Home » » Ringkasan Penting Masalah Hukum

Ringkasan Penting Masalah Hukum

Written By Anonim on Sabtu, 05 Oktober 2013 | 11.17


Sesungguhnya Al Hukmu (hukum) telah datang di dalam syari’at ini sedangkan ia itu memiliki maksud dua makna:
Pertama: Hukum umum di dalam permasalahan yang bersifat menyeluruh dan di dalam problematika-problematika yang seluruh manusia berserikat di dalamnya, di mana ia itu tidak khusus bagi orang tertentu atau tempat tertentu atau waktu tertentu, akan tetapi ia itu adalah umum mencakup semua individu, tindakan dan kejadian yang masuk di dalam cakupan hukum ini, dan ia itu biasa disebut At Tasyrii’ (Undang-Undang/Aturan), yang Al Hukmu dengan makna hanya boleh disandarkan kepada Allah Ta’ala saja, karena pembuatan hukum (undang-undang) itu hanyalah hak khusus Allah, sebagaimana firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah,” (Yusuf: 40)
Juga firman-Nya:
أَلا لَهُ الْحُكْمُ
“Ingatlah hanya milik-Nya lah hak pembuatan hukum itu,” (Al An’am: 62)
Dan firman-Nya:
وَعِنْدَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللَّهِ
“sedangkan di sisi mereka itu ada Taurat di mana di dalamnya hukum Allah,” (Al Maidah: 43)
Dan firman-Nya Ta’ala:
ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
“Itulah hukum Allah di mana Dia memutuskan di antara kalian,” (Al Mumtahanah: 10)
Serta ayat-ayat lainnya.
Dan penyimpangan di dalam hal ini, yaitu penyandaran hak pembuatan hukum kepada selain Allah adalah kufur akbar dengan sendirinya tanpa perlu meninjau keyakinan orangnya, oleh sebab itu Allah memvonis alim ulama dan pendeta Nashrani yang membuat hukum untuk orang-orang Nashrani sebagai Arbaab di dalam surat At Taubah 31:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (٣١)
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Dan memvonis para pembuat hukum selain diri-Nya sebagai Syuraka(sekutu-sekutu yang diibadati) sebagaimana di dalam surat Asy Syuraa: 21:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan”
Dan inilah vonis yang dimaksudkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Dan orang dikala menghalalkan hal haram yang sudah diijmakan keharamannya atau mengharamkan hal halal yang sudah diijmakan kehalalannya atau merubah aturan yang sudah diijmakan terhadapnya, maka dia itu kafir lagi murtad berdasarkan kesepakatan para fuqaha.” (Majmu Al Fatawa: 3/267)
Dari sinilah nyata bahwa para anggota Legislatif yang mengklaim hak pembuatan hukum dan undang-undang adalah orang-orang kafir walaupun meyakini kebenaran hukum Islam dan meyakini kebatilan hukum buatannya.
Kedua: Al Hukmu yang bermakna ijtihad dan vonis (putusan) di dalam penyelesaian pertikaian di antara orang-orang yang berseteru atau di dalam kasus-kasus tertentu atau pada orang-orang tertentu. Dan Al Hukmu dengan makna adalah disandarkan kepada manusia, baik itu para nabi, para qadli, alim ulama serta yang lainnya dengan syarat merujuk dan sesuai dengan hukum Allah, atau dengan makna lain ia mengacu kepada Al Hukmu makna pertama yang di dalam nash-nash kadang disebut “Bil Qisthi” atau “Bil ‘Adli” atau “Bil Haqq” atau “dengan apa yang telah Allah turunkan,” seperti firman-Nya:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Dan bila kalian memutuskan di antara manusia (Dia memerintahkan) kalian agar memutuskan dengan keadilan,” (Qs. An Nisaa: 58)
Dan firman-Nya:
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
“Dan bila kamu memutuskan, maka putuskan di antara mereka dengan keadilan,” (Al Maidah: 42)
Dan firman-Nya:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
“Wahai Dawud sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi, maka putuskanlah di antara manusia dengan Al Haq”(Shaad: 26)
Dan firman-Nya:
وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الإنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ
“Dan hendaklah Ahlul Injil itu memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan,” (Al Maidah: 47)
Penyimpangan di dalam Al Hukmu dengan kedua maknanya disebut Al Hukmu Bi Ghairi Ma Anzalallah, akan tetapi status orang di dalam dua penyimpangan itu berbeda, di mana tadi sudah dijelaskan bahwa penyimpangan di dalam makna pertama adalah kufur akbar tanpa ada rincian dan tanpa perlu meninjau kepada keyakinan hati. Sedangkan penyimpangan Al Hukmu di dalam makna kedua yang mana ia itu disebut Al Hukmu Bi Ghairi Ma Anzalallah, maka ini ada dua macam:
(1) Pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu bila merujuk kepada undang-undang buatan, maka orangnya kafir tanpa ada rincian dan tanpa perlu meninjau keyakinannya, seperti para hakim yang memutuskan hukum berdasarkan KUHP atau undang-undang thaghut lainnya walaupun di dalam satu masalah dan di dalam satu kasus saja, dan gambaran inilah yang menjadi sebab turun Al Maidah: 44 dan seterusnya, dan inilah yang dimaksudkan dengan ucapan Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah Wan Nihayah: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam yang telah diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa (Yasiq) dan dia lebih mengedepankkannya terhadapnya, maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia telah kafir berdasarkan ijma kaum muslimin.” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)
(2) Pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan tanpa merujuk kepada hukum buatan, namun si hakim secara ketentuan rujukan hukum merujuk kepada hukum Allah Ta’ala akan tetapi pada tataran terapan kepada pelakunya diri si hakim terbawa hawa nafsu sehingga dia menyembunyikan sebagian fakta yang sebenarnya yang sudah terpenuhi pada diri orang itu, sehingga dengan penyembunyian fakta itu si terdakwa lepas dari putusan hukum Allah yang sepantasnya buat dia. Umpamanya hakim di negara Islam, dia dalam tugasnya selalu merujuk kepada hukum Allah dan dia selalu jujur dalam mengurai fakta-fakta sehingga putusan-putusannya sesuai dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi suatu kali dihadirkan kepadanya seorang kerabatnya yang terbukti telah mencuri, kemudian si hakim memprosesnya sesuai dengan mengacu kepada hukum Allah Ta’ala, setelah dia teliti keterbuktian pencurian itu dia mengetahui bahwa syarat-syarat potong tangan sudah terpenuhi pada orang itu, namun karena hawa nafsu atau lainnya saat memutuskan kepada si terdakwa dia menyembunyikan sebagian fakta itu, umpamanya dia mengutarakan bahwa barang curian tidak mencapai nishab sehingga syarat potong tangan tidak terpenuhi, sehingga akhirnya dia tidak memvonis potong tangan terhadapnya namun hanya ta’zir saja, padahal dia mengetahui benar bahwa pencurian telah mencapai nishab. Inilah gambaran Al Hukmu Bi Ghairi Ma Anzalallah di dalam apa yang biasa disebut oleh para ulama sebagai Qadiyyah Mu’ayyanah (kasus tertentu) atau Haaditsah Mu’ayyanah (kejadian tertentu) atau Al Haaditsah (kejadian itu) atau Waaqi’ah Mu’ayyanah atau Al Waaqi’ah atau ucapan semisal itu, dan gambaran inilah yang ada rincian kufur akbar dan kufrun duna kufrin sesuai keyakinan si hakim itu. Dan pada tempat inilah seharusnya semua ucapan ulama yang melakukan perincian di dalamnya dibawa dan ditafsirkan.
Dengan ini kita mengetahui kekeliruan orang-orang Murjiah zaman ini yang berkedok salafi (salafi maz’um) yang memukul rata perincian para ulama pada semua macam tadi tanpa memilah antara kekeliruan di dalam Al Hukmu dengan makna pertama dengan Al Hukmu makna kedua dengan kedua macamnya, di mana mereka memberikan perincian pada semuanya sesuai keyakinan, sehingga dengan sikap ini mereka menetapkan keislaman para thaghut murtad. Dan kita juga mengetahui kekeliruan orang-orang Khawarij dulu yang memakai ayat “Inil hukmu illaa lillaah”untuk menyalahkan sikap Ali radliyallah ‘anhu dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu yang telah mengangkat juru damai (hakam) untuk memutuskan pertikaian di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, padahal ijtihad para sahabat itu adalah benar karena mereka mengangkat juru damai untuk memutuskan di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, sedangkan Khawarij malah memakai ayat tentang hak pembuatan hukum hanya milik Allah. Seandainya ayat itu digunakan untuk mengkafirkan para anggota Parlemen Legislatif tentulah tepat.
Pahami benar rincian ini, tentu semua syubhat yang berkaitan dengan masalah ini lenyap dari benak anda sekalian…
(Sebagian materi ini diambil dari kitab Tuhfatul Muwahhidin).
KK – NK
28 Dzul Qa’dah 1434 H. / 5 Oktober 2013 M
Abu Sulaiman Al Arkhabiliy


Sumber: millahibrahim.wordpress
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin