Home » » Ibu, Aku Bukan Banci!!! (Lanjutan)

Ibu, Aku Bukan Banci!!! (Lanjutan)

Written By Anonim on Sabtu, 14 September 2013 | 14.44

Berikut lanjutan dari naskah buku karya Ummu Azzam Abdurrahman, berjudul lengkap, “Wahai Lelaki, Tegakkan Badanmu, Tatap Mata Ibumu dan katakan, Ibu, Aku Bukan Banci !!! Selamat mengikuti!
Ibunda Umar tidak pernah menghubungi sang putera lagi. Tidak juga mau dihubungi. Hanya email demi email berisi artikel tentang jihad yang dikirimkan untuk puteranya tercinta. Tanpa pesan dan sepatah kata pengantar apapun.
Demi Allah, bawa aku ke Afghanistan, aku ingin menjadi Syahidah di jalan Allah. Kalimat ibuku itu seperti petir menyambarku. Aku merasakan kemuakan yang kuat dalam diriku sendiri. Wajah-wajah para ibu yang begitu banyak yang telah menjadi korban penindasan oleh orang-orang kafir karena kelalaianku mulai terbayang-bayang di mataku. Aku seolah melihat dan merasakan tangan-tangan lemah mereka di dekat leherku.”
“Bawa aku ke Afghanistan” suara ibuku mengejutkanku kembali. Aku berkata kepada ibuku tercinta “ Ibu sayang, engkau tidak perlu pergi ke sana, aku siap berkorban atas namamu.”
Ibu menjawab dengan tegas, “Aku ingin melibatkan diriku sendiri.”
wanita tua itu turun ke medan tempur Jalalabad demi kejayaan Islam.
“Aku menemukannya berada di rumah sakit dan menurut para dokter, dia sudah berada di tahap akhir hidupnya. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku telah datang akan membawamu untuk Afghanistan. Mendengar ini, arus listrik langsung mengalir di tubuhnya dan semua sakit itu menghilang.”
“Hari berikutnya, aku benar-benar terkejut melihat bahwa ibuku yang hebat telah menjual semua properti dan perhiasannya untuk menginfakkannya kepada Mujahidin. Aku meninggalkan saudara-saudaraku menangis dan pergi bersama ibuku ke Peshawar.”
“Setibanya di Peshawar, ibuku semakin resah tidak sabar ingin segera mencapai front, medan tempur. Ketika aku meminta Amir untuk mengizinkan ibuku untuk berpartisipasi, sang Amir, pemimpin perang di sana memutuskan untuk berbicara sendiri kepada ibuku. Melihat Amir, ibuku menjadi amat sangat gembira dan menyerahkan semua uang kepadanya. Amir mengatakan kepada ibuku bahwa itu sudah lebih dari cukup baginya dan pergi ke front tidaklah sesuai untuknya. Ibuku tidak berani menentang Amir tetapi ibu menjadi amat bersedih. Sehingga ibuku pergi dan aku tetap tinggal dengan niat tetap di front selama sisa hidupku.”
“Hanya dalam waktu singkat berlalu, aku diberitahu bahwa ibuku sangat sakit dan menangis setiap saat karena kecintaan terhadap kesyahidan dan bahwa ibu telah sampai di Islamabad pada tanggal sekian dan sekian. Segera aku menyusulnya ke Islamabad. Keadaan emosional ibuku telah menyeretku ke dalam kegelisahan. Ibu berkata kepadaku bahwa saat ini dia datang untuk berkorban untuk kejayaan Islam dan tidak ada niat untuk kembali. Akhirnya aku membawa ibuku ke front Jalalabad. Ibuku sangat bahagia sehingga air matanya tidak berhenti bercucuran. Pada hari itu orang-orang kafir hatinya bergetar. Tangan-tangan lemah dari wanita tua ini nampak begitu kuatnya.”
“Kami tiba di front Jalalabad, salah satu kota di Afghanistan. Semua mujahidin muda mulai meneriakkan slogan-slogan antusias karena melihat ada seorang wanita tua datang bergabung dengan mereka berperang demi kejayaan Islam. Beberapa kenangan tidak akan pernah dapat kami lupakan. Mereka menjadi bagian dari sejarah….”
“Ibuku baru saja tiba di front ketika musuh-musuh Islam mulai menembakkan mortir-mortir untuk memadamkan cahaya Islam. Mereka yang mengambil bagian dalam jihad mengetahui bagaimana bahagianya momen seperti itu bagi seorang mujahid. Karena itulah para mujahidin membawa ibuku yang tua untuk melawan mereka yang menamakan dirinya “Super Power.”
“Ibuku mengucapkan Bismillah saat menempatkan mortir di meriam dan meneriakkan takbir Allahu Akbar setiap akan menembakkannya kepada musuh. Lima jam itu bagaikan bencana bagi orang-orang kafir. Seperti biasa, pesawat-pesawat Rusia membalas dengan membom daerah itu dengan pesawat-pesawat mereka. Oleh karena itu, semua mujahidin meninggalkan bunker mereka, tetapi wanita mujahidah kebanggaanku ini tetap berdiri gagah di tengah medan pertempuran. Ibu mengangkat tangannya untuk berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’la, “Ya Allah, karuniakan aku kesyahidan.”
