Home » » .:: Penjelasan Masalah Demokrasi ::.

.:: Penjelasan Masalah Demokrasi ::.

Written By Anonim on Kamis, 17 Oktober 2013 | 12.25



Syirik akbar itu adalah masalah dhahirah.. 
Namun kejadian atau ucapan atau aliran ada yang isinya syirik akbar akan tetapi hakikat isinya itu banyak tidak diketahui oleh orang-orang yang tidak terlibat dan tidak berkecimpung di dalamnya.. 
Sehingga masuk pintu kesamaran dan ketidakadaan maksud pada orang-orang yang tidak mengetahui hakikat isinya..
Sehingga pengkafiran orang-orang itu sama dengan pengkafiran di dalam masail khafiyyah yaitu setelah ditegakkan hujjah dengan pemberian penjelasan hakikat isinya..

Demokrasi adalah sistim kafir, baik ideologi maupun mekanisme. Dan tidak mungkin orang bisa masuk Perleman Demokrasi (DPR/MPR) kecuali dengan mengikuti aturan main Demokrasi, berupa persetujuan bahwa yang berhak membuat hukum itu adalah bukan Allah Ta'ala, baik itu DPR, MPR maupun para pejabat terkait, dan pembuatan hukum juga harus berdasarkan UUD yang merupakan bapak undang-undang, oleh sebab itu yang masuk dalam Parlemen baik dari kalangan yang meyakini Demokrasi sebagai ideologi maupun sekedar mekanisme, maka mereka tetap harus menyetujui dan mengikuti langkah langkah kafir dalam pembuatan UU maupun dalam mengawasi Pemerintahan, sedangkan menampakkan sikap setuju kepada sistim dan cara kafir adalah kafir walaupun di hati membencinya dan membenci para pelakunya dan walaupun mereka mencintai Islam dan kaum muslimin selagi tidak ada ikrah, sedangkan tidak ada ikrah untuk masuk Parlemen. 

Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Ketahuilah semoga Allah merahmatimu bahwa orang bila menampakkan sikap setuju terhadap dien (ajaran/sistim/hukum) orang-orang musyrik di hadapan mereka karena rasa takut dari mereka atau karena mudaaraah (siasat untuk menarik simpati) mereka atau karena basa basi untuk menghindari kejahatan mereka, maka sesungguhnya dia itu kafir seperti mereka walaupun membenci mereka dan membenci dien mereka dan walaupun dia mencintai islam dan kaum muslimin...” (Ad Dalail, halaman pertama).
Terus beliau menuturkan 20 dalil dari Al Qur’an dan satu dari hadits nabi. 

Justeru orang-orang yang masuk parlemen sebagai wasilah untuk menegakkan Islam atau sebagai mekanisme saja, mereka itu telah menjadikan syirik akbar sebagai sarana ibadah kepada Allah Ta'ala, karena penegakkan syari'at itu adalah ibadah dan tauhid, maka bagaimana menegakkan tauhid dan ibadah dengan syirik akbar?!! 
Bahkan mereka lebih parah karena untuk melegalkan tindakannya itu mereka mendalili perbuatannya dengan dalil-dalil syar'iy, sehingga dengan sikap itu mereka telah berdusta atas nama Allah yaitu bahwa Allah membolehkan syirik akbar untuk penagakkan tauhid, sedangkan dusta nama Allah itu adalah kekafiran lain yang lebih berbahaya dari syirik akbar-nya itu sendiri, karena dengan hal itu mereka menipu masyarakat awam kaum muslimin, lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang Al A’raf: 33 yang di dalamnya Allah menempatkan dusta atas nama Allah pada posisi dosa kekafiran yang lebih tinggi dari syirik akbar, karena syirik akbar hanya buat pribadi sedangkan dusta atas nama Allah adalah menyesatkan orang lain juga. 
Cukuplah bagi para anggota parlemen itu dari mana saja partainya baik meyakini Demokrasi sebagai ideologi maupun mekanisme saja firman Allah dalam Attaubah: 31 dan Asysyura: 21, juga Yusuf: 40, bukankah para anggota Parlemen itu menerima posisisnya sebagai pembuat hukum? Mereka tahu tugasnya itu.. 

