Membantah Penyesatan Irfan S Awwas
Yang Disebarkan Oleh Situs Arrahmah.com
Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga senantias tercurah untuk Rasulullah, beserta keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau
Situs arrahmah.com yang dulu adalah situs yang giat suarakan tauhid dan jihad, sehingga menghantarkan pemiliknya masuk penjara, akhir-akhir ini sangat giat melakukan pengkaburan dan penyesatan pemahaman umat terhadap tauhid ini, dimulai dari syubhat-syubhat yang selalu diluncurkan Muhib Al Majdi yang selalu menetapkan kaidah-kaidah untuk mengislamkan para thaghut dan kaum musyrikin, disusul pembelaan Irfan S Awwas terhadap keislaman dua musuh besar Islam yaitu Taufiq Kemas dan Megawati yang sangat anti Islam lagi pimpinan partai sekuler sosialis Marhaen (PDIP), di mana Irfan mengukuhkan keislaman keduanya sebagaimana yang dimuat oleh arrahmah.com dan bahkan Irfan S Awwas menyayangkan keluarga Taufiq Kemas yang tidak memberikan kesempatan tetangga menshalatkannya!!! Disusul kemudian oleh postingan yang memuat tulisan Abu Rabbaniy yang menjelek-jelekkan para muwahhidin mujahidin seraya menyamakan peranan manhaj tauhid dan jihad itu dengan jama’ah-jama’ah bid’ah lainnya.
Dan sekarang ini arrahmah.com juga kembali menampilkan serial penyesatannya dan keberbalikan arahnya, berupa postingan Pandangan Majelis Mujahidin tentang Demokrasi. Di mana dikatakan di dalamnya bahwa “Di dalam Majelis Mujahidin demokrasi dibagi dua. Demokrasi sebagai ideologi dan demokrasi sebagai mekanisme.
Kalau sebagai ideologi kita jelas mengatakannya itu musyrik tetapi sebagai mekanisme bisa saja, itu mubah saja. Yang mau menggunakannya silahkan asal komitmennya jelas untuk kepentingan Islam. Meninggikan Islam bukan untuk merendahkan Islam,” papar Ustadz Irfan.
Di mana secara tegas Irfan membolehkan memasuki sistim Demokrasi dengan tujuan penegakkan Islam. Padahal Demokrasi itu adalah tetap Demokrasi. Demokrasi, yaitu hukum rakyat, kedaulatan rakyat dan kekuasaan rakyat, di mana ajaran-ajaran Demokrasi adalah:
Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dankratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi Demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
- Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat,
- Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan,
- Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat,
- Kebenaran adalah suara terbanyak,
- Tuhannya banyak dan beraneka ragam,
- Persamaan hak.
Ajaran-ajaran Demokrasi atau dien (agama) Demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin, yaitu Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut Demokrasi sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien(agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan Demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja… akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sedangkan Islam adalah dien kaum muslimin, dan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.
Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam.
1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat.
Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah – pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa Demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)
Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah menentukan, DiaSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الأولَى وَالآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَلا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٨٧) وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)
Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyahserta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)”
Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…?
Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…?
Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis.
Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14)
2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan.
Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.
Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
إ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44)
Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu”
Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar…
Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Allah vonis musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi.
Oleh sebab itu para ulama telah ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari Syari’at Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nasrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.
Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [5]: 49)
Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang diturunkan Allah”.
Dalam ajaran demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)
Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan Demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)
Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan:
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (٤٨) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (٤٩) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50)
Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?
Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)
3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat.
Demokrasi adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Nasrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.
Dari itu berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”.
Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman. Begitu juga dien Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.
Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.
Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya.
Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah… namun dien Demokrasi tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya.
Allah dan Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.
Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi… Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah… bukan kebebasan Tauhid…!
4. Kebenaran adalah suara terbanyak.
Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid.
Oleh karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nyashalallahu ‘alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang padahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)
Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’alamelalui lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS. Al Qashash [28]: 68)
Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah.
Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal AllahSubhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)
Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
Mayoritasnya tidak beriman…
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
Mayoritasnya benci akan kebenaran…
وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)
Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَشْكُرُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbaab) dalam agama Demokrasi; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan.
Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!
أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…”(QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah… maka apakah kamu tidak berakal…??!
5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam.
Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbaab) selain Allah.
Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.
Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan). Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai arbaab, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim -saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam-, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. (Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Orang Yang Mentaati Ulama Dan Penguasa Dalam Mengharamkan Apa Yang Allah Haramkan Atau (Dalam) Menghalalkan Apa Yang Allah Haramkan Maka Ia Telah Menjadikan Mereka Sebagai Arbaab Selain Allah”. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepadathaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.
Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”
Dan dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen Agama RI: “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu”. Maka ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!! Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum atau aturan atau undang-undang adalah dien.
Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin yang mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin: “Kalian makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.
Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahmatullahberkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”
Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…
6. Persamaan Hak
Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)
Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…
لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?”(QS. As Sajdah [32]: 18)
Dan ayat-ayat lainnya…
Itu adalah Demokrasi dan itulah realita dan itu juga maknanya, dan itu jelas kemusyrikan, dan orang yang masuk ke dalam sistim Demokrasi mau tidak mau dia harus mengikuti dan menyetujui jalur itu, sedangkan itu adalah kekafiran dan bentuk tawalliy kepada kekafiran dan orang kafir. Karena ketika seseorang mengikuti kekafiran atau menyetujui sistim kafir maka dia kafir walaupun niatnya baik atau hatinya membenci kekafiran itu kecuali kalau dia itu dipaksa dengan penyiksaan. Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata di dalam kitab Hukmu Muwalaati Ahlil Isyrak berkata: Ketahuilah semoga Allah merahmatimu bahwa orang bila menampakkan sikap setuju kepada kaum musyrikin terhadap dien (agama/hukum/ideologi) mereka karena takut dari mereka dan karena lemah lembut untuk mencari simpati mereka serta karena basa basi kepada mereka dalam rangka menghindari kejahatan mereka, maka sesungguhnya dia itu kafir sama seperti mereka walaupun tidak menyukai dien mereka dan membenci mereka serta walau dia mencintai Islam dan kaum muslimin…” Kemudian beliau menyebutkan 20 ayat dan satu hadits untuk hal ini, dan beliau menyebutkankan di antaranya:
Dalil pertama:
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al Baqarah: 120).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani dan begitu juga kaum musyrikin tidak akan senang kepada Nabishalallaahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau mengikuti ajaran mereka, dan bersaksi bahwa mereka itu berada di atas kebenaran, kemudian AllahSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠
“Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Dan dalam ayat lain:
وَلَئِنۡ أَتَيۡتَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ بِكُلِّ ءَايَةٖ مَّا تَبِعُواْ قِبۡلَتَكَۚ وَمَآ أَنتَ بِتَابِعٖ قِبۡلَتَهُمۡۚ وَمَا بَعۡضُهُم بِتَابِعٖ قِبۡلَةَ بَعۡضٖۚ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ إِنَّكَ إِذٗا لَّمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٤٥
“Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu -kalau begitu- Termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 145)
Bila saja Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam seandainya beliau menyetujui mereka atas ajarannya itu secara dhahir saja tanpa disertai keyakinan hati, akan tetapi karena takut akan kejahatan mereka dan karena basa-basi (mudahanah), maka beliau itu tergolong orang-orang yang zalim (kafir). Maka apa gerangan dengan orang yang menampakkan terhadap ‘ubbadul qubur wal qubaab bahwa mereka itu berada di atas kebenaran dan jalan yang lurus? Dan memang mereka itu tidak bakal rela kecuali dengan hal itu.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Sesungguhnya engkau mengetahui bahwa Allah telah menurunkan kepada Rasul-Nya
وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar: 65)
Padahal mereka (orang-orang musyrik) itu membujuk beliau untuk mengucapkan satu ucapan atau melakukan suatu perbuatan sekali saja, dan mereka menjanjikan kepada beliau bahwa hal itu akan menggiring mereka untuk masuk Islam. Bila engkau telah mengetahui bahwa manusia paling ikhlas dan paling banyak kebaikannya seandainya beliau mengucapkan ucapan kemusyrikan padahal hatinya benci terhadap ucapan itu supaya bisa menggiring orang lain masuk Islam adalah hapus amalannya dan menjadi tergolong orang-orang yang rugi, maka bagaimana dengan orang yang menampakkan bahwa dirinya itu bagian dari mereka dan mengucapkan seratus ucapan (kemusyrikan)…” (Majmu’aturrasail Wal Masail An Najdiyyah: 4/10-11).
