Tulisan ini merupakan salah satu koreksi atas khutbah kedua dalam shalat Jum’at yang disampaikan oleh seorang ustadz salafi maz’um di salah satu masjid yang ada di daerah Bekasi.
Jika saya ringkas syubhat yang disampaikannya adalah sebagai berikut: Tidak utuh dalam menyampaikan hadits, secara tidak langsung membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah dan rasulNya, boleh pedoman dengan selain pedoman nabi saw, menjadikan DR. Khalid al Anbari sebagai rujukan, menasehati penguasa harus dengan sembunyi-sembunyi dan lain sebagainya.
1. Tidak utuh dalam membawakan hadits dan pemahamannya
a. Hadits tentang:
وإن تأمــر عليكم عبد حبشي
“Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya”
Sang Ustadz dalam menyampaikan hadits hanya berhenti pada kalimat tersebut. Padahal hadits itu masih ada lanjutan meskipun harus melihat dalam redaksi yang lain. Karena antara satu hadits dengan yang lainnya saling berkaitan. Coba perhatikan hadits berikut:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Selama dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.
Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:
يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ.
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi ما أقام لكم كتاب الله (selama mereka menegakan kitab Allah).
Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah nabiNya”.
Dalam hadits tersebut; syarat pemimpin yang ingin dita’ati adalah pemimpin yang menegakan hukum Allah.
Dalam Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Pada dasarnya, Imam dibae’at agar melakukan yang haq, menegakan hudud, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar” .
Dalam Syarhnya, Imam Nawawi berkata: “Al Qadhi berkata; Jika imam melakukan kekufuran, merubah syari’at atau melakukan bid’ah maka ia telah keluar dari statusnya sebagai pemimpin dan haknya untuk dita’ati telah gugur. Wajib bagi kaum muslim berusaha untuk mencopot dan menggantinya dengan pemimpin yang adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka… Dan tidak wajib mencopot (pemimpin) pelaku bid’ah kecuali jika mereka mampu. Akan tetapi jika tidak mampu maka tidak wajib mencopotnya”.
Para ulama lain menyatakan yang dimaksud kalimat tersebut adalah; memimpin rakyatnya di atas Islam, bangga dengan Al Quran, tidak murtad, tidak menolak sunnah, menjadikan agama resmi negara adalah Islam dan sumber hukumnya adalah Syariat Islam .
Jadi jelas, hadits ini tidak seperti yang difahami sang khatib, boleh menyelisihi Nabi saw secara total baik dalam masalah pemilihannya, pengaturannya, hukumnya dan lain sebagainya. Karena hal tersebut bisa masuk dalam katagori kafir.
Para ulama ketika menjelaskan tentang permasalahan ini baik Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah dan ulama lainnya; Mereka menyatakan tidak boleh orang kafir dengan kekufuran yang nyata menguasai Umat Islam. Jika penguasa tersebut kafir, maka umat pun tidak wajib ta’at . Bahkan wajib bagi Umat Islam dalam hal ini adalah Ahlul Hall Wal ‘Aqd mencopot dan mengganti pemimpin tersebut .
Bahkan jika jelas terlihat kekafirannya, para ulama pun sepakat membolehkan melawan penguasa tersebut dengan tetap melihat maslahat dan madharat serta kemampuan yang dimiliki umat.
Ust. Yazid Jawas sendiri menyatakan; Ahlus Sunnah Melarang Memberontak Kepada Pemerintah…Hal ini berlaku bagi pemimpin Muslim yang berbuat zalim dan aniaya, yang masih menggunakan syariat Nabi saw . Namun apabila pemimpin itu telah kafir maka boleh memberontak kepadanya dengan syarat-syarat yang ada pada pembahasan selanjutnya” .
Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, Rasul saw bersabda: “Akan muncul kepada kalian para penguasa yang memerintahkan kepada kalian sesuatu yang tidak kalian kenali, mengerjakan perbuatan yang kalian ingkari. Maka tidak ada kewajiban atas kalian menta’ati mereka.
Ibn Abbas berkata; Ada tiga ayat yang masing-masing mengandung dua komponen antara yang satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Salah satunya adalah ayat yang berbunyi; أطيعوا الله وأطيعوا الرسول (ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul).
Membolehkan menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya adalah bertentangan dengan banyak dalil baik dari Al Qur’an, Sunnah, maupun pendapat ulama. Bertentangan juga dengan tauhid uluhiyah dan iqrar seseorang bahwa ia rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Rasul saw sebagai nabi.
Diantara hakikat tauhid uluhiyah adalah Mengesakan Allah dalam beribadah, berlepas diri dari seluruh sesembahan selain Allah, tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal dan berhukum kecuali kepada Allah, tidak mengambil petunjuk (pedoman) kecuali yang bersumber dari Allah, tidak beramal kecuali untuk Allah, tidak mencintai dan memusuhi kecuali karena Allah.
b. Tentang Hadits
سيكون من بعدي أئمة لا يهتدون بهداي، ولا يستنون بسنتي، وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان أنس، قال حذيفة: قلت: كيف أصنع يا رسول الله أن أدركت ذلك؟ قال: تسمع وتطيع الأمير، وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع.
Dengan dalih hadits ini, sang khatib menyatakan; inilah dalil yang menunjukan wajibnya taat kepada penguasa meskipun mereka tidak menggunakan pedoman dan sunnah Sabi saw dalam perkara apa saja; pemilihannya, aturan atau hukumnya dan lain sebagainya.
Sebelum menjelaskan hadits tersebut secara ringkas, di sini perlu disampaikan sebagian komentar para ulama:
1) Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut sanadnya terputus. Karena salah seorang rawinya yang bernama Abu Salam Mamthur Al habasyi Ad Dimasyqi tidak mendengar dari sahabat Abu Hudzaifah. Maka haditsnya dari Hudzaifah adalah mursal.
Ibn Hajar dalam kitab ‘Tahdzib at Tahdzib 10/296 menyatakan; Abu Salam melakukan irsal dari Hudzaifah, Abu Dzarr dan dari selain keduanya’.
Dalam mengomentari hadits tersebut Fuad Abdul Baqi berkata: “Dia tidak mendengar dari Hudzaifah”.
Dalam menjelaskan Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata: “Hadits ini mursal, meskipun matannya benar sesuai dengan jalur yang pertama.
2) Terlepas dari permasalahan validasi hadits tersebut, maka hadits itu tidak boleh difahami begitu saja. Yang dimaskud menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi saw tersebut adalah dalam sebagian permasalahan. Dengan tetap menjadikan syari’at Islam sebagai sumber hukum.
Selain alas an yang dikemukakan di muka, alas an lainnya adalah Imam Muslim meletakan hadits tersebut jauh sesudah hadits:
يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ.
Ini artinya antara hadits yang satu dengan hadits yang lain saling berkaitan dan
tidak berdiri sendiri.
3) Setiap kita harus melihat bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi kalangan yang tidak mau menggunakan petunjuk Nabi saw. Lihat bagaimana sikap; Abdullah bin Umar, Imran bin Hushain, Abdullah bin Mughaffal, Ibn Abbas, Said ibn Musayyab, Malik, Ahmad, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyi al Jauziyah dan ulama-ulama lainnya ketika ada kalangan yang berpaling dari sunnah Rasul saw .
Dengan jelas dan tanpa tedeng aling-aling maka saya bisa memastikan khatib tersebut sedang terkena Flu Murjiah yang jauh lebih berbahaya dari pada Flu Burung.
Dalam kitab Ar Rudud, Bakr Abu Zaid menyatakan: Pengaruh yang paling buruk dari ‘Flu’ Murjiah pada masa kini adalah ‘Syirk at Tasyri’’ syirik dalam masalah hokum (undang-undang) dengan membolehkan keluar dari syariat Rabb langit dan bumi…hal ini menurut kaum Murjiah tidak dianggap sebagai sesuatu bentuk kekafiran. Apa yang dinyatakan beliau dalam Ar Rudud adalah sama dengan yang dinyatakannya dalam kitabnya ‘Dar’ul Fitnah ‘An Ahli as Sunnah…
2. Siapa rujukan sang Khatib?
Sang khatib menjadikan DR. Khalid al Anbari sebagai rujukan dalam khutbahnya yaitu dengan bukunya: Atsar al Qawanin al Wadh’iyah Fil Hukmi ‘Ala ad Daar bil kufri Wal Islam. Jika diteliti lebih lanjut, Khalid al Anbari merefer karyanya tersebut kepada salah satu kitab karyanya sendiri yaitu Al Hukmu Bighairi Maa Anzalallah Wa Ushul At Takfir. Yang dalam hal ini Khalid al Anbari membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka secara otomatis sang ustadz pun mengekor kepadanya. Lantas Siapakah Khalid al Anbari sehingga sang khatib menjadikannya sebagai rujukan ?
- Dia adalah salah satu tokoh Neo Murjiah
- Sering Berdusta atas nama ulama; dusta atas nama Syaikh Muhammad Ibrahim Alu as Syaikh, dusta atas nama Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dll
- Menafsirkan prnyataan ulama seenaknya
- Menukil pendapat yang hanya menguntungkan
- Mendistorsi dalil-dali syar’i.
- Tidak amanah dalam mengutip dalil.
- Mengatakan Ijma’ bahwa tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir. Padahal yang ada adalah sebaliknya, orang yang tidak berhukum dengan hokum Allah adalah kafir yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama. Masalah tidak berhukum dengan hukum Allah bisa dilihat dari sisi ‘aqidi dan amali. Prof. DR. Shaleh bin Abdurrahmna Al Mahmud telah menjelaskan masalah ini dan menjawab syubhat Khalid al Anbari dalam bukunya Al Hukmu Bighairi Maa Anzalallah Ahwaluhu Wa Ahkamuhu.
