Syekh Abdullah Azzam-rahimahullah-dalam bukunya Tarbiyah Jihadiyah mengatakan bahwa umat Islam di sepanjang zaman belum pernah mendapatkan cobaan dengan adanya undang-undang kafir yang dipaksakan atas kaum Muslimin, kecuali pada dua kondisi.
Kondisi atau musibah yang pertama adalah di saat pasukan Tartar masuk ke Baghdad pada tahun 656 Hijriyyah, lalu kemudian Ilyasiq dipaksakan untuk diberlakukan kepada umat Islam, dan kedua musibah yang terjadi pada saat Napoleon masuk ke Mesir membawa undang-undang Perancis.
Beliau menceritakan : Setelah tentara kolonial Prancis ditarik mundur dari Mesir, kekuasaan jatuh ke tangan seorang penjahat besar yang merusak Dunia Islam, yakni Muhammad Ali Basya. Ia mengirim beberapa kelompok misi kebudayaan ke Prancis untuk mempelajari hukum dan perundang-undangannya.
Muhammad Ali Basya seorang yang buta huruf, tak ada yang tahu asal keturunannya. Ia seorang Albania yang turut dalam ekspedisi militer yang dikirim Daulah Utsmaniyah untuk melawan Napoleon. Setelah Napoleon keluar Mesir, dan Jenderal Kleber, panglima pasukan Prancis yang menggantikan posisinya terbunuh, maka Muhammad Ali Basya, melakukan aksi perlawanan terhadap pemimpin pasukan Turki dan memperdaya mereka.
Dalam sebuah pesata di benteng, ia membunuh mereka semua. Kemudian mengumumkan dirinya sebagai penguasa Mesir. Prancis menaruh sejumlah orang sebagai orang-orang kepercayaan Muhammad Ali Basya. Di antara mereka terdapat Sulaim Basya, orang Prancis yang membantu Muhammad Ali Basya membangun armada laut kerajaan Mesir. Dan juga DR. Clot, lelaki inilah sebenarnya otak yang mengendalikan Mesir, saat dipimpin Muhammad Ali Basya. Ia memberi nasihat kepada Muhammad Ali Basya supaya mengirim putra-putra Mesir untuk belajar ke Prancis.
Putra-putra Mesir yang diberangkatkan ke Prancis saat itu, pergi membawa dua “syahadah” dan kembali hanya membawa satu “syahadah”. Pergi membawa dua syahadah (kesaksian) La ilaha illallah Muhammadur rasulullah kemudian kembali ke Mesir membawa 1 syahadah (gelar Diploma atau ijazah). Yaitu mereka adalah alumnus suatu fakultas di Universitas Prancis, atau dari suatu akademi bahasa Prancis, dan sebagainya.
Di antara mereka yang dikirim ke Prancis adalah seorang alumnus Al Azhar bernama Rifa’ah Ath-Thahthawi. Di sana ia membuang surbannya dan mencuci Islam dari otaknya. Kemudian setelah kembali ke Mesir, ia memberikan nasihat kepada Muhammad Ali Basya supaya mau mengadopsi sistem perundang-undangan Prancis. Ia menulis sebuah buku untuk Muhammad Ali Basya yang diberi judul, “Talkish al Baritz” (Emas Murni dari hasil penyaringan budaya Prancis di Paris). Laa haula wa laa quwwata illa billah!
Mulai saat itulah mereka mulai mempreteli hukum-hukum Islam. Ibarat Islam itu sebuah jam, mereka melepas satu persatu komponennya dari bawah setiap hari, kemudian menggantikannya dengan komponen Prancis. Tetapi mereka tidak mengganti kacanya, tidak mengubah rangkanya, atau jarum-jarumnya, sehingga lahirnya, jam itu masih tampak asli, padahal komponennya telah berubah semua.
Demikian juga perlakuan mereka terhadap Islam. Syiar-syiarnyamasih tetap ditegakkan. Puasa Ramadhan masih dikerjakan. Rombongan-rombongan haji tetap berangkat setiap tahunya. Masjid-masjid tetap dibangun, namun esensi (inti) dari ajaran Islam telah diubah secara total, sedang umat Islam tidak menyadarinya.
Ketahuilah, Islam adalah mushaf dan pedang, politik dan perdamaian, menara masjid dan cerobong pabrik, kekuasaan dan ibadah. Sayang, umat Islam tidak mengetahui ini semua.
Wallahu’alam bis showab!
Sumber: Al Mustaqbal
Posting Komentar