Jadi bila Rasulullah saja menampakkan setuju dengan kekafiran secara dhahir dan hatinya tetap membencinya dan beliau lakukan hal itu demi tegaknya Islam dan mashlahat adalah tidak boleh dan justeru amalannya menjadi hapus dan menjadi orang yang rugi, maka bagaimana Irfan S Awwas mengatakan bahwa itu boleh dengan alasan untuk penegakkan Islam.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: Keadaan kedua: Dia menyetujui mereka secara dhahir namun bathinya menyelisihi mereka sedangkan dia tidak berada dalam pemaksaan mereka… maka sesungguhnya dia pada keadaan seperti ini adalah menjadi murtad, dan kebenciannya secara bathin kepada mereka itu tidaklah manfaat baginya, dan dia itu tergolong orang-orang yang Allah firmankan:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا عَلَى ٱلۡأٓخِرَةِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ١٠٧
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir” (QS. An Nahl: 107)” (Kitab Bayan Annajah Wal Fikak, Majmu’atuttauhid: 208).
Maka bagaimana Irfan menyatakan bahwa itu boleh asal tidak manjadikannya sebagai ideologi, yaitu kalau sekedar mekanisme adalah boleh saja. Padahal yang diinginkan orang-orang kafir itu bukan perubahan keyakinan tapi sekedar mengikuti atau menyetujui kekafiran Demokrasi itu. Sedangkan menyetujui kekafiran atau mengikutinya tanpa paksaan adalah kekafiran walaupun niatnya baik, karena niat baik itu tidak bisa merubah syirik menjadi baik.
Al Imam Jalaluddin as Sayuthiy rahimahullah berkata di dalam Kitabnya Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul:
أخرج ابن مردويه و ابن أبي حاتم من طريق ابن إسحاق عن محمد بن أبي محمد عن عكرمة عن ابن عباس قال: خرج امية بن خلف و أبو جهل بن هشام و رجال من قريش. فأتو رسول الله صلي الله عليه وسلم فقالو: يا محمد، تعل تمسّح بالهتنا وندخل معك في دينك وكان يحب إسلام قومه، فرقّ لهم، فأنزل الله: “<<وَإِن كَادُواْ لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً وَلَوْلاَ أَن ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً إِذاً لَّأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا>> قلت: هذا أصح ما ورد في سبب نزولها. وهو إسناد جيد وله شاهد.
وأخرج أبو الشخ عن سعيد بن جبير قال: كان رسل الله صلي الله عليه وسلم يستلم الحجر فقالوا: لا ندعك تستلم حتي تلم بألهتنا. فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: وما عليّ لو فعلت والله يعلم خلافه؟ فنزلت
“Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim mengeluarkan dari jalur Ibnu Ishaq dari Muhammad Ibnu Abi Muhammad dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas berkata: Umayyah Ibnu Khalaf, Abu Jahl Ibnu Hisyam dan sejumlah tokoh dari Quraisy keluar dan terus mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata “Hai Muhammad, mari kesini kamu usap tuhan-tuhan kami dan (nanti) kami masuk bersama kamu di dalam agamamu.” Sedangkan beliau ini menginginkan keislaman kaumnya, maka beliau iba terhadap mereka, maka Allah menurunkan: “Dan mereka hampir memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami; dan jika demikian tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia. Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir condong sedikit kepada mereka, jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al Isra: 73-75) Saya berkata: Ini adalah atsar yang paling shahih yang ada tentang sebab nuzul ayat itu, dan ia adalah isnad jayyid (sanad yang bagus) dan ia memiliki atsar penguat.
Abu Asy Syaikh mengeluarkan dari Sa’id Ibnu Jubair, berkata: Adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar (aswad), maka mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Kami tidak akan membiarkan kamu mengusap (hajar aswad) sampai kamu memeluk tuhan-tuhan kami,” maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak ada masalah seandainya saya melakukan (hal itu) sedangkan Allah mengetahui dari saya penyelisihannya.” Maka ayat itu turun.