- Memusuhi Komisi Fatwa Ulama Saudi yang mengeluarkan fatwa bahwa dia berfaham murji’ah. Yang kemudian dia (Khalid al Anbari) membantah fatwa tersebut dengan judul Al Maqalat al Anbariyah Fir Raddi ‘Ala al Lajnah”.
- Pendapatnya yang menyimpang, mendapat perhatian khusus dari Syaikh Shaleh Fauzan. Sehingga beliau menulis artikel yang dimuat oleh Majalah Ad Dakwah, edisi 1749, 4 Rabi’ al Akhir 1421H berkaitan dengan kritik atas ideology Khalid al Anbari.
- Oleh sebab itu Komisi Fatwa Arab Saudi berkaitan dengan DR. Khalid al Anbari mengeluarkan pernyataan; buku tersebut dilarang diedarkan, dilarang diperjual belikan, penulisnya harus bertaubat kepada Allah, hendaknya merujuk dan belajar kepada ulama yang tsiqah agar mereka menjelaskan dimana kekeliruannya. Orang yang disuruh bertaubat dan belajar kok dijadikan rujukan? Yang ada dhallu wa adhallu.
3. Antara Ulil Amri Syar’I dan Ulil Amri Versi sang Khatib
Di sini perlu kiranya kita merenungkan pernyataan Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari dalam bukunya “Al Wajiz Fi Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169) . Beliau berkata: “Adapun jika (para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya. Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan kepemimpinan. Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (Ulil Amri pent-) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah Ulil Amri. Yang dimaksud kepemimpinan (Ulil Amri) adalah menegakan agama.
Yang namanya Ulil Amri adalah yang menegakan agama. Kemudian setelah itu bisa disebut ulil amri yang baik atau yang buruk . Dalam mendefinisikan ulil amri, Ali bin Abi Thalib berkata: “Manusia harus mempunyai pemimpin baik yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya; Kami telah tahu yang dimaksud pemimpin yang baik. Lantas bagaimana dengan maskud pemimpin yang buruk (zalim) itu? Dijawab; jalanan menjadi aman, ditegakan hudud, musuh diperangi dan Fa’I dibagikan”.(Ibn Taimiyah, Minhaj as Sunnah, 1/146). Inilah definisi minimal yang namanya Ulil Amri secara syar’i, jadi tidak cukup yang hanya memiliki teritorial sebagaimana yang diklaim oleh sang khatib.
4. Mengkritik pemerintah harus dengan sembunyi-sembunyi dan Negri islam Patokannya Adzan.
Dalam masalah ini sebenarnya tidak mutlak harus dengan sembunyi-sembunyi. Abu Said Al Khudri meriwayatkan hadits yang berbunyi;
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان ) رواه مسلم . ِ
Abu Sa’id Al Khudri adalah yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi saw. kemudian ketika beliau melihat ada kemunkarang yang dilakukan salah satu Khalifah pada masa bani Umayah. Yaitu ketika sang Khalifah melakukan khutbah sebelum melakukan shalat ied terlebih dahulu. Maka Abu Sa’id tidak membiarkan hal itu dan langsung beliau berdiri dan menegur sang khalifah di depan rakyatnya. Apakah Abu Sa’id keliru? Atau apakah tidak mengetahui adab mengkritik penguasa? Salah seorang Ahli Hadits Sudan, as Syaikh al ‘Allamah Musaid Basyir Ali menyatakan dalam ceramahnya ketika ditanya seputar permasalahan ini; Boleh mengkritik pemerintah secara terang-terangan jika pemerintah melakukan kemungkaran secara terang-terangan. Dan tidak boleh mengkritiknya secara terang-terangan jika kemungkaran yang dilakukan tidak secara terang-terangan. Jadi antara satu riwayat dengan riwayat lainnya tidak terjadi kontradiktif. Permasalahan patokan suatu negri dikatakan negri Islam atau bukan, ini adalah permasalahan yang membutuhkan tulisan dan waktu yang panjang. Ketika Syaikh Musaid ditanya seputar maslah ini, beliau menerangkan bahwa adzan merupakan salah satu dari sebagaian syi’ar Islam dan bukan satu-satunya untuk menghukumi sebuah negri menjadi negri islam. Di halaman sebelumnya sebenarnya permasalahan ini sudah disinggung. Ada kaitannya dengan boleh tidaknya berhukum dengan selain hukum Allah. Dengan demikian, Kalangan yang membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah dan boleh menyelisihi sunah nabiNya, maka mereka berpendapat negri tersebut negri Islam. Syaikh Bin Baz termasuk yang mengatakan bahwa Negara Bahrain adalah Negara kafir ketika masih dikuasai Prancis meskipun adzan dan shalat tetap diperbolehkan oleh Prancis. Dan perlu dicatat, yang memiliki teritorial saat itu adalah Bangsa Prancis tetapi Syaikh bin Baz tidak menghukumi negri tersebut dengan negri Islam. Jadi memiliki territorial, adzan dan shalat belum cukup dikatakan sebagai negri Islam. Wallahu a’lam.
======
Sumber: https://www.facebook.com/groups/302751143143570/permalink/447547661997250/