Ghibah Syar'i
Written By Unknown on Selasa, 18 Maret 2014 | 14.07
Karena Kebodohan, Ada Sebagian Kita Yang :
" Kegerahan " Ketika Seorang Yang Bermanhaj Salaf Membantah Membongkar Kesesatan Dai/Ustadz/Kiyai Yang Menyelisihi Al - Qur’an Dan Sunnah Serta Manhaj Salaf ...
Mereka Berdalih Dengan Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, :
“ Jagalah Lisanmu, Janganlah Engkau Mengghibah Saudaramu Sendiri Sesama Muslim, Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman, : " Janganlah Sebagian Kamu Menghibah
( Menggunjing ) Sebagian Yang Lain Sukakah Salah Seorang Diantara Kamu Memakan Daging Saudaranya Yang Sudah Mati ? ’”. ( QS. Al - Hujurat : 12 ).
Padahal Ada Dalil Khusus Yang Terkait Dalam Masalah Ini : Bolehnya Mengecam, Mengkritik, Dan Membeberkan Kesesatan Ahli Bid’ah, Di Antaranya Ialah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“ Allah Tidak Menyukai Ucapan Buruk ( Yang Diucapkan ) Dengan Terang Kecuali Oleh Orang Yang Dianiaya. ”
( QS. An - Nisa : 148 ) [ Lihat Majmu’ Fatawa 28 / 230 ].
Bagaimana kalau 'yang dianiaya' adalah Al Qur'an dan As Sunnah serta manhaj salaf, apakah muslim yang cerdas akan berdiam diri ?
Bagaimana tanggapan ulama terhadap sebagian syubhat yang hendak memadamkan Al Haq ?
Imam Nawawi –rahimahullah- (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” : “Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut".
Dari Aisyah –radhiallohu anha- beliau berkata : “Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, maka beliau mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”.
(HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591). Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat).
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah (meninggal tahun 399 H) berkata : “Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan akibat buruk mereka. Dan ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.”
(Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)
Imam Ahmad –rahimahullah- (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah”
(Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 : Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam :
1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah.
2. Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka.
Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- mengatakan : “Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan : “Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bid’ah yang extrim dalam bid’ahnya”. Beliau juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”.
(ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” 1/140)
Ibrahim An-Nakho’i –rahimahullah- mengatakan : “Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)
Sufyan bin Uyainah –rahimahullah- berkata : “Pengekor hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya”
(lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538 )
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?”
(Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah (meninggal tahun 399 H) berkata :
“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan akibat buruk mereka. Dan ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)
Sungguh ahlus sunnah telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang dalam menyikapi ahli bid’ah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bid’ah tersebut.
Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:
Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara
Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan
Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa
Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran
(Keenam hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121)
Imam Ahmad –rahimahullah- (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah”
(Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)
======================================
Posting Komentar