Syekh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy dalam bukunya Syirik Demokrasi yang dialih bahasakan oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, membongkar syubhat-syubhat yang sering digunakan oleh mereka yang mengadopsi syirik demokrasi untuk memperjuangkan Islam.
Salah satu syubhat, yakni syubhat yang keempat adalah Siapa Yang Mengkafirkan Orang Islam Maka Dia Telah Kafir. Berikut penjelasannya yang telah diringkas. Semoga bermanfaat!
Saat ini orang-orang, khususnya para pembela aparat hukum, dan ansharut thoghut, sering berkata : sesungguhnya takfir adalah masalah yang berbahaya, karena Rasulullah saw berkata : “Siapa yang mengkafirkan orang Muslim, maka dia telah kafir.”
Bahkan, ada yang lebih parah, dengan mengatakan : Tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir dari kedua orang tuanya yang kafir.
Sesungguhnya, yang benar adalah : takfir (mengkafirkan) itu secara muthlaq bukanlah hal yang berbahaya lagi tercela, akan tetapi yang tercela dan berbahaya adalah mengkafirkan orang Muslim dengan sekedar hawa nafsu dan sekedar “ta’ashub” golongan tanpa dalil syar’i.
Dan ketauhilah, bahwa tidak semua kufur itu tercela sebagaimana tidak semua iman itu terpuji. Iman kepada thoghut tentu saja diharamkan dan syirik, adapun iman yang wajib adalah kepada Allah.
Begitu juga kufur, ada yang wajib lagi terpuji seperti kufur kepada thaghut (ini wajib) dan yang tercela adalah kufur kepada Allah, ayat-ayatNya dan dienNya. Dan sebagaimana mengkafirkan orang Muslim tanpa dalil syar’i adalah masalah yang berbahaya, maka begitu juga menghukumi orang musyrik atau orang kafir dengan keIslaman lalu memasukkan ke dalam ukhuwah Islamiyyah, juga sangat berbahaya dan kerusakan yang maha besar.
Allah swt., berfirman : “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain, Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” QS Al-Anfaal : 73)
Adapun hadits yang sering digunakan itu, tidak benar sama sekali berasal dari Nabi SAW., dengan lafadz demikian. Tidak setiap orang yang mengkafirkan orang muslimin itu kafir, apalagi bila orang Muslim itu telah melakukan apa yang telah dinamakan Allah dan RasulNya sebagai kekafiran.
Padahal di dalam Islam itu ada hukum-hukum murtad, dan bila saja orang Muslim itu tidak mungkin kafir atau murtad, maka apa faidah hukum-hukum orang murtad, yang dicantumkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqh, yang diantaranya (orang murtad) dihukum bunuh, sebagaimana hadits Rasulullah SAW.
“Siapa yang mengganti agamanya, (murtad) maka bunuhlah dia itu.” Ada pun lafadz hadits yang sebenarnya di dalam shahih Muslim adalah:
“Siapa yang mengatakan kepada saudaranya hai kafir, maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa), dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.”
“Maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa)” ini menunjukkan bolehnya mengkafirkan orang Muslim yang nampak darinya kekufuran dan penghalang kafir tidak ada padanya, yaitu bila keadaanya seperti itu maka tidak apa-apa.
Dan ungkapan : “Dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.” Maksudnya adalah : pengkafiran itu kembali kepadanya bila orang yang dikafirkan itu tidak kafir.
Oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mengkafirkan orang Muslim yang nampak darinya sesuatu dari kekafiran, maka sesungguhnya dia itu tidak kafir meskipun vonisnya itu tidak menepati sasaran yang benar karena adanya penghalang dari penghalang kekafiran yang tidak dia ketahui, maka sesungguhnya dia itu mendapat pahala atas hal itu.
Hal ini pernah terjadi pada Umar Al Faruq r.a, tatkala berkata kepada Nabi SAW., “Biarkan saya penggal leher orang munafiq ini”. Maksudnya (yang mau dipenggal oleh Umar r.a) adalah sahabat Hathib.
Meskipun Nabi SAW., kemudian memberikan penjelasan bahwa Hathib itu tidak kafir, akan tetapi beliau tidak mengatakan kepada Umar ra.a, kekafiran itu telah kembali kepada mu (Umar ra.a), karena kamu telah mengkafirkan orang Muslim dan menghalalkan darahnya, sedangkan orang yang mengkafirkan orang Muslim, maka dia itu telah kafir, sebagaimana yang di klaim oleh orang kebanyakan saat ini.
Jadi yang dilarang dalam hadits tersebut, adalah menuduh kafir orang Muslim karena emosi duniawi atau karena hawa nafsu. Demikianlah syubhat yang saat ini merajalela yang menohok dakwah tauhid dengan memberi mereka (para muwahhid) dengan sebutan takfiri, karena dianggap mudah mengkafirkan orang, dengan berlandaskan kepada hadits tersebut.
Padahal mereka yang menuduh inilah, dengan sebutan takfiri atau khawarij, dalam rangka mereka membela musuh-musuh tauhid dari kalangan thaghut, serta dalam rangka membantu undang-undang mereka dan aparat-aparat mereka yang membantai muwahhid, maka merekalah yang sebenarnya telah kafir dengan berlandaskan hadits ini.
Adapun ucapan bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir (kafir asliy) dari kedua orang tuanya yang kafir, maka ini adalah ucapan yang tidak berharga yang menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui hakikat dienul Islam.
Wallahu’alam bis showab!
Sumber: Al Mustaqbal
Posting Komentar