Bagaimana caranya agar kita senantiasa sabar dan tetap istiqomah di jalan dakwah dan jihad ini, khususnya ketika ditimpa ujian dan bencana di jalan Allah? Syekh Mukhlas rahimahullah dalam salah satu tulisan beliau memberikan nasehat dan tausiahnya, semoga bisa menjadi ibroh dan pelajaran. Insya Allah!
Pertama, sejak semula kita melibatkan diri dalam arena dakwah, amar maruf dan nahi munkar, serta jihad, kita seharusnya sudah siap mental untuk menghadapi dan menerima segala resiko yang ringan maupun yang berat, hatta (meskipun atau hingga) direnggutnya nyawa sekalipun. Sebab, sudah menjadi sunatullah bahwa arena dan kancah dakwah, amar maruf nahi munkar dan jihad fie sabilillah dipenuhi dan diliputi dengan bencana dan ujian
Berikut wasiat Luqmanul hakim kepada anaknya yang diabadikan Allah SWT, dalam Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 17 :
“(Luqman berkata) : Wahai anakku! Dirikanlah sholat dan suruhlah manusia berbuat yang maruf dan cegahlah mereka dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara penting.”
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “Sudah menjadi maklum bahwasanya menyuruh manusia berbuat yang maruf dan mencegah munkar pasti akan mendapat sesuatu yang menyakitkan dari manusia, maka diperintahkan untuk bersabar.
Kedua, tatkala ujian datang dan bencana menimpa diri, hendaknya menghiasi lisan dengan ucapan-ucapan yang baik, do’a dan dzikir kepada Allah SWT., misalnya dengan mengucapkan : “Qadarallah…..Inna lillahi wa inna ilaihi ro’jiun…hasbunallah wa ni’mal wakil…Alhamdulillah alaa kulli hal…”
Ketiga, tidak membuat muhasabah setelah amal pada masa-masa yang labil dan kurang stabil, termasuk pada hentakan pertama dari ujian dan bencana. Tidak diragukan lagi akan pentingnya muhasabah atau evaluasi, akan tetapi bila muhasabah dibuat pada masa-masa genting, iman kurang stabil, mental labil dan emosi naik, tidak mustahil muhasabah dan evaluasi dalam situasi dan kondisi seperti ini akan dimanipulasi syetan dari golongan manusia maupun golongan jin, sehingga hasilnya negatif, minimal termotivasi untuk mengucapkan “seandainya” (pembuka amalan syetan), sebagaimana dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW., bersabda :
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan. Tamak-lah (berkeinginan yang kuat) atas apa yang bermanfaat kepadamu, dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah. Dan jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan : Seandainya, sungguh kalau aku berbuat jadinya akan begini dan begitu, akan tetapi katakanlah : Allah telah menakdirkan (qadarallah) apa yang Allah kehendaki Allah perbuat, karena sesungguhnya “Lau” seandainya membuka amalan syetan.” (HR. Muslim)
Maka buatlah muhasabah atau evaluasi ketika kita dalam keadaan stabil dan tenang, dan yang perlu diingat hasil muhasabah mestilah yang menguntungkan diri kita, artinya yang bisa menguatkan kesabaran dan keistiqomahan kita, bukan sebaliknya.
Jika hasil muhasabah diperkirakan menguntungkan syetan dan membahayakan iman kita, maka tawaquf dari muhasabah setelah amal, Insya Allah afdhol dan lebih baik.
Keempat, memahami makna kemenangan dan kekalahan yang sebenarnya. Kebanyakan manusia termasuk sebagian ikhwah yang kurang ilmu, pengalaman dan kesabaran menilai kemenangan dan kekalahan dari segi peperangan fisik, dan meraih kekuasaan saja. Baik dapat memenangkan pertempuran dan meraih kekuasaan saja. Bila dapat memenangkan pertempuran dan meraih kekuasaan berarti memang dan bila kalah berarti karena tidak ada kemenangan selain itu.
Lalu muncul slogan, karena kita atau mujahidin kalah berarti salah. Tentu saja kesimpulan seperti ini salah, keliru, dan batil menurut syara dan akal. Hakikatnya, mujahidin itu selalu menang kapan saja dan dimana saja, walaupun dia dikejar, ditawan, dipenjara, dibunuh, dan kalah dalam pertempuran. Selama dia sabar dan istiqomah di atas jalan fie sabilillah.
Dan dia dikatakan kalah bila tidak sabar dan tidak istiqomah dengan mengikuti agama dan hawa nafsu orang kafir, bermudahanah dengan mereka dan condong atau cenderung kepada mereka. Jika para mujahidin kalah dalam peperangan atau belum berjaya meraih kekuasaan, tidak berarti mereka salah atau misi yang diperjuangkan salah atau batil. Sebab sudah menjadi sunatullah menang dan kalah itu dipergilirkan, diantara manusia (QS Ali Imran (3) : 140).
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” QS Muhammad (47) : 7.
Dari sini dapat kita ambil hikmah bahwa kemenangan dan pertolongan bukan diukur dari segi fisik dan militer saja, dan para Nabi dan kaum Mukminin yang secar fisik terlihat kalah akan tetapi dari segi maknawi tetap menang.
Dan tidak dimenangkan secara fisik dan di medan perang bukan berarti misi dan manhaj yang diperjuangkan batil, dan bukan berarti karena mereka salah, tapi disebabkan banyak hikmah, Allah Ta’ala yang paling mengetahui dan bisa juga kemenangan secara fisik itu ditunda (untuk) diwariskan-Nya kepada generasi dari kaum Mukminin sesudah mereka.
Wallahu’alam bis showab!
Al Mustaqbal
Posting Komentar