Adapun masyarakat yang tidak terlibat dalam Dewan Legislatif, atau dalam penegakkan hukum, namun mereka hanya sekedar nyontreng dan nyoblos saja, maka ketahuilah bahwa kata “nyontreng atau nyoblos atau pemilu” bukanlah kalimat atau tindakan kekafiran, karena memang tidak ada di dalam nash bahwa itu kekafiran, terus Demokrasi memang hakikatnya adalah kekafiran namun ia adalah kalimat asing, sedangkan banyak umat tidak tahu hakikat makna kalimat ini dan muatannya sehingga saat mereka mendukungnya atau ikut nyoblos atau nyontreng, banyak dari mereka memahami bahwa makna Demokrasi adalah lawan dari otoriter dan tujuan dan makna nyontreng adalah mengangkat wakil daerah yang akan ikut mensejahterakan derahnya atau yang serupa itu yang bermakna baik, dan banyak dari mereka tidak paham bahwa nyontreng itu tujuannya mengangkat wakil rakyat yang akan membuat hukum dan undang-undang atau mengawasi pemerintahan dengan UUD.
Sehingga saat mereka nyontreng mereka tidak tahu bahwa itu dalam rangka mengangkat pembuat hukum, namun yang mereka ketahui bahwa itu dalam rangka mengangkat wakil yang akan membantu pelayanan kemudahan daerahnya, sedangkan di dalam mawani takfier ada yang disebut intifaaul qasdhdi (ketidakadaan maksud) yang meliputi salah ucap, pengucapan kalimat kekafiran dengan bahasa asing yang tidak dia ketahui maknanya juga perbuatan yang memiliki ihtimal maksud lain, nah yang nyontreng itu tidak dikafirkan dari sisi adanya penghalang takfier “intifaaul qashdi” di mana perbuatannya mengandung ihtimal dua maksud itu, makanya tidak dikafirkan kecuali setelah dijelaskan kepadanya hakikat Demokrasi dan tujuan nyontreng itu, dan ini sama sekali tidak ada kaitan dengan udzur jahil, karena bahasan udzur jahil adalah kaitan dengan orang yang jelas mengetahui hakikat apa yang dia lakukan atau ucapkan namun tidak tahu hukumnya, umpamanya para anggota DPR mereka tahu benar hakikat dan tugas dinas mereka yaitu pembuatan hukum.
Namun mereka tidak tahu bahwa itu kekafiran dan syirik, maka dia musyrik kafir walaupun tidak mengetahui hukum, cukup dalam hal ini ayat 31 Attaubah dan tafsir nabawinya, atau Polisi dia mengetahui bahwa pekerjaan dia adalah menegakkan hukum buatan namun dia tidak mengetahui bahwa itu kekafiran, maka dia kafir dan tidak diudzur ketidak tahuannya, atau orang umum yang sekedar nyoblos sedangkan dia mengetahui bahwa itu dalam rangka mengangkat pembuat hukum dan UU maka dia kafir walupun tidak mengetahui bahwa itu kekafiran.

Dan perlu diingat bahwa tindakan suatu yang hakikatnya syirik akbar namun orang yang melakukannya atau mengucapkannya sedangkan dia tidak mengetahui hakikatnya maka pengkafiran pelakunya disamakan dengan pengkafiran di dalam masail khafiyyah yaitu tidak dilakukan pengkafiran di dalamnya kecuali setelah penegakkan hujjah, yaitu penjelasan hakikat hal itu. 
Ini berlaku dalam segala hal yang berkaitan dengan syirik akbar yang tidak diketahui hakikatnya oleh orang yang tidak berkecimpung di dalamnya. Umpamanya, Ibnu Taimiyyah saat menjelasakan sekte Ibnu 'Arabiy yang menganut Wihdatul Wujud dll, di mana kata beliau bahwa sekte ini adalah lebih kafir dari Yahudi dan Nashrani dan para penganutnya dan yang berkecimpung di dalamnya adalah zanadiqah murtaddun, sedangkan orang muslim yang bukan bagian kelompok mereka tapi cenderung kepada mereka dan memuji mereka.

Maka ini ada dua macam: 
1. Orang yang mengetahui isi dan hakikat ajaran mereka terus cenderung dan memuji mereka maka dia zindiq murtad. 
2. Orang yang tidak mengetahui isi dan hakikat ajaran mereka namun dia mengira ucapan-ucapan mereka itu bermakna baik maka dia muslim yang sesat, tidak dikafirkan sebelum diberikan penjelasan prihal hakikat isi ajaran sekte ini. 

Ini sama dengan Demokrasi dan isme2 lain yang tidak ada nash nya di dalam wahyu, seperti Demokrasi, di mana orang-orang yang berkecimpung di dalamnya yaitu para anggota dewan maka mereka murtad, sedangkan masyarakat umum yang cenderung dengan sekedar nyontreng maka ada dua macam orang seperti tadi. 
Pancasila umpamanya atau sosialis, di mana para aktivis yang berkecimpung di dalamnya maka kafir, namun masyarakat awam yang tidak terlibat di dalam penegakkannya namun sekedar cenderung atau memuji maka ada macam rincian seperti tadi.. 

Adapun ucapan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan kepada orang-orang Jahmiyyah bahwa bila saya mengatakan apa yang kalian katakan maka saya kafir namun kalian tidak kafir menurut saya karena kalian bodoh,” para Aimmatuddakwah Annajdiyyah telah menjelaskan secara khusus maksud ucapan Ibnu Taimiyyah ini di dalam rislah Al Jahlu Alladzii Yu'dzru Shahibuhu yang ada di dalam Addurar Assaniyyah, di mana mereka menjelaskan bahwa itu berkaitan dengan masail khafiyyah, berkaitan dengan maslaha tertentu yaitu Asy’ariyyah yang sebagian pendapatnya menyerupai Jahmiyyah tapi bukan berdasarkan Ushul Jahmiyyah... 

Untuk mengetahui kepahaman seseorang terhadap kaidah yang dia lontarkan maka silahkan tanyakan hal-hal berikut ini yang diminta jawaban masing-masing dalam dua baris saja:

* Apa status Presiden RI dan Wapresnya apakah kafir secara ta'yin atau tidak? Para menteri kabinet apakah kafir secara ta'yin atau tidak? Para anggota DPR/MPR dari Partai Demokrat dan PDIP kafir secara ta'yin atau tidak? Anggota DPR dari PKS dan PBB apakah kafir secara ta'yin atau tidak? Para hakim yang memutuskan dengan hukum buatan di RI ini apakah kafir secara ta'yin atau tidak? Polisi dan tentara RI yang melindungi dan menegakkan UU buatan apakah kafir secara ta'yin atau tidak? 
* Bagaimana status masyarakat yang sekedar nyoblos dan nyontreng? 

Abu Sulaiman Al Arkhabily
8 Dzul Hijjah 1434 H

-----------------------
Sumber: Abu Mukhzian
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin