Syekh Abu Qotadah dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad perah mengatakan bahwa hendaknya orang-orang yang ingin menegakkan Islam melalui jalan parlemen dan demokrasi menghentikan lamunan mereka.
Beliau juga mengatakan, jika ada yang bertanya, ‘Sekiranya ditakdirkan bagi satu upaya perjuangan demokrasi bisa mengantarkan Islam ke tampuk kekuasaan, maka apakah ini berarti bahwa pemerintahan itu tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam?”
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Syekh Abu Qotadah menjelaskan bahwa Daulah Islam yang hilang tidak akan tegak dengan cara syirik ini (demokrasi). Orang-orang Islam demokrat itu hendaknya mengekang kendali lamunan mereka untuk bisa meraih kebaikan atau sebagiannya melalui jalan parlemen dan demokrasi.
Banyak alasan yang kemudian akan dilontarkan mengapa mereka berjuang melalui jalan parlemen dan demokrasi. Ringkas alasan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abu Qotadah, mereka akan masuk dalam permainan demokrasi karena rasa percaya diri mereka bahwa rakyat akan memilih mereka, maka meraka akan sampai pada posisi yang memberikan hak kepada mereka untuk mengubah konstitusi (negara). Padahal di sebuah parlemen sebuah front atau gerakan, merupakan campuran tidak sejenis, dimana masing-masing akan mengikuti pandangan dan pikirannya. Dalam front tersebut terdapat faktor-faktor kelemahan internal yang menjadikan mereka tidak mampu keluar dengan satu sikap pandang yang benar dalam menghadapi kasus-kasus yang timbul dan dalam menghadapi kendala rintangan.
Konstitusi Hasil Demokrasi Haram!
Lalu, kita lanjutkan perbincangan dengan mengulang pertanyaan, apakah jika sekelompok ummat sampai ke tampuk kekuasaan melalui cara demokrasi dan memberlakukan syari’at, maka apakah pemerintahan tadi menjadi pemerintahan Islam dengan cara tersebut?
Dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad, Syekh Abu Qotadah menjawab pertanyaan tersebut secara tegas, yakni TIDAK! Karena setiap hukum, meski bersesuaian dengan syari’at Islam dalam definisi dan sifatnya, tapi ia diwajibkan lewat jalan parlemen dan pilihan rakyat, maka ia sekali-sekali belum dikatakan sebagau hukum Islam, tapi ada adalah hukum thoghut kafir!
Mengapa demikian? Suatu hukum bisa menjadi syar’i dan Islami haruslah dilihat lebih dahulu elemen-elemen dasarnya. Elemen yang paling utama adalah melihat kepada pembuat hukum, siapa dia? Jika pembuat hukumnya adalah Allah, maka hukum itu adalah hukum Islam. Dan jika pembuat hukumnya adalah selain Allah, maka hukum itu adalah hukum thoghut kafir.
Maka dari itu, nilai-nilai akhlak yang benar yang didakwahkan oleh agama Nasrani tidak dianggap sebagai akhlak Islami, oleh karena si pembuat hukum bukanlah pihak yang membuat hukum syar’i. Jadi hukum syar’i memperoleh kekuatannya, oleh karena ia datang dari Dzat yang mempunyai hak untuk mengeluarkan peintah ini, dan Dia adalah Rabbul Alamin.
Supaya hukum itu menjadi hukum syar’i, maka sifat dan bentuknya pun harus syar’i, jika tidak, maka ia bukan hukum syar’i. Hukum yang berasal dari parlemen memperoleh kekuatan dari pemilik kedaulatan ala sistem demokrasi. Bisa jadi rakyat saja, dan bisa jadi rakyat dan rajanya atau amirnya (pemimpinnya). Hukum yang bersumber dari parlemen keluar dengan kalimat “Atas nama rakyat” atau “Keputusan para wakil parlemen”. Ia adalah hukum thoghut, memperoleh kekuatannya dari Tuhan yang batil.
Adapun hukum Islam, maka sumber datangnya adalah dengan kalimat “Bismillah”. Maka mereka yang mengkaji tentang pemberlakuan syari’at Islam melalui jalan parlemen, maka mereka harus merujuk kembali pada elemen-elemen dasar hukum syar’i, bagaimana hukum itu menjadi hukum Islam, dan bagaimana hukum itu menjadi hukum thoghut kafir?
Syekh Abu Qotadah menjelaskan dengan tegas, sesungguhnya hukum yang datang dari Dewan Perwakilan Rakyat atau parlemen tidak bisa dinamakan dengan hukum Islam, kendati ia bersesuaian dengan hukum syar’i dalam bentuk dan zhahirnya. Maka dari itu, jika Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan pengharaman khamer (alkohol) terhadap rakyat, maka ketetapan ini tidak dianggap sebagai hukum Islam kendati ia bersesuaian dengan syari’at Islam dalam bentuk larangan dan pengharaman khamer. Sebabnya ialah bahwa hukum syar’i tidak menjadi syar’i dan Islami kecuali apabila penentuan caranya adalah syar’i dan Islami!
Wallahu’alam bis showab!
M Fachry