Islam adalah agama Tauhid, Islam mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada ALLAH, memurnikan ketaatan hanya kepadaNya, dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada ALLAH semata. Seorang Muslim haruslah beribadah hanya kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala sebagai konsekuensi dari ucapan syahadat laa ilaha illalloh yang mengandung makna menafikan tidak adanya yang berhak diibadahi dengan benar dan menetapkan hanya ALLAH subhanahu wa ta’ala lah yang berhak diibadahi. Jadi seorang Muslim dilarang beribadah kepada selain ALLAH subhanahu wa ta’ala, inilah yang disebut Tauhid Ubudiyah, apabila seseorang beribadah kepada selain ALLAH subhanahu wa ta’ala maka dia terjerumus kepada perbuatan syirik. Termasuk syirik pula apabila memalingkan hak rububiyah kepada selain ALLAH subhanahu wa ta’ala, dan yang termasuk hak rububiyah ALLAH subhanahu wa ta’ala adalah hak menciptakan, hak mengatur alam dan memberi rizki.
Ketahuilah bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampuni oleh ALLAH subhanahu wa ta’ala kecuali dengan bertaubat dan menjauhinya. Firman ALLAH subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu) dengan Dia dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan ALLAH, maka dia telah membuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’ : 48).
Pada bab ini akan disebutkan beberapa fenomena kesyirikan yang terjadi masyarakat petani, yang memang fenomena ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyeru kepada Tauhid. Padahal seharusnya seorang Muslim harus menjauhi fenomena-fenomena ini. Seorang petani dalam usahanya di lahan pertanian janganlah ia sampai melakukan hal yang terlarang di dalam agama walaupun dengan maksud memperoleh hasil yang baik. Jangan sampai dia berbuat syirik kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala. Namun masih ada fenomena kesyirikan yang dijumpai pada masyarakat petani, di antaranya adalah sebagai berikut:
Menentukan hari baik pada saat menanam atau memanen tanaman.
Sesungguhnya di sebagian masyarakat masih mempercayai adanya hari baik dan hari sial, begitu juga dengan masyarakat petani maka mereka akan menunda menanam atau memanen tanamannya apabila bertepatan dengan hari yang mereka anggap mengandung kesialan dan menunggu hari yang mereka sangka tidak mengandung kesialan.
Di dalam Islam disebutkan bahwa semua hari adalah sama yaitu baik semuanya, tidak ada pembagian hari menjadi hari baik dan hari sial. sesungguhnya hari tidak bisa memberi mudharat ataupun manfaat karena yang berkuasa memberi manfaat dan mudharat hanyalah ALLAH subhanahu wa ta’ala .
Sebagian kaum muslimin masih mempercayai adanya hari baik dan hari sial, bulan baik dan bulan sial, termasuk pada saat menentukan waktu menggarap sawah, waktu menanam dan waktu memanen. Kadangkala mereka mendatangi dukun, orang pintar, sesepuh adat ataupun peramal untuk meminta nasihatnya tentang penentuan hari tersebut. Ini adalah perbuatan “tathayyur” yang sangat dilarang dalam Islam dan termasuk kesyirikan. Islam tidak mengenal adanya hari sial. Firman ALLAH subhanahu wa ta’ala
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari ALLAH, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf : 131).
Tathayyur berasal dari perbuatan orang jahiliyah dan orang-orang musyrik (animisme dan dinamisme). ALLAH subhanahu wa ta’ala telah mengecam dan memurkai mereka. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melarang tathayyur dan memberitahukan bahwa hal itu adalah kemusyrikan. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorang pun di antara kita kecuali (telah terjadi di dalam hatinya sesuatu dari hal ini), Hanya saja ALLAH menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya.” [1]
Thiyarah yaitu menganggap sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar atau diketahui. Bisa juga berarti merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau apa saja. Seperti kepercayaan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan safar, atau juga menganggap sial dengan hari-hari tertentu.[2]
Diriwayatkan Imam Ahmad rohimahulloh dari Hadits Abdullah Ibnu Amr rodhiyallohu ,anhuma :
“Barangsiapa yang hajatnya dikendalikan oleh tathayyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan- mereka berkata: ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata: ‘Hendaknya orang itu berkata: “Ya ALLAH Ya TUHAN kami, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada tuhan selain Engkau.”[3]
Berkata Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh rohimahulloh: “Hadits ini mengandung pengertian, bahwa tathayyur tidak membahayakan orang yang membenci sikap tathayyur itu sendiri dan orang yang terus berjalan pada jalan-Nya. Adapun orang yang tidak memurnikan tawakalnya kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala dan selalu menyerah kepada syetan, maka dia akan merasa tersiksa dengan terjadinya kejadian yang ia benci, karena ia berpaling dari kewajiban iman kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala. Kebaikan semuanya ada di tangan-Nya, Dialah yang mendatangkan kebaikan kepada hamba-Nya dengan kehendak dan kemauan-Nya, dan Dia-lah yang menolak bahaya dengan takdir-Nya, kelembutan-Nya dan kebaikan-Nya. Maka tidak ada kebaikan kecuali dari-Nya dan Dia lah yang dapat menolak keburukan dari hamba-Nya. Keburukan yang menimpa seseorang hamba adalah karena dosanya, sebagaimana Firman ALLAH subhanahu wa ta’ala:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh dari ALLAH, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ : 79).”[4]
Maka jelaslah bahwa menganggap sial hari adalah sebuah kesyirikkan, hendaklah seorang petani memulai menggarap sawah, menanam dan memanen tanpa melihat hari apa, tanggal berapa ataupun bulan apa akan tetapi apabila sudah siap menggarap sawah, menanam dan memanen maka dia segera melakukannya tanpa takut dan memperhatikan hari. Sesungguhnya tidak ada hari sial ataupun bulan sial.
Mendatangi pawang hujan.
Sebagian petani apabila dihadapkan pada musim kemarau, maka mereka mendatangi pawang hujan agar hujan bisa turun dan menyirami tanamannya. Terkadang pada musim hujan mereka juga mendatangi pawang hujan untuk mencegah hujan misalnya terjadi pada petani padi apabila mereka akan memanen padi mereka mendatangi pawang hujan untuk menahan hujan agar mereka bisa menjemur padinya.
Ketahuilah bahwasanya yang menurunkan hujan adalah ALLAH subhanahu wa ta’ala, bukan pawang hujan. Begitu juga yang mengatur waktu turunnya dan kadar banyaknya adalah ALLAH subhanahu wa ta’ala bukan pawang hujan. Pawang hujan tidak mampu menentukan waktu turunnya hujan maupun kadar banyaknya hujan maka tidak selayaknya kita meminta bantuan kepada yang tidak mampu melakukan hal tersebut malah akan menjerumuskan kepada perbuatan syirik. ALLAH subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa Dia-lah yang menurunkan hujan, diantaranya firman ALLAH subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya ALLAH, hanya pada sissi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan.” (QS. Luqman : 34).
Dan firman-Nya:
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit.” (QS. Al An’am : 99) .
Adapun secara Syariat Islam apabila kita ingin meminta diturunkan hujan adalah dengan meminta kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala karena ALLAH lah yang mampu menurunkan hujan, di antaranya adalah dengan melaksanakan shalat istisqa yaitu shalat meminta hujan.
Ketahuilah bahwa dukun, peramal ataupun pawang hujan terkadang bisa tidak meleset (tepat) dan benar, tetapi sesungguhnya itu semua atas bantuan dan kerja sama dengan jin. Sesungguhnya itu terjadi karena kehendak ALLAH subhanahu wa ta’ala, jika ALLAH tidak menghendakinya maka tidak terwujud, buktinya begitu banyak dan lebih banyak ramalan yang meleset dan keliru. Adapun hikmah yang bisa diambil dari ramalan mereka yang benar ini adalah membuat si dukun ini dibiarkan dalam kesesatan (istidjroj). Mereka akan merasa berada di atas kebenaran padahal sesungguhnya mereka berada di atas kesesatan yang nyata. Sesungguhnya ini adalah jalan yang ia pilih (kesesatan) dan atas kemauannya sendiri. Hikmah yang kedua adalah menguji orang yang Islam tentang imannya, apakah dia akan tergoda dengan dukun dan peramal itu atau tidak.
Menaruh sesaji untuk dewi sri dan sedekah bumi.
Sesungguhnya perbuatan ini masih banyak dilakukan oleh sebagian para petani. Sebagian mereka mengatakan bahwa mereka menaruh sesaji atau sedekah bumi itu agar penjaga ataupun penguasa di daerah (sawah) tersebut tidak mengganggu para petani dan tanaman mereka hasilnya baik. Dan sesungguhnya ini adalah suatu kesyirikkan yang nyata.
Sesungguhnya yang berkuasa di alam ini adalah ALLAH subhanahu wa ta’ala dan ALLAH lah yang berkuasa atas segala sesuatu baik itu di rumah, di sawah maupun di mana saja. ALLAH subhanahu wa ta’ala lah yang berkuasa atas diri kita dan tanaman dan sawah kita.
Dan meletakkan sesaji maupun sedekah bumi juga dilakukan oleh petani dengan alasan sebagai wujud syukur kepada makhluk/penunggu sawahnya tersebut atas keberhasilan petani sehingga bisa panen. Ada juga yang maksudnya agar petani tersebut terhindar dari murka makhluk/penunggu sawahnya. Ini juga suatu kesyirikan, dan termasuk meminta bantuan kepada jin.
firman ALLAH subhanahu wa ta’ala :
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa orang laki-laki dari kalangan jin maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin : 6).
Sedangkan apabila mereka mempersembahkan sesaji atau sedekah bumi ini berupa daging maka ini termasuk perbuatan dosa besar yaitu menyembelih untuk selain ALLAH subhanahu wa ta’ala. Dari Ali bin Abu Thalib radliyallahu 'anhu, dia berkata:
” Rosululloh telah menuturkan kepadaku empat kalimat, ‘ALLAH melaknat orang yang menyembelih binatang dengan berniat bukan kepada ALLAH; ALLAH melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya; ALLAH melaknat orang yang melindungi pembuat hal-hal yang baru (bid’ah); dan ALLAH melaknat orang yang merubah batas tanah.”[5]
Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh rohimahulloh menerangkan makna menyembelih kepada selain ALLAH subhanahu wa ta’ala: ‘Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Firman ALLAH “Dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain ALLAH. ” (QS. Al-Baqarah : 173). Makna zhahir ayat ini adalah binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain ALLAH subhanahu wa ta’ala, seperti berkata, ‘Ini adalah sembelihan untuk ini.’ Jika ini yang dimaksud maka mengucapkannya atau tidak mengucapkannya adalah sama saja.” [6]
Demikianlah orang yang menyembelih kepada selain ALLAH subhanahu wa ta’ala adalah dilihat dari maksud penyembelihannya dimaksudkan untuk apa, kalau dia memaksudkan untuk dipersembahkan kepada penunggu ataupun jin maka meskipun pada waktu penyembelihan dia mengucapkan nama ALLAH subhanahu wa ta’ala ataupun tidak maka dia tetap masuk dalam hadits diatas. Laknat ALLAH pada hadits di atas adalah jauhnya dari rahmat ALLAH subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah bahwasanya selain ALLAH subhanahu wa ta’ala tidak ada yang mampu memberi manfaat dan menolak bahaya entah itu keris, jimat, batu besar, pohon dan yang lainnya. Bahkan seperti hajar aswad saja tidak bisa memberi manfaat dan mencegah bahaya apalagi benda-benda yang lain. Sebagaimana perkataan Umar bin Khatab rodhiyallohu ‘anhu ketika mendatangi hajar aswad dan menciumnya, seraya berkata:
“Sesungguhnya aku tahu bahwasanya engkau hanya sebongkah batu, tidak bisa menimpakan mudharat dan memberi manfaat, dan sekiranya aku tidak melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu.”[7]
[1] HR. Abu Dawud no.3910, Imam Bukhari dalam adabul mufrad (Shahih Adabul Mufrad no.698), Imam Tirmidzi no.1614, Imam Ahmad 1/389, 438,440, Imam Ibnu Majah no. 3538, Imam Ibnu Hibban (no.1427-Mawarid), dan Imam Hakim 1/17 dari sahabat Ibnu Mas’ud ra.
-----------------------------------
GRUP PEMBELA TAUHID - IV