Membagi demokrasi menjadi demokrasi ideologi dan mekanisme, tak pernah dikenal dalam sejarah ulama. Pembagian seperti itu bahkan tidak memiliki rujukan ulama salaf sama sekali.Bahkan mungkin ketika kita membaca sejarah lahirnya demokrasi (di buku-buku kaum kafir itu sendiri) secara berulang-ulang, pembagian seperti itu tak pernah diketemukan.Karena kata demokrasi ini adalah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya.
Dalam hal ini Ibnul Qayyim mengatakan dalam “Ahkamul Mufti” : “Seorang mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya, kalau ia tidak melakukannya maka ia akan sesat dan menyesatkan”. (I’lamul Muwaqqi’in IV/228)
Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud demokrasi adalah syuura (musyawarah) ataupun kemudian membagi seenak sendiri padahla yang membagi bukanlah pencetus dari istilah tersebut.
Karena demokrasi adalah istilah politik barat maka harus dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan hukumnya.
Hakikat Demokrasi
Arti demokrasi menurut para penganutnya adalah : kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnyaDisebutkan dalam Mausu’atus Siyasah : “Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan di tangan rakyat”. (Mausu’atus Siyasah tulisan Dr. Abdul Wahab Al-Kiyali II/756)
Yosep Frankl, seorang politikus barat berkata : “Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya atau berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.
Sedangkan definisi kedaulatan menurut John Bodn pada tahun 1576 M yang intinya : bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi berada di atas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh undang-undang, definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti kedaulatan yang dimaksud Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat”. (Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah tulisan Yosep Frankl, hal. 25)
Dari sini kita dapat sedikit ambil kesimpulan sementara bahwa, dalam demokrasi tidak ada kekuasaan tertinggi selain apa yang dikatakan rakyatnya.
Jauh Beda Mufakat Dalam Syuro Dengan Mufakat Dalam Demokrasi
Membagi Demokrasi dalam 2 bagian yaitu ideologi dan mekanisme , kemudian mendewakan “mekanisme” tak ubahnya upaya Huxley dan Helbert Spencer menuangkan ideologi darwin dalam mekanisme sosiologi,ilmu Metafisika oleh Hume; ilmu Hukum, Moral dan Politik oleh Bentham, Mill dan Hobbes,sepertinya halnya juga Marshal seorang sarjana Ekonomi yang tak cukup memuji Darwin dengan ideologinya saja tapi menerapkannya dalam “mekanisme” berekonomi.
Mekanisme demokrasi itu sendiri tidak boleh disamakan dengan syuro! Syuro adalah istilah syar’i, maka ada prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar sehingga bisa disebut sebagai syuro. Mufakat atau mencari kesepakatan di dalam sebuah syuro dibandingkan dengan mufakat dalam demokrasi, jauh berbeda bagaikan terangnya siang dan malam.
Dalam demokrasi suara ulama dan bajingan tidak ada bedanya, semuanya dapat duduk sama rata dalam satu tempat dan punya hak yang sama, mereka sama-sama memiliki Liberty (Kebebasan) & Equality (Persamaan) dalam penyampaian pendapat dalam urusan umat. Dalam demokrasi suara pak kyai dan pelacur adalah sama.tidak ada bedanya. yang menang tentu saja belum tentu suara kyai, bila pelacur dalam tempat demokrasi itu banyak tentu saja suara dari pelacur itulah yang menang. Dalam demokrasi seekor babi pun bisa menjadi presiden bila didukung suara terbanyak. Karena begitulah mekanismenya.
Lalu syuro manakah dalam sejarah umat islam yang pernah dilaksanakan sedemikian rupa seperti mekanisme demokrasi? Apakah mekanisme seperti itu yang dicuri dari umat islam?
Sudah kita ketahui bersama bahwa syuro punya mekanisme sendiri dan demokrasi pun begitu. Islam adalah haq sedang demokrasi adalah kebathilan.Maka janganlah dicampur-campur.
Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui,[ QS. Al baqoroh :42].
Memperindah kebathilan agar diminati banyak orang adalah pekerjaan syetan.
dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, (QS. An-Naml: 24)
Dalam Demokrasi nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah tidak dianggap, akan tetapi yang dianggap dan dijadikan acuan satu-satunya di dalam Demokrasi ini adalah hukum rakyat dan kedaulatannya dalam setiap permasalahan. Nash-nash yang sudah jelas dalam tempat itu masih diperdebatkan dan dipermasalahkan kemanfaatan dan kemadharatannya bagi ummat.Orang kafir dan beriman duduk dalam tempat duduk yang sama, derajat yang sama, saling bercengkerama, saling berwala’ karena punya kepentingan yang sama, saling bantu dan akan lunturlah dengan perlahan wala’ wal baro’.Bukankah Allah telah berfirman” Jangan jadikan MusuhKu dan musuhmu sebagai teman setia”(Al Mumtahanah ayat 1)
Wasilah Demokrasi, Wasilah Yang Kotor
Taruhlah sebuah contoh , keadaan seseorang yang ingin mencuci baju berniat agar bajunya bersih dan wangi, namun ia mecuci bajunya dengan cara memakai air comberan, kira-kira apa yang terjadi??
BAJU bukannya jadi bersih tapi bertambah kotor, kenapa?? karena salah menggunakan wasilah.
Ada baiknya kita renungi apa yang dikatakan sayyid Qutbh berikut:
“Sulit bagi saya membayangkan bagaimana mungkin kita akan sampai pada tujuan mulia dengan menggunakan wasilah (alat bantu/perantaraan) yang kotor. Tujuan yang mulia hanya akan hidup di dalam hati nurani yang mulia pula. Karenanya, bagaimana mungkin nurani yang mulia itu mau menggunakan wasilah busuk lagi kotor. Atau –yang lebih ironis lagi- bahkan mendambakan hidayah dan pertolongan Allah melalui wasilah busuk itu ?
Ketika kita telah tersesat dalam sebuah penyimpangan, sebagai dampak dari lumpur kesalahan yang kita lalui, maka tidak terelakkan lagi kita pasti akan berada dalam penyelewengan yang sangat kotor. Karena jalan yang penuh dengan lumpur pasti akan meninggalkan bekas kotor pada kaki orang-orang yang melewatinya. Demikian pula halnya dengan wasilah yang kotor, pastilah akan menimbulkan noda hitam yang akan terus menempel dan meninggalkan bekas kekotoran pada jiwa kita serta pada tujuan yang akan kita capai”.
“Panasnya pergolakan dan kecamuk pertarungan telah mendorong para aktifis dakwah sepeninggal Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam untuk terus merupaya menegakkan Risalah ini. Namun di sisi lain tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan berbagai wasilah, strategi dan metode yang melenceng dari kaidah dan manhaj dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Hal itu tidak lain disebabkan oleh ketergesa-gesaan dan ketidak sabaran untuk segera memperoleh kemenangan dan keberhasilan dakwah mereka.
Dengan demikian tidak selayaknya bagi para aktifis dakwah menjadikan hasil akhir sebagai tolok ukur dan tujuan utama dakwah mereka. Kewajiban mereka hanyalah menegakkan dakwah di atas manhaj yang lurus dan bersih dari berbagai penyimpangan, seraya bertawakkal dan menyerahkan seluruh hasil usaha yang telah dilakukan dengan penuh istiqomah kepada Allah Azza Wa Jalla wa Jalla. Jika ini telah dilakukan, niscaya kebaikan lah yang akan diperoleh, apapun hasil yang dicapai.
Ketahuilah bahwa satu-satunya bahaya yang harus terus diwaspadai oleh para aktifis dakwah adalah penyimpangan dari manhaj dakwah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan alasan apapun, sekecil apapun penyimpangan itu.
Karena sesungguhnya Allah lah yang lebih Mengetahui tentang mashlahat dibandingkan mereka. Sedangkan mereka tidak dibebani sama sekali untuk mewujudkan mashlahat itu. Mereka hanya diwajibkan atas satu hal saja : “agar tidak menyimpang sedikit pun dari Manhaj Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam dan tidak menyerah kalah lalu meninggalkan jalan dakwah yang penuh berkah ini. “
Lebih lanjut Sayyid Quthub menulis dalam bukunya “Ma’alim Fit Thariq” tentang arti dan hakekat kemenangan sejati :
“Kehidupan dunia yang diwarnai oleh berbagai macam keadaan dan suasana. Kenikmatan hidup, kesenangan, penderitaan, kebahagiaan memperoleh sesuatu, kekecewaan kehilangan sesuatu, bukanlah merupakan nilai yang paling mahal di dalam neraca timbangan. Kehidupan dunia lahiriah ini bukanlah merupakan faktor yang menentukan nilai menang atau kalah, untung atau rugi. Kemenangan hakiki bukanlah selama-lamanya berarti kemenangan lahiriah, yang nampak dipandang oleh mata kasar. Sebab kemenangan yang nampak disaksikan oleh mata kasar dan panca indera lahir itu hanyalah salah satu bentuk kemenangan saja. Padahal kemenangan itu amatlah beragam bentuknya.”
Maka kenapa yang mengaku islam dan ingin memperjuangkan syariat islam tidak Percaya Diri dengan apa yang dimilikinya, malah merasa rendah dengan apa yang dimiliki kaum kafir!?Allahumma Anta Rabbuna, farzuqnaa al istiqomah wasy syahadah
(Diolah dari tulisan akhi zidan al margahayuni / fanpage Malhamah Al Kubro)
--------------------------------