Home » , , » Seremonial Wisuda, Haram?

Seremonial Wisuda, Haram?

Written By Anonim on Senin, 28 Oktober 2013 | 13.32


Tampaknya, wisuda merupakan puncak keberhasilan dalam jenjang pendidikan perguruan tinggi dengan strata tertentu, apakah itu tingkat sarjana, megister ataupun doktor.

Seremonial wisuda seakan telah menjadi tradisi sebagai bentuk perayaan atas keber­hasilan ini. Hampir semua universitas di dunia menye­lenggarakannya. Dewasa ini tak hanya perguruan tinggi saja, ting­katan pendidikan lebih ren­dah telah pula mengadopsi tra­disi wisuda, bahkan Taman Kanak-Kanak sekalipun. Meski dengan rangkaian acara yang disesuaikan dengan pemahaman me­reka.

Akan tetapi, sebagai mus­lim yang meyakini Allah seba­gai ilah dan Muhammad seba­gai penutup para nabi dan rasul-Nya, kita mengamini bahwa Islam merupakan ajaran yang sempurna dan menye­luruh. Segala hal telah ada keten­tuannya dalam agama ini, yang jika diamalkan dengan ikhlas dan teguh akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Dalam tradisi seremonial wisuda yang biasa dilakukan itu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Di antaranya yang paling nyata adalah, pertama, toga—pakaian seragam—yang digunakan pada seremonial wisuda baik oleh para wisu­dawan/wati maupun para pejabat yang terlibat, seperti rektor, senat universitas, guru besar dan lainnya. Pakaian ini juga mirip dengan apa yang dikenakan oleh para hakim yang bekerja di pengadilan dalam suatu persidangan atau­pun oleh para hakim pada Mah­kamah Konstitusi, walau tanpa tambahan topi.

Jika coba ditelusuri asal muasal dan sejarah pakaian ini maka akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa pakaian seperti ini berasal dari sejarah peradaban Barat—dalam hal ini Romawi—dan kemudian menjadi tradisi para sarjana Barat—Kristen. Dalam Livius, Titus (ca. 1st century BC) “Book III: The Decemvirate” Bab 26 disebutkan bahwa, “The toga was based on a dress robe used by native people, the Etruscans who lived in Italy since 1200 B.C, although it usually is linked with the Romans. The toga was the dress clothing of the Ro­mans: a thick woolen cloak worn over a loincloth or apron. It is believed to have been established around the time of Numa Pompilius, the second King of Rome. It was taken off indoors, or when hard at work in the fields, but it was considered the only decent attire out-of-doors. This is evident from the story of Cincinnatus: he was ploughing in his field when the messengers of the Senate came to tell him that he had been made dictator, and on seeing them he sent his wife to fetch his toga from the house so that they could be received appropriately.”

Penting diingat dalam seja­rahnya para sarjana Barat berasal dari kalangan gereja. Karena memang dalam tradisi Kristen, yang mempunyai akses pada ilmu pengetahuan adalah kalangan agamawan. Jika dicermati, sampai sekarang kalangan gereja masih mem­pertahankan bentuk pakaian seperti ini. Begitu pula dengan tongkat khusus yang digunakan sebagai aksesoris selama re­sepsi wisuda oleh beberapa kalangan elite perguruan tinggi. Ini benar-benar merupakan tradisi gereja jika dilihat dari bentuk tongkat itu.

Sebuah hadis yang diri­wayatkan Bukhari, hadis nomor 7319, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda, “Kiamat ti­dak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang berta­nya, ‘Seperti orang-orang Persia dan Romawi?’ Beliau bersab­da,”Di antara manusia, siapa lagi kecuali mereka?”

Kedua, berdirinya para hadirin pada saat-saat tertentu, seperti di waktu rektor mema­suki ruangan dan berdiri manakala menyanyikan lagu kebangsaan. Lagi-lagi ini bu­kanlah tradisi Islam, tapi diambil dari tradisi orang-orang Persia (Majusi) dan Romawi (Kristen).

Seperti diisyaratkan dalam satu hadis riwayat Muslim, hadis nomor 413, dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata, “Rasulullah tengah menderita sakit, maka kami mengerjakan salat di belakang beliau semen­tara beliau mengerjakannya sambil duduk. Abu Bakar memperdengarkan takbir be­liau kepada para makmum. Beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami yang sedang berdiri. Maka, beliau meng­isyaratkan agar kami duduk, lalu kami pun duduk. Maka kami mengerjakan salat bersa­ma beliau sambil duduk. Setelah mengucapkan salam, beliau bersabda: ‘Hampir saja tadi kalian melakukan perbua­tan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri atas raja-raja mereka.

Dari hadis di atas sangat jelas bahwa terlarang untuk berdiri menghormati para pembesar, ataupun orang-orang yang diagungkan. Dan ini juga merupakan perbuatan para penguasa yang sombong dan para pejabat yang angkuh.