Di dalam sebab nuzul ayat-ayat di atas para pembesar Quraisy memberikan tawaran, janji, dan jaminan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tapi dengan syarat yang harus ditunaikan oleh beliau. Yaitu mereka menjanjikan akan masuk Islam tapi dengan syarat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengusap berhala-berhala mereka, dan karena sangat inginnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keislaman mereka yang akan berdampak kepada keislaman bangsa Quraisy karena yang menjanjikan janji tadi adalah para pemuka Quraisy, maka hampir saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti tawaran tersebut dengan anggapan bahwa hati beliau tetap bersih dan mengingkari dan Allah ta’ala mengetahui pengingkaran hatinya itu. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat tersebut yang mengecam bisikan hati itu dan mengancam andaikata bisikan hati itu direalisasikan.
Allah ta’ala menyatakan bahwa hampir saja orang-orang kafir itu memalingkan Rasulullah dari ajaran Allah, yaitu sekedar mengusap berhala secara dhahir sedangkan bathin mengingkari dengan tujuan meraih mashlahat dakwah berupa keislaman mereka, padahal pengusapan berhala itu bukanlah syirik akbar tapi perbuatan yang haram.
Dan Allah ta’ala mengatakan “agar Engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami”, yaitu bahwa tindakan mengusap berhala itu akan mengundang pertanyaan para sahabat kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu padahal perbuatan itu dilarang oleh Allah ta’ala, maka hal itu mendorong Rasulullah untuk mencari alasan untuk melegalkannya, dan itu adalah berdusta atas nama Allah atau mengada-ada yang lain terhadap Allah ta’ala.
Kemudian firman-Nya ta’ala, “dan jika demikian tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia”, maksudnya andaikata Rasulullah melakukan apa yang mereka inginkan berupa pengusapan berhala walaupun hatinya mengingkari, tentulah orang-orang kafir itu memberikan kepercayaan, kedudukan dan jabatan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamkarena beliau telah mengikuti ajaran dan tawaran mereka.
Kemudian di dalam ayat-ayat berikutnya Allah ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang telah meneguhkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamsehingga tidak cenderung kepada mereka dan tidak mengikuti tawaran mereka. Dan Dia ta’ala mengancam bahwa andaikata beliau mengikuti tawaran mereka itu, tentu Allah memberikan lipatan adzab di dunia dan di akhirat.
Bila ini adalah ancaman dan kecaman serta vonis bagi sekedar menerima syarat pengusapan berhala yang bisa dilakukan di dalam hitungan menit atau detik dengan ada jaminan dari para pemberi syarat bahwa mereka akan masuk Islam setelahnya, dan itupun bisa dilakukan secara dhahir saja sedang hati mengingkarinya. Maka lebih dasyat dari itu dalam hal ancaman, kecaman, dan vonis adalah orang-orang yang mengklaim sebagai aktivis Islam yang mana mereka menerima tawaran para thaghut untuk masuk di dalam sistim syirik Demokrasi yang sudah jelas kemusyrikan dan kekafirannya tanpa ada jaminan dari para thaghut itu untuk komitmen dengan penegakkan hukum Islam. Bahkan justru para aktivis (baca: penjual agama) itulah yang memberikan jaminan kepada para thaghut itu untuk tetap komitmen dengan jalan demokrasi, komitmen dengan UUD 45 dan Pancasila, yang mana itu adalah syarat yang ditetapkan para thaghut bagi semua partai politik yang masuk di dalam kancah demokrasi dan pemilu sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Partai Politik, dan silahkan lihat kewajiban partai politik di sana!
Kalau mereka berkilah bahwa hati mereka benci dengan demokrasi dan cinta kepada Islam, maka klaim itu tidak bermanfaat sebagaimana kebencian kepada berhala quraisy tidaklah bermanfaat bila dhahir badan mengusap atau memeluk berhala itu. Sebagaimana tujuan baik yang diklaim oleh orang-orang yang masuk ke dalam kancah demokrasi juga tidak bermanfaat, seperti tidak manfaatnya tujuan baik yang diinginkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu keislaman Quraisy, dari pengusapan berhala itu. Karena islam itu adalah dien yang suci yang tidak melegalkan segala macam cara sebagaimana agama mashlahat dakwah yang dianut para aktivis penjual agama itu. Ini dikarenakan tujuan yang baik itu tidaklah bisa melegalkan hal yang dilarang, tapi hal yang dilarang itu hanyalah menjadi boleh dengan dalil khusus, dan dalam hal kemusyrikan dan kufur akbar hanyalah dibolehkan dalam kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya:
إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ
“… kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan iman.”(QS. An-Nahl: 106)
Al Imam Su’ud Ibnu Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata: Barangsiapa memalingkan sesuatu dari hal itu kapada selain Allah, maka dia itu musyrik, baik pelakunya itu ahli ibadah maupun orang fasiq, dan sama saja niatnya itu baik ataupun rusak.” (Ad-Durar as Saniyyah: 9: 270)
Sedangkan Demokrasi itu adalah pemalingkan ibadah atau hak khusus Allah yaitu penetapan hukum kepada selain Allah ta’ala.
Kemudian sebagaimana andai kata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallammengikuti tawaran penyentuhan berhala, maka hal itu akan menggiringnya untuk berdusta dan mengada-ada yang lain terhadap Allah, maka sesungguhnya para aktivis penjual agama yang telah masuk mengikuti tawaran thaghut yang menawarkan jalur Demokrasi, adalah telah benar-benar berdusta atas nama Allah dan mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala dalam rangka melegalkan cara mereka itu. Terkadang menyamakan perbuatan syirik mereka itu dengan jabatan Nabi Yusuf‘alaihissalam atau dengan posisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Hilful Fudlul, kadang menamakannya sebagai syura dan pelegalan-pelegalan lainnya yang justru menambah kekafiran mereka itu. Padahal sesungguhnya berdusta atas nama Allah itu adalah dosa kekafiran yang lebih tinggi dari syiriknya itu, sebagaimana urutan dosa yang Allah ta’ala sebutkan di dalam firman-Nya:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah (Muhammad): “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu berkata atas Nama Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al A’raf: 33)
Mereka dengan segala syubhat dan dalih yang mereka utarakan itu ingin menetapkan suatu hukum syar’i, yaitu bahwa masuk ke dalam sistim Demokrasi itu adalah halal dan boleh di dalam ajaran Allah ta’ala dan bahkan sangat baik karena telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf‘alaihissalam dan dipuji oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hiful fudlul-nya dan bahkan dianjurkan oleh Allah ta’ala di dalam firman-Nya:
وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِ
“Dan ajaklah mereka bermusyawarah di dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran : 159)
Bukankah demikian kelaziman pendapat kalian wahai para penjual agama saat kalian berdalih dengan alasan-alasan di atas untuk melegalkan tindakan kalian masuk ke dalam demokrasi itu?!!!
Sungguh tidak berdalih dengan kisah Yusuf ‘alaihissalam, hilful fudlul dansyura untuk melegalkan sikap masuk ke dalam parlemen demokrasi kecuali orang murtad lagi zindiq.
Kemudian sebagaimana andaikata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallammengikuti tawaran mereka, maka mereka akan menjadikan beliau sebagai teman yang setia dengan diberikan posisi dan jabatan. Maka itulah realita ayat pada masa sekarang, dimana para aktivis Islam yang dahulu berseberangan dengan thaghut RI ini, setelah mereka melebur dengan ajaran thaghut dan masuk di dalam Parlemen Demokrasi, maka para thaghut pun membuka jalan dan mempersilahkan mereka untuk menjabat posisi lumayan penting, seperti Ketua MPR, Menteri, Gubernur, Walikota, dan yang lainnya. Inilah realita ayat, ”dan jika demikian tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia.” (QS. Al Israa: 73). Sehingga dengan menerima tawaran thaghut itu mereka bisa nyaman, sejahtera dan tentram menikmati (hasil) kekafirannya berupa gaji besar dan fasilitas jabatan.
وَجَعَلَ لِلَّهِ أَندَادٗا لِّيُضِلَّ عَن سَبِيلِهِۦۚ قُلۡ تَمَتَّعۡ بِكُفۡرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِ ٨
“Dan dia menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu dengan kekafiran itu untuk sementara waktu. Sungguh kamu termasuk penghuni neraka.” (QS. Az Zumar: 8)
Allah ta’ala tidak meneguhkan hati mereka di saat mendapat tawaran thaghut sehingga mereka benar-benar larut dan sangat cenderung kepada tawaran thaghut yang menggiurkan, ini dikarenakan mereka menyimpang dari manhaj yang benar dan berpaling dari hujjah yang nyata, sehingga Allah-pun menyesatkan hati mereka.
فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٥
“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasiq.”(QS. Ash-Shaff: 5)
Dan Allah ta’ala kuasakan syaitan terhadapnya yang menghiasi perbuatan buruk mereka dengan hiasan yang baik, sehingga mereka merasa bahwa merekalah yang benar.
وَمَن يَعۡشُ عَن ذِكۡرِ ٱلرَّحۡمَٰنِ نُقَيِّضۡ لَهُۥ شَيۡطَٰنٗا فَهُوَ لَهُۥ قَرِينٞ ٣٦ وَإِنَّهُمۡ لَيَصُدُّونَهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ ٣٧
“Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Ar Rahman, Kami biarkan syaitan menyesatkannya, dia menjadi teman karibnya. Dan sungguh mereka (syaitan-syaitan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az Zukhruf : 36-37)
Sehingga kecenderungan kepada dunia itu telah menutupi cahaya ilmu yang selama ini dimiliki sebagian mereka, yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai cerminan Bul’am Ibnu Ba’ura masa kini.
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦
“Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 175-176)
Itulah kecenderungan kepada dunia yang telah menghantarkan Bul’am masa dulu dan Bul’am-Bul’am masa sekarang kepada status hina seperti anjing yang rakus, dimana peringatan ayat-ayat Allah tidaklah membuat mereka menarik diri dari kecenderungannya kepada dunia dan kemudahannya. Sebagaimana peringatan lemparan batu tidak membuat si anjing menarik lidahnya yang menjulur. Itulah perumpamaan bagi para penjual agama, bahkan sebenarnya anjing masih lebih baik daripada mereka, dimana hasil buruan anjing masih halal dan bisa dimakan, dan sedangkan sembelihan mereka adalah tidak halal karena sembelihan orang murtad.
Lajnah Syar’iyyah Jama’ah Tauhid Wal Jihad di Ghaza mengatakan: “Dikatakan kepada para da’i yang terpedaya dengan jalan Demokrasi ini: Bagaimana kalau seandainya kalian telah sampai kepada kekuasaan, maka apakah kalian akan menghapuskan Demokrasi dan melarang berdirinya parta-partai sekuler? Padahal kalian ini di awal telah bersepakat dengan partai-partai lain bahwa pemerintahan itu akan berbentuk Demokrasi yang memberikan kesempatan bagi semua partai untuk berperan serta secara aktif. Bila kalian mengatakan: Kami akan menghapuskan Demokrasi dan akan melarang berdirinya partai-parta itu, maka ini adalah pengkhianatan dari kalian dan pelanggaran terhadap perjanjian walaupun pada dasarnya perjanjiannya itu adalah bathil, sedangkan Allah Ta’ala berfirman:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوۡمٍ خِيَانَةٗ فَٱنۢبِذۡ إِلَيۡهِمۡ عَلَىٰ سَوَآءٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡخَآئِنِينَ ٥٨
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (QS. Al Anfal: 58)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dipasang panji di hari kiamat bagi setiap pelanggar janji.” (Al Bukhariy), dan adapun hadits:“Perang itu khud’ah (tipu daya),” (Al Bukhari), maka itu sama sekali bukan tergolong pengkhianatan janji. Dan bila kalian mengatakan: Kami akan memerintah dengan berdasarkan sistim Demokrasi dan mempersilahkan berdirinya parta-partai,” maka ini sama sekali bukan pemerintahan Islam.
Semoga Allah ta’ala memberikan ‘afiyah bagi agama dan dunia kita….
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, dan segala puji hanya bagi Allah.
2 Dzul Qa’dah 1434 H / 08 September 2013
(Abu Sulaiman Al Arkhabily, KK-NK)
* * *