Home » » Apa Syarat Sebuah Negara Bisa Dikatakan Sebagai Negara Islam?

Apa Syarat Sebuah Negara Bisa Dikatakan Sebagai Negara Islam?

Written By Anonim on Selasa, 17 September 2013 | 18.44


Al-Ustadz Al Mujahid Abu Hataf Saifurrosul, fakkalahu asrahu, dalam bukunya “Syarat Sebuah Negara Dikatakan Sebagai Negara Islam” menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam cuma ada dua negara yaitu Islam atau kafir.

Masalah ini harus dipahami terlebih dahulu, bahwa tidak ada negara jenis ketiga dalam Islam. Oleh karena itu, ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa negara Maridin adalah bukan negara Islam dan bukan pula negara kafir tetapi jenis negara murokkabah (tumpang tindih) yang tidak berlaku di dalamnya hukum Islam, beliau rohimahulloh mengatakan bahwa Maridin adalah negara jenis ketiga. (lihat Majmu’ Fatawa 28/240-241)

Maka, murid beliau Al-Qodhi Ibnu Muflih menulis :

Setiap negara yang dikuasai oleh hukum-hukum umat Islam adalah negara Islam sedangkan setiap negara yang dikuasai hukum orang kafir adalah negara kafir dan tidak ada jenis negara yang ketiga. (Al-Adab Asy-Syar’iah 212)

Para Ulama Dakwah Nejed ikut berkomentar setelah menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan berkata :

Dan yang lebih utama adalah pendapat yang disebutkan oleh Al-Qodhi dan para sahabatnya (dari kalangan ulama madzhab Hambali). Silahkan merujuk pada Ad-Durar As-Saniyyah Fil Ajwibah An-Najdiyah bab Jihad 7/353 yang dihimpun oleh Ibnul Qosim.

Jadi, pembagian negara cuma ada dua yaitu negara Islam dan negara kafir. Hal ini merupakan ijma’ ulama salaf maupun khalaf dan yang namanya ijma’ itu pasti berdasarkan dalil sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 7/39. (lihat Al-Jami’ Syaikh Abdul Qodir bin Abul ’Aziz buku ke 9 hal 89).

Harus dipahami pula bahwa ijma’ adalah dalil yang ketiga setalah Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini menepis anggapan sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Dr. Wahhab Az-Zuhaily bahwa pembagian Negara menjadi dua bagian itu tidak berlandaskan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah akan tetapi hanya sekedar ijtihad para ulama setelah masa Nabi dan para sahabat. Hal ini beliau katakan dalam kitab beliau Atsarul Harbi Fil Fiqh Al-Islami, dan anggapan beliau ini adalah salah –wallahu a’lam-.


Apa Saja Syarat-Syaratnya?

Al-Imam As-Sarkhasy Al-Hanafi rahimahullah berkata:

Menurut Abu Hanifah rahimahullah, sebuah negara menjadi darul harbi dengan terpenuhinya tiga syarat. Pertama, negara tersebut berbatasan langsung dengan negara kafir yang diantara kedua negara itu tidak diselingi oleh negeri kaum muslimin. Kedua, tidak ada lagi di Negara itu seorang muslim yang hidup aman dengan keimanannya dan ahlu dzimmah pun tidak hidup aman dengan dzimmahnya. Ketiga, penampakan hukum syirik di dalamnya (Al-Mabsuth karya As-Sarkhsy 10/114)

Silahkan ambil contoh sebuah negara dewasa ini, misalnya Indonesia, dan cocokkan dengan syarat-syarat negara kafir di atas, apakah cocok? Sangat jelas dan mudah sekali bukan untuk memahami dan menghukumi sebuah negara itu masuk dalam kategori negara Islam atau negara kafir!

Al Ustadz Abu Hataf melanjutkan, Ikhwan fillah… Alhamdulillah telah selesai penukilan sembilan belas perkataan para ulama tentang `illat (alasan hukum) sebuah negara statusnya menjadi Kafir atau Islam, dimana telah nampak bagi kita kesepakatan para ulama bahwa `illat untuk menvonis status sebuah negara adalah hukum yang berlaku di dalamnya meskipun mereka terkadang sedikit berbeda dalam menggunakan istilahnya.

Terkadang para ulama juga mengikut sertakan kekuatan yang mendominasi atau keislaman penguasanya yang mana semua itu terikat dengan hukum yang berlaku tadi. Jika yang berkuasa adalah pemimpin Islam dan kekuatan yang mendominasi adalah kekuatan Islam maka konsewensi pengakuan keislaman mereka menuntut mereka harus menerapkan syariat Islam sebagai UU negara. Jika mereka mengaku Islam tapi tidak menerapkan UU Islam justru menerapkan UU positif tentu keislaman mereka jadi batal karena berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk ibadah yang hanya boleh diberikan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala saja. Hal ini juga merupakan hak khusus Allah Subhanahu wa ta'ala dalam tauhid uluhiyah, sehingga memalingkan hal ini kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala atau menyekutukannya bersama Allah Subhanahu wa ta'ala adalah syirik dalam uluhiyah.

Adapun memberikan kewenangan untuk merancang, membuat, dan menetapkan UU kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti misalnya memberikan kewenangan kepada DPR, MPR, presiden ataupun selain mereka untuk hal-hal di atas termasuk syirik dalam rububiyah. Hak merancang, membuat, dan menetapkan hukum hanyalah hak Allah subhanahu wa ta’ala secara mutlak sehingga hak khusus ini tidak boleh disandarkan kepada seorangpun dari makhluk-Nya, dipalingkan kepada selain-Nya, ataupun dipersekutukan di dalamnya makhluk apapun bersama Allah Subhanahu wa ta'ala.

Begitu juga sebaliknya, Jika hukum yang berlaku pada sebuah negara adalah hukum Islam ini menunjukkan bahwa pemimpin dan kekuatan yang mendominasi adalah Islam. Maka, dari sisi ini negara itu adalah negara Islam, meskipun kekafiran bisa muncul dari sisi lain karena tidak mungkin jika penguasanya kafir dan kekuatan kafir mendominasi mereka akan menjadikan hukum Islam untuk mengatur negaranya. Maka, sudah sangat tepat `illat yang disebutkan para ulama yaitu hukum yang berlaku.

Wallahu’alam bis showab
Sebarkan berita ini ya ikhwah! :
 
Support : Creating Website | Mujahidin | Mujahidin
Copyright © 1434 H / 2013 M. By Ridwan Kariem | Tauhid Media
Template Modified by Creating Website Published by Mujahidin
Proudly powered by Mujahidin