Juga penting untuk disimak apa yang ditulis Bukhari dalam al-Adaab al-Mufrad hadis nomor 977 dan al-Albani mengatakan, “Shahiih” dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa yang menyukai ham­ba-hamba Allah berdiri meng­hormatinya maka hendaklah ia menyiapkan rumahnya dalam neraka”.

Atau menurut lafaz Abu Daud dalam Sunan-nya hadis no­mor 5229 dan al-Albaniy me­nga­takan, “Shahiih” masih dari Mu’awiyah, Nabi bersabda: “Sesiapa yang menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaklah ia mempersiapkan tempat du­duknya dari api neraka.”

Ketiga, adanya nyanyian-nyanyian yang dibawakan dengan hymne (senandung), seperti dalam nyanyian hymne universitas setempat maupun hymne universitas sedunia. Padahal hymne itu sendiri dalam sejarah Yunani kuno selalu didentikkan dengan kegiatan sakral kepada para dewa dan juga diadopsi oleh gereja yang menjadikan nya­nyian dengan senandung ini sebagai bagian dari peribadatan mereka. Lebih-lebih lagi tat­kala para petinggi universitas memasuki dan meninggalkan ruangan diiringi oleh nyanyian tertentu—Gaudeamus Igitur. Tidak diragukan lagi bahwa, umat Islam dilarang untuk meniru-niru kebiasaan agama lain, apalagi hal itu merupakan bentuk peribadatan mereka.

Keempat, adanya suatu prosesi di mana pihak yang ditunjuk seperti rektor, guru besar, dekan atau pejabat perguruan tinggi lainnya me­min­dahkan jambul yang ada pada topi toga wisudawan/wati dengan posisi tertentu. Ini juga merupakan bukan tradisi Islam dan sangat jelas bahwa hal ini mirip dengan cara pem­ber­katan para pendeta dan juga Paus kepada jemaatnya, serta cara pemberkatan oleh para rabi Yahudi, seperti pem­berkatan pada para tentara Israel yang akan berperang dan men­jajah di Palestina.

Banyak hal tentang sere­monial wisuda yang mesti dibedah dengan kaca mata Islam. Namun dari empat hal sederhana di atas, sangat mudah dipahami bahwa seremonial wisuda seperti yang selama ini dikenal bukan berasal dari ajaran Islam, tidak pula dari tradisi keilmuan kaum mus­limin. Bahkan begitu terang lagi nyata semua hal itu meru­pakan kebiasaan-kebiasaan yang ada pada kaum bukan Islam. Terlihat dari sangat kentalnya unsur-unsur keagamaan dan tradisi kaum bukan Islam yang mengiringi rangkaian acara pada seremonial wisuda.

Untuk itulah, sudah sepatutnya bagi kaum muslimin untuk tidak mengikuti, meng­hadiri, atau terlibat dalam bentuk apapun dalam acara-acara sedemikian. Karena telah tetap pada agama Islam, seperti hadis Nab Shalallahu alaihi wasallam yang sudah sangat terkenal di semua lapisan masyarakat Islam bahwa, “Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum ter­tentu) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu”

Pun telah menjadi keteta­pan bahwa Islam menyerukan pemeluknya untuk menyelisihi dan berbeda dengan kaum-kaum sebelum mereka. Seperti kaum lelaki untuk meman­jangkan jenggot dan memen­dekkan kumis, kepada kaum wanita diperintahkan untuk mengenakan jilbab. Bahkan umat Islam juga dianjurkan berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) di mana orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari itu. Namun Islam memberikan kekhasan pada kaum muslimin agar mereka juga berpuasa pada hari setelah atau sebelumnya untuk me­nyelishi kaum bukan Islam tersebut.

Seyogyanya, wisuda sebagai luahan kegembiraan, sepatutnya dihiasi dengan penuh kesyu­kuran. Susah payah selama perkuliahan paling tidak terba­yarkan dengan gelar yang diraih. Tugas ke depan adalah bagaimana ilmu yang digeluti di bangku perguruan tinggi selama ini dapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Bukan malah dihiasi dengan sesuatu yang bertentangan dan melanggar nilai-nilai luhur agama Islam.

Mungkin inilah masa se­per­ti yang diisyaratkan oleh sebuah hadis dari Abu Sa’id Al Khudri dalam Shahiih al Bukhaariy, hadis nomor 7320, “Kalian pasti akan mengikuti cara-cara orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejeng­kal, sehasta demi sehasta.

Bah­kan jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun, kalian pasti akan mengikuti mereka’. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi?” .

WAHID MUNFARID

(Warga Kelurahan Cupak Tangah Kecamatan Pauh Padang)

(Reportase Islam/harianhaluan)
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin