Ironis! Masih saja ada aktivis Islam yang mau dibodohi oleh sistem kafir demokrasi. Meski telah jatuh di lubang yang sama puluhan kali, sihir demokrasi masih saja menyilaukan mata beberapa aktivis Islam hingga bangga, takjub, dan kemudian berharap kepada keberhasilan semu demokrasi, seperti yang terjadi di Mesir dan Turki, juga di beberapa negeri Muslim yang lain. Laa haula wa laa quwwata illa billah!
Kaum Muslimin tidak akan mungkin mencapai tujuan mereka atau merealisasikan satupun dari tujuan-tujuan Islam melalui jalan demokrasi atau sistem demokrasi, disebabkan beberapa hal, yang terpenting adalah :
1. Islam adalah dien Allah Ta’ala yang disyariatkan untuk hamba-Nya. Sebagai sebuah dien rabbani, Islam mempunyai tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang khusus yang bersumber dari Allah Ta’ala. Tujuan-tujuan Islam tidak mungkin diraih kecuali melalui sarana-sarana syar’i yang diterangkan dalam Al Qur’an dan As Sunah. Tujuan syar’i manapun yang dicari tidak melalui sarana yang syar’i yang benar, maka cara tersebut merupakan sebuah kesesatan dan menyimpang dari kebenaran. Berarti juga melaksanakan ketaatan tidak sesuai dengan yang disunahkan dan disyariahkan. Minimal status hukumnya adalah bid’ah yang sesat. Sementara Allah Ta’ala tidak akan menerima ibadah dari hamba-Nya kecuali bila dilaksanakan sesuai cara yang telah diperintahkan dan disyariahkan kepada mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya”. (QS. 18:110)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Abi Ashim dalam kitabu sunah :
dari Jabir bin Abdullah ia berkata, ”Kami duduk-duduk bersama nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Beliau menggaris sebuah garis lurus di depan beliau kemudian bersabda,” Ini adalah jalan Allah. Beliau kemudian menggaris sebuah garis di sebelah kanan dan sebelah kiri beliau kemudian bersabda,” Ini adalah jalan-jalan setan.” Beliau lantas meletakkan tangan beliau di garis yang berada di tengah kemudian membaca firman Allah Ta’ala :
“…dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. 6:153)
Tidal diragukan lagi bahwa demokrasi adalah jalan setan yang memecah belah manusia dan menjauhkan mereka dari jalan Allah ta’ala yang lurus. Barang siapa menempuh jalan demokrasi dan menempuh sarana-sarana demokrasi berarti telah menempuh jalan setan. Bagaimana mungkin orang yang menempuh jalan setan akan bisa mencapai pantai kemenangan dan keamanan dengan bahtera Islam ?
Adapun pernyataan para pendukung demokrasi bahwa hukum sarana berbeda dengan hukum tujuan, dimana kita tidak boleh menyelisihi nash-nash syariat dalam urusan tujuan, namun boleh saja menyelisihi syariat dalam urusan sarana mencapai tujuan sesuai kebutuhan keadaan, maka pernyataan ini adalah pernyataan yang rusak dan batil, secara akal dan syariat tidak benar. Pernyataan ini menyerupai pernyataan orang-orang Yahudi yang berprinsip tujuan menghalalkan segala cara.
Benarlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang telah bersabda :
Kalian akan benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap akan mengikuti mereka.” Para shahabat bertanya,” ya Rasulullah, Apakah mereka (yang kami ikuti itu) adalah orang-orang Yahudi dan nasrani ?” Beliau menjawab,” siapa lagi kalau bukan mereka.” Muttafaq’ alaihi.
Dalam riwayat yang lain :
Bahkan seandainya di antara mereka ada yang memperkosa ibunya sendiri di pinggir jalan raya, kalian pun akan berbuat serupa.” Artinya, diantara kalian akan ada juga yang melakukan perbuatan mereka yang bejat tersebut.
Kalaupun hal ini terjadi, tentulah dalam suasana serba permisif dan kebebasan individu yang menjadi prinsip dasar dan ciri khas demokrasi !!!!
Kami bertanya, ”Cara untuk meraih kehidupan Islami yang baru (Khilafah Islamiyah—pent) adalah dengan cara yang diterangkan oleh syariat, ataukah —meskipun cara menegakkan kehidupan Islami yang baru tersebut sangat urgen—dibiarkan kosong dan diserahkan kepada hawa nafsu dan akal manusia tanpa ada penjelasan dari Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam.
Jika jawabannya adalah dengan cara yang telah diterangkan oleh syariat, maka kami katakan ; anda telah mengerti, maka komitmenlah dengan jalan syariat tersebut…tak seorangpun boleh menyelisihi cara yang telah disunahkan dan disyariatkan tersebut.
Adapun jika jawaban anda adalah jalan tersebut diserahkan kepada manusia, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam belum menjelaskannya…maka anda telah menyelisihi nash-nash syariat yang menyebutkan dien Islam telah sempurna, tak ada sebuah perkarapun yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala kecuali telah disebutkan dan dijelaskan Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.”
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. 4:59)
Wallahu’alam bis showab!
Bersambung…
M Fachry