Perjalanan sejarah Nusantara pada umumnya, dan Negara Republik Indonesia khususnya, diramaikan oleh para pejuang yang bergerak dengan niat Jihad Fi Sabilillah. Mengingat bahwa negeri ini berpenduduk mayoritas muslim, maka wajarlah bila hampir seluruh pahlawannya orang yang beragama Islam. Namun dengan penuh kejujuran dan kerendahan hati kita harus mengakui bahwa barisan muslimin yang dikenal sebagai pahlawan tidaklah semuanya benar-benar memiliki aqidah, ibadah dan akhlak Islam.
Sepanjang sejarah kita temukan adanya mereka yang bersungguh-sungguh memperlihatkan tampilan aqidah, ibadah dan akhlak Islam lalu berjihad dengan tujuan untuk memperoleh satu dari dua kebaikan : hidup mulia di bawah naungan Syariat Allah atau Mati Syahid. Tersebutlah diantara mereka Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol dan segudang nama pejuang Islam lainnya.
Namun, kita pun mendapati dereten “pahlawan” beragama Islam namun secara halus maupun terang-terangan tidak menunjukan keberpihakan kepada ’Izzul Islam wal Muslimin’ (kemuliaan Islam dan kaum muslimin). Mereka memiliki kepentingan yang beraneka ragam. Ada yang berjuang demi kemaslahatan pribadi dan kelompoknya, ada yang berjuang memasarkan ideologi asing di luar Islam kepada bangsa yang beridentitas Islam ini. Ada yang bahkan menjadi antek-antek penjajah sehingga memperoleh dukungan dan jaminan fasilitas dari pihak musuh.
Lahirnya Indonesia merupakan resultante dari pertarungan dua kelompok diatas. Pertarungan dimana hingga hari ini belum berakhir. Sejak Belanda masih bercokol di bumi Indonesia hingga datangnya Jepang. Lalu saat proses menjelang dan ketika proklamasi kemerdekaan diumumkan, hingga munculnya kepemimpinan Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpin dan Nasakom-nya. Kemudian datang masa kepemimpinan Soeharto dengan rezim represif Orde Barunya hingga Era Reformasi yang kian hari kian mengkristal dalam system Demokrasi Liberal-nya.
Sepanjang perjalanan sejarah tersebut senantiasa ada kalangan yang mewakili kelompok pejuang Islam sejati yang ingin menjadikan negeri ini lahan pengabdian kepada Allaahu Taála semata sambil membebaskan segenap manusia dari penghambaan sesama manusia. Mereka pada umumnya adalah tokoh-tokoh Islam yang berprinsip dan berideologi Islam. Mereka adalah para Pahlawan yang meyakini bahwa identitas Islam merupakan jatidiri yang sesungguhnya dari rakyat Indonesia. Sejak awal mereka senantiasa menjadikan Ideologi Islam sebagai faktor utama penggerak semangat pembebasan diri dan bangsa dari pihak penjajah. Mereka adalah para pejuang yang memandang tiada kemuliaan bagi bangsa Indonesia tanpa Islam dan Syariat Allah sebagai jalan hidup. Merekalah yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu Álaihi wa Sallam dengan sabdanya :
“Akan selalu ada segolongan dari Ummatku yang berperang diatas Al-Haq (kebenaran) dan mereka akan tetap demikian hingga hari Kiamat.” (HR. Muslim 225)
Mengingat bahwa para penguasa yang memerintah di negeri ini tidak pernah benar-benar memiliki identitas Islam serta cita-cita untuk menjalani hidup di bawah naungan Syariat Allah Yang Maha Adil, maka kafilah para Pejuang Islam selalu ditemukan berseberangan jalan dengan semua penguasa tersebut. Baik itu penjajah Belanda, Jepang, Penguasa Orde Lama, Orde Baru maupun para penguasa di era reformasi. Ketika penjajah Belanda dan Jepang masih bercokol di Indonesia wajarlah bila terdapat sikap non-kooperatif yang begitu tegas terhadap rezim penguasa. Sebab penguasanya jelas-jelas kafir alias ber ideologi selain Islam. Namun ketika penjajah Asing telah hengkang, ternyata semenjak hari pertama kemerdekaan di proklamasikan saja sudah tampak tanda-tanda pengkhianatan dari para so-called founding fathers negeri ini. Rupanya pewarisan nilai-nilai kolonialisme penjajah sudah berlangsung sempurna. Artinya, ketika para penjajah asing itu angkat kaki dari negeri ini mereka sudah memastikan bahwa calon pemimpin di negeri ini haruslah dari kalangan pribumi pengusung faham buatan manusia dan bukan termasuk barisan pembela ideologi Rabbani.
Demikianlah negeri ini menyaksikan bahwa di satu sisi terdapat pengorbanan dan heroisme para pejuang sejati yang bercita-cita menegakan kehidupan bernegara dengan Kemuliaan Islam dan Syariat Allah. Namun di sisi lain ada khafilah pengkhianat yang terus menerus melestarikan ideologi Kapitalisme, Sosialisme dan setia menyebarkan faham Sekulerisme, Nasionalisme, Pluralisme, Liberalisme dan Demokrasi di Negeri yang telah di semai oleh darah suci para Syuhada. Para pengusung faham buatan manusia ini senantiasa berseberangan jalan dengan para pembela ideologi Rabbani. Oleh karenanya sejarah mencatat, bahwa selama kepemimpinan penguasa manapun ada saja pejuang Islam yang mengalami pemenjaraan, pengasingan atau bentuk penganiayaan lainnya. Baik ketika Era penjajahan Asing maupun hingga era Reformasi kini.
Semua ini membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa Negara yang bernama NKRI belumlah menjadi rumah normal bagi kaum muslimin di wilayah yang bernama Indonesia ini. Di dalamnya mereka belum bisa memperoleh ketentraman dan keamanan yang diidam-idamkan. Di dalamnya mereka belum memperoleh keadilan dan kesejahteraan yang diimpikan. Di dalamnya mereka belum sepenuhnya Merdeka untuk menegakan pengabdian hanya kepada Sang Khaliq semata. Mereka belum merasakan kelezatan hidup dibawah Syariat Allah. Penjajahan formal bangsa Asing kepada kaum pribumi memang sudah berakhir untuk selanjutnya diteruskan dengan praktek penjajahan kaum pribumi terhadap sesama pribumi.
Sampai kapankah sejarah Indonesia akan terus dihiasi oleh perebutan pengaruh antara kaum pengusung ideology buatan manusia dengan kaum pembela ideology Rabbani? Padahal sejatinya Indonesia bukanlah tujuan final perjuangan Umat Islam di muka Bumi Allah. Indonesia hanyalah sebuah tujuan antara, sebuah terminal, belum sampai kepada tujuan final. Umat Islam perlu senantiasa menyadari Indonesia hanya merupakan sebuah “rumah darurat” taktala “rumah normal” mereka sedang raib. Indonesia merupakan sebuah Nation-State. Sedangkan Rasulullah Muhammad Shallallahu Álaihi waSallam telah mencontohkan kepada kita bahwa tatanan bermasyarakat dan bernegara yang diridhoi Allahu Shubhanahu wa Taála adalah berbentuk sebuah Aqidah-State. Hendaknya kita saling mengingatkan bahwa hanya dengan menjadikan aqidah Islam sebagai perekat kehidupan masyarakat dan bernegara, umat Islam akan solid dan tampil berwibawa. Sedangkan menjadikan faktor “bangsa” sebagai perekat kehidupan bermasyarakat dan bernegara hanya akan menyebabkan tercabik-cabiknya kesatuan umat Islam yang sejatinya tidak pernah bisa dibatasi oleh sekat-sekat warna kulit, bahasa, suku maupun bangsa.
Sudah berlalu 89 tahun sejak peristiwa tragis pembubaran Khilafah Islamiyyah berlangsung. Sedemikian jauhnya pemahaman, penghayatan dan pengalaman umat Islam dewasa ini mengenai realitas kehidupan di bawah tatanan Khilafah Islam. Sehingga banyak muslim yang menyangka bahwa sistem kehidupan dengan sistem nation-state dewasa ini merupakan sebuah sistem yang cukup memuaskan dan sudah final. Padahal kehidupan dengan sistem Nation-State bagi umat Islam merupakan kehidupan darurat, laksana para gelandangan yang terpaksa membangun bedeng sebagai rumah sementara karena rumah mereka yang semestinya telah digusur. Mungkin karena sudah terlalu lama “menikamati” hidup dibedeng-bedeng, akhirnya umat Islam mulai menyesuaikan diri dan terbius untuk meyakini bahwa memang sudah semestinya mereka nrimo hidup tanpa berfikir lagi untuk mempunyai rumah yang semestinya. Awalnya hanya terpaksa menjadi gelandangan, lama kelamaan secara sukarela meyakini dan menumbuhkan mentalitas gelandangan dan pengemis didalam jiwa!
Sungguh tepat ucapan Ribíy bin Amir Radhiyallahu ánhu kepada Panglima Rustum :
Kami (Umat Islam) di utus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata.
Kami (Umat Islam) di utus Allah untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia kepada lapangnya dunia dan akhirat.
Kami (Umat Islam) di utus Allah untuk mengeluarkan manusia dari kezaliman berbagai dien (agama/ ideologi/ pandangan hidup/ falsafah hidup/way of life) kepada keadilan Islam.
Ya Allah, masukanlah kami kedalam barisan para pejuang sejati Syariat Islam dan Dien-Mu. Janganlah Engkau biarkan kami tersesat, baik sadar maupun tidak sadar, sehingga masuk kedalam barisan para pengusung ideologi buatan manusia.
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar!
--------------------------