Berkaca dari kejadian beberapa waktu lalu, bahwa ketika yudicium dan wisuda, ada seorang muslimah yang ingin istiqomah menegakkan syari’at Allah terkena imbas dari kebusukkan sistem syirik demokrasi. Hal ini bukanlah sesuatu yang berat untuk dipermasalahkan, tapi ternyata sangat teramat dipermasalahkan oleh pihak panitia. Bahkan sampai-sampai orang tuanya ingin mengusirnya dari rumah. Apa itu? Yaitu berjabat tangan dengan Rektor.
Padahal, banyak juga muslimah di luar yang santai saja menghadapi hal seperti ini ketika mengikuti acara ini, apalagi yang berhubungan dengan berjabat tangan.
“Bagi muslimah yang berkerudung, apabila tidak berjabat tangan dengan Rektor untuk besok wisuda, diharapkan untuk mengenakan sarung tangan, agar bisa berjabat tangan dengan Rektor. Terimakasih.”
Hal itu diumumkan secara langsung melalui mic ketika acara yudisium, H-1 sebelum acara wisuda keesokkan harinya. Mendadak perasaan sang akhwat tersebut langsung panas, karena merasa ada syubhat disini. Dipandangan mereka yang awam, berarti diperbolehkan untuk berjabat tangan dengan non-mahram walaupun pakai sarung tangan. Astaghfirullah! Lalu, bagaimanakah dengan sabda Rasulullah mengenai hal ini?
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya. (HR. Ath Thabrani)
Melegalkan Yang Haram
Jika kita melihat kembali ke salah satu Risalah Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, yang berjudul “Saat Tawaran Abu Jahal Disambut”, dengan berpijak pada firman Allah Ta’ala :
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. “(al-Isra [17] :73-75)
Di dalam sebab nuzul ayat-ayat di atas para pembesar Quraisy memberikan tawaran, janji, dan jaminan kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam tapi dengan syarat yang harus ditunaikan oleh beliau. Yaitu mereka menjanjikan akan masuk Islam tapi dengan syarat Rasulullah shalallahu’alaihi was salam mengusap berhala-berhala mereka, dan karena sangat inginnya Rasulullah shalallahu’alaihi was salam terhadap keislaman mereka yang akan berdampak kepada keislaman bangsa Quraisy, karena yang menjanjikan adalah para pemuka Quraisy.
Hampir saja Rasulullah shalallahu’alaihi was salam mengikuti tawaran tersebut karena janji tersebut, dengan anggapan bahwa hati beliau tetap bersih dan mengingkari, dan Allah Ta’ala mengetahui pengingkaran hatinya itu. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut untuk mengecam bisikan hati itu dan mengancam andaikata bisikan hati tersebut terealisasi.
Allah Ta’ala menyatakan bahwa hampir saja orang-orang kafir itu memalingkan Rasulullah dari ajaran Allah, yaitu sekedar mengusap berhala secara dhahir sedangkan bathin mengingkari dengan tujuan meraih maslahat dakwah berupa keislaman mereka, padahal pengusapan berhala itu bukanlah syirik akbar tapi perbuatan yang haram.
Dan Allah Ta’ala mengatakan “agar Engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami”, yaitu bahwa tindakan mengusap berhala itu akan mengundang pertanyaan para sahabat kenapa Rasulullah shalallahu’alaihi was salam melakukan hal itu padahal perbuatan itu dilarang oleh Allah Ta’ala, maka hal itu mendorong Rasulullah untuk mencari alasan untuk melegalkannnya, dan itu adalah berdusta atas nama Allah atau mengada-ada yang lain terhadap Allah Ta’ala.
Posisi sang akhwat, tepat berada pada posisi Rasulullah shalallahu’alaihi was salam ketika itu. Yang mana, jika dalam keadaan darurat ia melakukan jabat tangan tersebut, maka akan banyak mudharat yang ia dapatkan. Namun, ma syaa Allah! Ketika sang akhwat masih memikirkan mengenai hal tersebut, dan ia memiliki ide untuk membicarakan hujjah mengenai hal tersebut pada panitia melalui salah satu insan yang tsiqoh –in syaa Allah-, terdapat kabar yang cukup membuat hati sang akhwat tenang kala itu.
“Point kedua, bagi perempuan yang nantinya tidak mau untuk berjabat tangan dengan Rektor karena ingin menegakkan syari’at Allah, maka silahkan dipilih antara dua hal ini. Yang pertama, tetap berjabat tangan, tapi menggunakan sarung tangan. Yang kedua, jika tetap dengan prinsipnya tidak berjabat tangan, maka diharapkan untuk mengkode dari jauh dengan kedua tangan bersedekap di dada. Daripada nanti Rektornya tarik ulur tangannya, kan kasihan. Begitu juga dengan photografernya, bingung mau mengambil foto yang mana.”
Alhamdulillah.. ternyata Allah Ta’ala telah memberikan petunjuk kepada akhwat tersebut. Mungkin Allah telah melihat ikhtiar yang dilakukannya, hanya untuk menegakkan syari’at Allah, sehingga kabar gembira pun sampai padanya.
Pendidikan ala Democrazy
Ternyata, setelah dilihat dari kejadian di atas, bahwa sebenarnya “pertimbangan” panitia adalah dalam rangka untuk melegalkan yang haram. Padahal mereka tahu, bahwa itu semua datangnya dari Allah Ta’ala.
Tidak ada bedanya, antara politik dengan pendidikan jika seperti ini. Karena hukum yang datangnya dari Allah saja masih harus dilakukan “pertimbangan dan kesepakatan”, hanya karena kepentingan orang nomor satu itu dan para photografer. Lalu, hukum Allah pun dijadikan alasan yang kesekian. Na’udzubillahi min dzalik!
Tapi, yang masih herannya, banyak muslim/muslimah yang tidak bisa mengambil ibroh dari banyak kejadian. Ketika hukum Allah masih saja harus dipertimbangkan dalam beberapa tempat, bahkan banyak yang menjadi korban, mereka terus menerus menjadi pendukung setia dari sistem syirik demokrasi. Astaghfirullah!
Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan petunjuk pada kita untuk menuju ke yang al-Haq. Aamiin
Wallahua’lam bisshowab