“Saat itu ibu berdiri di sana berdo’a untuk memohon kesyahidan, kemudian dia berdo’a seperti ini, “Ya Allah, jika engkau tidak menuliskan kesyahidan dalam takdirku maka berikan aku sebuah luka di jalan-Mu. Aku tidak ingin bertemu dengan-Mu di hari Kiamat tanpa bekas apapun dari jihad.”
“Do’anya dijawab Allah, dan wanita hebatku ini mendapatkan hadiah cedera di jalan Allah dan dia kembali ke rumahnya dengan sangat bahagia.”
     Kisah tadi adalah kisah nyata tentang seorang muslimah Arab, seorang ibu yang kemudian menjadi seorang mujahidah hebat di Afghanistan demi membela Agama Allah ketika Uni Soviet atau Rusia menjajah tanah Khurasan, Afghanistan.
     Kisah itu diceritakan dalam Bahasa Arab oleh puteranya yang juga seorang Mujahid. Mungkin kisah ini sudah tidak terlalu up to date untuk sekarang ini karena sepertinya sudah terlalu banyak orang yang telah membaca membaca kisah tersebut. Tetapi semangat mengharukan dari kisah mujahidah ini tetap hidup hingga kini dan menjadi teladan abadi.
     Putera sang mujahidah mengawali kisahnya seperti ini, “Tinggal di Makkah, rumahku sangat dekat dengan Baitullah. Sangat dekat sehingga kami dapat mendengar adzan dengan sangat jelas. Sebelumnya aku selalu terinspirasi oleh orang-orang Barat dan jatuh menjadi korban propaganda mereka. Layaknya orang-orang Arab lainnya, yakni orang-orang Arab yang terjebak dalam kelalaian mengejar keindahan dan tipuan duniawi, aku tetap tuli terhadap tangisan manusia yang tertindas.”
     “Aku mengagumi gaya hidup orang kafir Barat, pendidikan mereka dan sebagainya. Setelah menyelesaikan pendidikanku, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan penerbangan dan aku memutuskan untuk tinggal di London. Setelah beberapa waktu di sana, aku kembali untuk menikah. Aku sedang sibuk mempersiapkan pernikahan pada saat temanku memberitahuku bahwa pertempuran antara Islam dan kufur telah dimulai di Afghanistan dan Soviet telah datang dengan semua kekuatan mereka untuk memadamkan cahaya Allah. Soviet membunuh dan merampok. Pada saat itu telah datang kewajiban bagi kaum muslimin untuk bersatu dan memerangi kekuatan kafir ini dan bersiap untuk jihad fi sabilillah.”
     “Aku terkejut mendengar kata-katanya. Aku telah buta dengan kemewahan dan pertempuran melawan orang-orang kafir bertentangan dengan pikiranku secara total. Bangsa yang telah menunjukkan kepada kita jalan kemajuan mengapa kita harus memeranginya? Aku mengatakan kepada teman mujahidku itu, ‘Mungkin engkau hanya sedang marah saja…’ dan kemudian aku kembali ke rumah dan menyampaikan berita ini kepada ibuku.”
“Saat aku menceritakan kepada Ibuku, aku memandang wajahnya. Aku terkejut melihat ibu menangis. Aku bertanya kepadanya mengapa ibu menangis. Ibuku berkata kepadaku dengan sedih. Dan selanjutnya kisahnya seperti sudah terurai tadi.”
     Ghirah perjuangan seperti yang dimiliki Al Khansa ibunda para syuhada yang sangat disegani karena keteguhannya menyerahkan apapun yang dicintainya untuk Islam, bahkan termasuk nyawa keempat puteranya. Tidak hanya manusia biasa, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun sangat menghormati dan mengagumi Al Khansa, khususnya dalam keahliannya bersyair tentang perjuangan.
Umar tergetar. Ibunya memulai sentilannya dengan kisah-kisah pejuang wanita. Ini sudah cukup membuktikan betapa Ibunya benar-benar marah karena dia tidak sejak awal bersegera ikut berjihad padahal dia seorang lelaki kuat yang sehat dan cerdas, kata Ibunya.
“Ibu lebih takut kalau kamu menjadi banci!” Kata-kata Ibunya itu sangat menyengat dan selalu terngiang-ngiang di telinganya. Betapa Ibunya sangat kecewa karena jagoan harapan satu-satunya dalam hal jihad kalah telak dibanding para wanita.
Umar mendadak menjadi sangat malu. Malu kepada Ibunya, terlebih kepada Rabbnya. Kewajiban seperti ini pun harus dipaksa Ibunya dulu baru masuk ke pikirannya. Dan lebih dzalimnya lagi, dia sempat menawar dan bahkan membantah perintah Ibu yang sangat dicintainya.
Bersambung…
Azza Jamilah Al-Mustaqbal Channel
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :
 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin