkan karena dengan kepemimpinan dan penguasaan mereka akan menjadi baiklah negeri-negeri dan umat manusia. Dulunya kaum muslimin takut kepada manusia namun sesuai dengan janji Allah ini, Allah akan gantikan rasa takut tersebut dengan keamanan.
Allah juga telah memenuhi janji-Nya, di mana sebelum Rasulullah wafat, Allah bukakan untuk beliau kota Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh jazirah Arab dan seluruh negeri Yaman. Beliau mengambil jizyah dari orang Majusi Hajar dan dari sebagian penduduk Syam. Demikian pula Hiraklius raja Romawi dan Muqauqis penguasa Mesir serta Iskandariyyah, tunduk kepada beliau. Demikian pula raja-raja negeri ‘Amman dan Najasyi raja Habasyah (Ethiopia). (Tafsir Ibnu Katsir, 5/423)
Kemudian sepeninggal beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah beliau memegang pemerintahan. Dia mengutus pasukan muslimin ke negeri Persia dipimpin Khalid ibnul Walid. Pasukan yang lain menuju negeri Syam dipimpin Abu ‘Ubaidah dan pasukan ketiga dipimpin ‘Amr ibnul ‘Ash menuju negeri Mesir. Allah pun membukakan kemenangan di hari-hari Abu Bakar sampai dia kembali ke sisi-Nya.
‘Umar ibnul Khaththab sebagai khalifah kedua meneruskan dengan sempurna apa yang telah dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq . Sehingga semasa beliau hidup negeri Syam dikuasai sepenuhnya, demikian pula Mesir dan kebanyakan daerah Persia. Hancurlah dengan sehancur-hancurnya Kisra dan Kaisar.
Demikian pula di masa ‘Utsman bin ‘Affan, perjuangan pendahulunya tetap ia teruskan. Hingga di masanya timur dan barat bumi telah dikuasai kaum muslimin. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.
Janji yang diberikan Allah dalam ayat ini akan terus berlaku sampai hari kiamat. Selama mereka menegakkan keimanan dan amal shalih maka pasti akan diperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada mereka. Mereka dapat dikuasai oleh orang-orang kafir dan munafik hanya dikarenakan mereka menyia-nyiakan iman dan amal shalih (yang diperintahkan kepada mereka). (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 573)
Sebaliknya, kenyataan pahit yang kita dapatkan pada hari-hari kita ini, di mana kaum muslimin direndahkan musuh-musuhnya dan kehinaan pun menyelubungi dan menguasai mereka. Bukan karena mereka tidak memiliki materi dan bukan pula karena mereka tidak menguasai IPTEK. Namun karena mereka jauh dari ajaran agama mereka, tenggelam dalam kehidupan dunia dan bergelimang dalam lumpur dosa dan maksiat. Bahkan lebih jelek daripada itu, kesyirikan menyebar dengan sangat luasnya sehingga tidak diketahui lagi mana yang dinamakan kesyirikan dan mana yang dinamakan tauhid. Tauhid disangka syirik dan syirik disangka tauhid. Begitu juga halnya dengan bid’ah dan sunnah, wallahul musta’an wa ilallahil musytaka.
Gambaran secara global adalah sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah di atas. Mereka bermuamalah dengan cara yang jelek (dengan riba), tenggelam dalam kesibukan dunia dan ingin hidup kekal di muka bumi dengan enggan untuk berjihad. Karena anggapan mereka, jihad identik dengan mati konyol dan berpisah dengan kesenangan hidup.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Penyakit yang diderita kaum muslimin pada hari ini bukanlah berupa kebodohan mereka terhadap ilmu tertentu (dari ilmu dunia, pen.). Aku katakan yang demikian ini (tentang keberadaan mereka kaum muslimin–pen.), dalam keadaan aku mengakui bahwa semua ilmu yang bermanfaat bagi kaum muslimin wajib dipelajari dengan kadarnya. Namun kehinaan yang menimpa kaum muslimin bukanlah disebabkan kebodohan mereka dengan fiqih yang populer pada hari ini dengan istilah “fiqhul waqi’”! Namun yang menjadi sebab utama dikarenakan mereka menyia-nyiakan untuk beramal dengan hukum-hukum agama, baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah, sebagaimana datang keterangannya dalam hadits yang shahih ini.
Ucapan Nabi : (Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah) merupakan isyarat satu jenis dari muamalah ribawiyah yang mengandung unsur tipu muslihat terhadap syariat. Sedangkan sabda beliau: (dan kalian telah disibukkan memegang ekor-ekor sapi) merupakan isyarat tentang sangat perhatiannya seseorang terhadap perkara-perkara dunia dan kecenderungan padanya sementara perkara syariat dan hukum-hukumnya diabaikan. Yang semisal dengan ini sabda beliau r: (kalian telah senang dengan bercocok tanam). Sementara sabda beliau : (kalian telah meninggalkan jihad) merupakan buah dari keinginan hidup kekal di dunia sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, ada apa dengan kalian, apabila dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah”, kalian merasa berat dan ingin diam di tempat kalian? Apakah kalian lebih senang dengan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, padahal tidaklah kehidupan dunia itu dibanding dengan akhirat kecuali sedikit.” (At-Taubah: 38) (Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, hal. 53-54)
Meninggalkan jihad fi sabilillah termasuk sebab kerendahan umat ini
Jihad fi sabilillah termasuk amalan yang utama. Allah mengibaratkan orang yang berjihad di jalan-Nya seperti orang yang sedang melakukan jual beli dengan-Nya di mana jannah (surga) sebagai pembayarannya.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari kaum mukminin jiwa dan harta mereka, dengan surga bagi mereka. Mereka berjihad di jalan Allah, mereka membunuh dan dibunuh. Itulah janji yang benar dari Allah dalam kitab Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Pahala yang diperoleh dengan amalan jihad ini demikian besar sehingga ketika ada shahabat yang bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, amal apakah yang bisa menyamai jihad fi sabilillah?” Beliau berkata: “Kalian tidak akan mampu melakukannya.” Lalu mereka mengulangi pertanyaan ini dua hingga tiga kali namun beliau tetap menjawab: “Kalian tidak akan mampu melakukannya.” Setelahnya beliau bersabda:
“Permisalan orang yang berjihad di jalan Allah seperti orang yang berpuasa, dia shalat dan taat kepada ayat-ayat Allah. Dia tidak pernah berhenti dari shalat dan puasanya itu sampai orang yang berjihad pulang kembali.” (HR. Muslim no. 1878)
Namun, wallahu al-musta’an, karena cinta terhadap dunia dan takut mati, amalan yang begitu besar nilainya tidak dipandang ataupun ditoleh oleh kebanyakan kaum muslimin. Amalan yang utama ini dilempar jauh di belakang mereka. Bahkan ada di antara mereka yang salah kaprah terhadap jihad, dengan perkataan di antaranya: Jihad itu mati konyol, tidak ada itu yang namanya jihad sebab jihad itu jahat dan Islam itu rahmah, jihad itu sudah lewat masanya dan segudang perkataan yang lain.
Akibatnya kehinaan dan kerendahan pun ditimpakan pada mereka. Jumlah mereka banyak namun tiada berarti di hadapan musuh-musuh mereka sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Hampir-hampir umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang yang makan mengerumuni piring hidangannya.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah disebabkan jumlah kita sedikit pada saat itu?” Rasulullah menjawab: “Bahkan kalian pada hari itu jumlahnya banyak, akan tetapi kalian hanyalah buih seperti buih yang dibawa air bah (banjir) dan sungguh Allah akan mencabut dari dada-dada musuh kalian rasa segan (ketakutan) terhadap kalian dan Allah akan lemparkan ke dalam hati-hati kalian al-wahn.” Seseorang bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah al-wahn itu?”
“Cinta dunia dan takut mati,” jawab beliau. (HR. Ahmad, 5/278 dan Abu Dawud no. 4297, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 958)
Hadits ini menunjukkan dua hal:
Pertama: Islam itu tidak butuh kepada (orang-orang yang ibaratnya) buih seberapa pun besarnya.
Kedua: Pokok/ asal penyakit itu munculnya dari hati, dikarenakan “cinta dunia dan takut mati” adalah dua penyakit hati. Tempat asal akidah juga di hati, sehingga dari sini jelaslah bahwa perbaikan (tashhih) akidah adalah pokok/ asas dari suatu perbaikan (ishlah). Dan pada perkara inilah kaum muslimin sebaiknya dan seharusnya menyibukkan diri mereka. Hingga seandainya pun musuh yang kuat, dzalim lagi aniaya hendak menimpakan kejelekan kepada mereka niscaya Allah akan menolak keinginannya tersebut hingga musuh-musuh kaum muslimin kembali dengan rendah lagi hina dina. Walaupun dia telah mengumpulkan (kekuatan) orang-orang antara Timur dan Barat.
Allah berfirman:
“Berkatalah orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah: Berapa banyak terjadi golongan yang kecil/ sedikit dapat mengalahkan golongan yang berjumlah banyak/besar dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249) (As-Sabil ilal ‘Izzi wat Tamkin, hal. 49)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Sebab kerendahan dan kehinaan ini, wallahu a’lam, yaitu tatkala mereka meninggalkan jihad fi sabilillah, sementara di dalam jihad ini ada kemuliaan bagi Islam. Juga dengan jihad, agama ini akan menang di atas seluruh agama lain. Kemudian Allah menimpakan kepada mereka lawan dari kemuliaan itu berupa turunnya kehinaan dan kerendahan, karena mereka berjalan di belakang ekor-ekor sapi yang sebelumnya mereka menunggangi (duduk) di atas punggung-punggung kuda yang merupakan tempat paling mulia (ketika mereka menungganginya di saat berlaga di medan peperangan jihad fi sabilillah, pen.).” (Nailul Authar, 3/251)
Dengan meninggalkan jihad berarti mereka menjatuhkan diri mereka ke dalam kebinasaan padahal Allah melarang kita menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan.
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
Ayat yang mulia di atas, Allah turunkan sebagai teguran kepada sebagian shahabat yang berkeinginan untuk menyarungkan pedang-pedang mereka (tidak lagi berjihad) dan berencana untuk membenahi harta mereka setelah Allah memberikan banyak kemenangan kepada Islam dan muslimin sehingga mereka beranggapan selesailah tugas mereka berjihad dan tiba saatnya bagi mereka mengurusi dunia.
Abu ‘Imran At-Tujibi berkisah: “Kami keluar untuk berperang menuju Konstantinopel menghadapi pasukan Romawi, sementara yang memimpin pasukan adalah Abdurrahman bin Khalid ibnul Walid. Pasukan Romawi pada waktu itu merapatkan punggung-punggung mereka ke tembok kota Konstantinopel (yakni telah siap berperang dan menghadang musuh). Lalu seseorang dari kami (pasukan muslimin) maju menghadapi musuh hingga ia masuk ke barisan mereka. Melihat hal itu orang-orang pun berteriak dengan menyatakan: “Cegah! Cegah! La ilaha illallah! Dia telah menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan.” Mendengar hal itu, bangkitlah Abu Ayyub Al-Anshari seraya berkata: “Kalian telah menakwilkan ayat ini dengan penakwilan yang demikian, ketika melihat ada seseorang yang maju berperang karena ingin mati syahid. Padahal ayat ini turun berkenaan dengan diri-diri kami orang-orang Anshar. Tatkala Allah telah menolong Nabi-Nya dan memenangkan Islam, kami pun berkata di antara kami dengan menyembunyikannya dari Rasulullah : “Marilah kita benahi dan kita perbaiki harta-harta kita.” Allah pun menurunkan ayat:
“Berinfaklah kalian di jalan Allah dan janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
Sehingga yang dikatakan kebinasaan adalah mengurus harta, mengutamakan dan memperbaikinya, sementara jihad kita tinggalkan dan kita abaikan.” (HR. Abu Dawud no. 2151, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 13)
Jalan keluar dari kehinaan
Rasulullah memberikan solusi bagi umatnya untuk keluar dari kehinaan yang menimpa mereka, yaitu dengan kembali kepada ajaran agama mereka. Kembali bertakwa kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi kesyirikan. Kembali berpegang teguh dengan seluruh ajaran agama Islam sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah tanpa memilah-milah atau memilih-milih mana yang sesuai dengan selera hawa nafsu dan mana yang tidak sesuai dengan selera hawa nafsu. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah.” (Al-Baqarah: 208)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam sabda Nabi :
“Niscaya Allah akan kuasakan/ timpakan kehinaan kepada kalian, tidak akan dicabut/ dihilangkan kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Terdapat isyarat yang jelas bahwa agama yang kita harus kembali kepadanya adalah agama yang Allah sebutkan dalam banyak ayat-Nya yang mulia. Seperti dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Dan dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan Ku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3) (Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’, hal. 54)
Termasuk ajaran agama Islam yang mulia ini adalah jihad fi sabilillah, berperang melawan orang-orang kafir di medan peperangan. Sehingga sepantasnya bagi seorang mukmin untuk selalu bersiap diri dalam rangka membela agama Allah kapanpun dibutuhkan meski harus mengorbankan jiwa raganya. Seorang mukmin bukanlah seorang penakut dan pengecut serta kecil nyalinya menghadapi musuh. Seorang mukmin bukan pula seorang yang tidak pernah terbetik di hatinya untuk berjihad karena dia faham dan takut dengan ancaman Rasulnya yang mulia :
“Siapa yang mati dan belum pernah berjihad serta tidak pernah terbetik di hatinya (keinginan) untuk berjihad maka dia mati di atas satu cabang kemunafikan6.” (HR. Muslim no. 1910)
Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan ajaran agama-Nya dan selalu siap membela agama-Nya di jalan yang haq, tanpa rasa gentar kepada musuh-musuh agama ini. Wallahu al-musta’an wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1. Jihad yang diinginkan di sini adalah jihad yang syar’i bukan jihad bid’ah seperti yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawannya, NII, Takfiriyun, Jamaatul Fasad, Jihadiyyun, dan yang lainnya dari kalangan Hizbiyyun serta para pemberontak.
2. Jual beli dengan ‘inah adalah jual beli dengan cara riba. Contohnya si A menjual barang kepada si B dengan harga tertentu dan pembayaran dilakukan di belakang hari. Kemudian sebelum lunas pembayarannya, si A membeli kembali (dengan kontan) barang yang dia jual tersebut dari si B dengan harga yang lebih murah daripada harga yang ditetapkan ketika dia menjualnya. Kemudian nantinya si B harus tetap membayar barang tersebut dengan harga semula walaupun barang tersebut sudah tidak lagi dimilikinya. (Lihat Nailul Authar, 5/250)
3. Rasulullah r bersabda:
“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku: (pertama) aku ditolong dengan rasa takut di hati-hati musuhku walaupun jarak antara aku dan mereka masih sebulan perjalanan….” (HR. Al-Bukhari no. 335 dan Muslim no. 521)
4. Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan dua perbendaharaan adalah emas dan perak yaitu harta raja Kisra penguasa Iran dan Kaisar penguasa Syam.” (Syarah Shahih Muslim, 18/13)
5. Hadits Abdullah bin Umar c yang menjadi pembahasan kita.
6. Yakni ia menyerupai sifat munafik yang tidak mau turut berjihad, karena meninggalkan jihad merupakan salah satu cabang kemunafikan. (Syarah Shahih Muslim, 13/56)
-------------------------